'Vina: Sebelum 7 Hari' Beda dengan Kenyataan, Ini Aturan Bikin Film

Sang sahabat Vina tersebut kini muncul ke publik untuk memenuhi panggilan polisi di Polres Cirebon Kota, Senin (27/5) malam. Ia mengaku jika dirinya adalah teman tongkrongan dan bukan teman curhat mendiang.
Bahkan Linda mengaku jika dirinya sama sekali tak pernah berkomunikasi dengan Vina selama 6 bulan sebelum pembunuhan itu terjadi.
"Saat kejadian saya tidak pernah berkomunikasi dengan Vina, sudah lama tidak berkomunikasi. Sudah lebih dari 6 bulan sebelum kejadian. Karena saya juga sudah putus dengan anak XTC itu (teman Muhammad Rizky atau Eky)," tuturnya dilansir dari detikJabar.
Sementara itu dalam filmnya, Linda yang diperankan oleh Gisellma Firmansyah digambarkan sebagai sahabat dekatnya Vina (Nayla Purnama). Di sana juga ditampilkan jika keduanya merupakan sahabat sejak masih sekolah.
Tak hanya itu saja pada sebelum kejadian pun diceritakan jika Linda dan Vina telah bermain bersama di alun-alun Cirebon dan berpisah sebelum pulang. Ia pun diceritakan mengetahui sosok Egi (Fahad Hydra), salah seorang pelaku pembunuhan yang baru saja ditangkap polisi dengan nama Pegi alias Perong.
Padahal Linda aslinya mengaku tak kenal sama sekali dengan Pegi Setiawan atau pun pelaku lainnya. Selain itu di film tersebut juga mereka memilih menghilangkan karakter Eky, kekasih Vina dan menggantinya dengan sosok Zaki.
Mengenai perbedaan ini lantas bagaimana sebenarnya aturan yang berlaku dalam membuat film?
Dalam undang-undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman tertulis jika pembuatan film ternyata harus melaporkan judul film, isi cerita dan rencana pembuatan film ke pada pemerintah untuk dilakukan pencatatan dan proses syuting wajib dilaksanakan paling lama 3 bulan sejak tanggal pencatatan pembuatan film (tertuang di pasal 17).
Sementara itu predikat kisah nyata dalam film tak diatur oleh pemerintah karena dalam undang-undang hanya ada dua tipe film saja yakni film cerita dan film non-cerita. Setiap film yang diedarkan pun harus memperoleh Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) yang dikeluarkan Lembaga Sensor Film (LSF).
"Penilaian atas film sebagaimana dalam Permendikbud 14 terdapat dua jenis film yang dinilai yakni film cerita dan non cerita. Film cerita merupakan film yang isinya mengandung suatu cerita. Film Non Cerita adalah film yang berisi mengenai informasi."
"Dua kategori film tersebut dalam penilaian LSF melepaskan diri dari apakah film itu fiksi dan non fiksi. Soal film Vina, LSF menilai film tersebut masuk kategori non fiksi di mana si pembuatnya menjadikan film tersebut berdasarkan kejadian dalam dunia nyata. Film non-fiksi bersifat faktual dan informatif. Sutradara film melakukan observasi pada suatu peristiwa nyata dan merekam gambar sesuai apa adanya," jelas ketua LSF, Rommy Fibri Hardiyanto lewat pesan singkat.
Sedangkan Anggy Umbara pernah menyebutkan jika skenario film tersebut sudah diketahui dan disetujui oleh pihak keluarga Vina.
"Skenario pun sudah dibawa ke keluarga sebelum syuting, jadi kami sangat memperhatikan perasaan keluarga Vina. Kita juga udah minta izin sama keluarga dan pihak keluarga mengizinkan," ujarnya saat press screening film tersebut.
Anggy Umbara mengaku jika film tersebut masih memiliki nilai yang sama dari kejadian dan berusaha untuk memotret betapa hukum masih jauh dari kata adil. Ia pun berharap jika kejadian ini tak terulang dan seluruh pelaku mendapatkan hukuman.
"Di Indonesia tuh hukum belum berjalan semestinya. Yang ingin disampaikan lewat film ini, yuk sama-sama build awareness. Kita stop sampe di sini, jangan ada Vina lainnya. Yang kita mau sampaikan terutama ke pemerintah, pihak berwenang yang lain, ayo sama-sama kita tegakkan hukum. Jangan tumpul ke atas, tapi tajam ke bawah," pungkasnya.
(ass/dar)