The Platform 2: Prinsip Sosialis soal Distribusi Makanan

Film thriller Spanyol ini ngasih sentuhan gore yang mengerikan. Potret tentang jahatnya kapitalisme hingga distribusi makanan yang kacau-balau.
The Platform 2 masih cerita di dalam penjara berbentuk kotak yang memiliki 333 lantai. Bangunan itu tanpa jeruji, melainkan penuh beton dengan lubang kotak besar di bagian tengah lantainya, hingga bisa terlihat beberapa lantai ke bawah dan atas.
Lubang itu juga jadi jalur buat lempeng beton yang bentuknya menyerupai meja belasan meter yang jadi medium distribusi makanan. Meja itu berhenti di setiap lantai selama beberapa menit, para napi pun bisa menyantap makanan.
Baca juga: Hiks! Weekend Terakhir Bareng Love Next Door |
![]() |
Di lantai teratas, meja itu dipenuhi oleh makanan yang dimasak oleh koki jempolan. Semakin ke bawah, makanan itu makin gak tersisa.
Film itu memotret apa yang dimulai sebagai pesta di lantai atas, sampai kepada mereka yang berada di bagian bawah, tahanan mencari-cari sisa makanan dan menjilati piring kosong.
The Platform 2 menampilkan seseorang bernama Zamiatin dari lantai atas yang berpesta dengan pizza. Zamiatin juga tertarik pada gagasan melahap makanan orang lain. Meski orang-orang di atasnya berkhotbah tentang solidaritas dan mendorongnya buat tetap lapar demi memastikan tiap orang mendapat bagian.
Kisah itu jadi akar konflik film tersebut, menyoroti bagaimana di penjara itu terbagi ke dalam beberapa kelompok, kaum loyalis dan kaum barbar.
Kaum loyalis itu percaya, mereka harus bertindak dalam solidaritas dan gak makan berlebihan. Sementara kaum barbar, prioritasnya cuma kelangsungan hidup dan makan sebanyak yang mereka mau.
Teman satu sel Zamiatin, Perempuan, awalnya mendukung solidaritas. Tapi, kengerian penjara itu memaksanya buat berpindah pihak, setelah dipindah ke beberapa tingkat terendah di penjara, dia menemukan jawaban. Perang mengerikan pun terjadi antara kaum loyalis dan kaum barbar.
Cerita yang diangkat oleh sutradara Galder Gaztelu-Urrutia, lagi-lagi menampilkan perilaku manusia brutal. Tapi secara nyata dia juga menyentil realitas dunia, soal strata ekonomi dan sosial.
![]() |
Galder Gaztelu-Urrutia kayak gak bikin jarak sama penonton. Makanan di satu sisi dijadikan komoditas yang dipikirkan banget, tapi buat sebagian orang lagi, makanan itu penting biar gak sampai muntah angin.
Jika film pertama berfokus pada bagaimana kapitalisme mengadu domba, bagian kedua tampaknya lebih pada prinsip-prinsip sosialis yang juga dapat diselewengkan dalam penerapannya.
Tapi sama kayak pendahulunya, film kedua ini meninggalkan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Meski ada juga detail yang ngasih beberapa jawaban konkret.
(nu2/pus)