Puncak Tertinggi Joko Anwar dalam Menulis Cerita di Siksa Kubur

Setelah banyaknya karya yang dibuatnya, Joko Anwar berhasil menciptakan nuansa teror yang mengerikan di tiap filmnya. Tak hanya sebatas horor saja, ia juga membuat filmnya tetap memiliki nilai estetik di tiap aspek di dalamnya.
Film-film karyanya seperti Pengabdi Setan, Pintu Terlarang, Modus Anomali, dan yang lainnya berhasil membentuk atmosfer yang sangat mengerikan yang membuat siapapun yang menonton merasakan kengerian yang dahsyat.
Namun Joko Anwar memutuskan untuk memberikan sentuhan spesial di filmnya yang ke-10. Sutradara yang terkenal berhasil menciptakan horor dengan mengimplementasikan formula seperti horor barat seakan melepas semuanya dalam filmnya kali ini.
Biasanya film yang ia berikan memfokuskan ke titik ketakutan namun berbeda dengan Siksa Kubur. Dalam filmnya kali ini, Joko Anwar mendobrak zona nyaman horornya kearah religi.
Berangkat dari pengalaman kecilnya, ia mempersembahkan karyanya kali ini dari kegelisahannya dan traumatiknya terhadap dosa-dosa yang dilakukan manusia. Untuk itulah Joko Anwar memutuskan untuk memproduksi film ini sebagai sutradara, editor, dan juga penulis.
Di film ini sentuhan Joko Anwar terasa sangat berbeda dari film sebelumnya. Kali ini ia merasa terasa lebih bebas dalam menulis tiap kata dan tiap adegan dalam film ini sesuai dengan keresahannya.
Kali ini pria 48 tahun tersebut menggunakan plot cerita yang terlihat sangat kompleks dengan mengacak-acak realita. Hal itu terjadi juga karena keinginannya yang ingin membuat film ini menjadi psychological horror yang mendalam.
Karena itulah ketakutan yang diberikan di film ini terasa berbeda, bukan ketakutan atas setan melainkan ketakutan pada diri sendiri dengan keimanannya.
Dari situlah plot cerita bergerak sangat mengacak namun terstruktur. Bagi sebagian orang mungkin akan kesulitan untuk memahami plot cerita yang kompleks di film ini. Namun dari kacamata sinefil, film ini berhasil memuncaki kasta tertinggi kompleksitas dalam sinema horor Indonesia.
![]() |
Para aktor dan aktris yang bermain juga ikut menyokong cerita di film ini dengan keberhasilan aktingnya. Film ini semakin terasa nyata berkat peradeganan dan gerak gerik para karakter dalam menjalankan skenario di film ini.
Akhirnya film ini berhasil menciptakan ruang diskusi yang masif dalam setiap perspektif penontonnya. Hal yang paling ter-higlight dalam diskusi ini selalu mengenai plot cerita dan endingnya.
Diskusi itu tercipta karena kejeniusan para sineas membangun plot di film ini sedemikian rupa hingga tercipta perbedaan perspektif di filmnya.
Penggunaan pacing cerita yang sangat lambat dinilai juga efektif untuk memberikan penonton ruang mengobservasi di setiap detiknya. Karena itulah skenario di film ini terlihat dibuat sangat personal dari sang sineas.
Untuk itu naskah dalam film ini terbilang berhasil dalam bercerita tentang filmnya. Bukan hanya dalam cakupan horor namun sebagai bungkusan utuh yang cantik dalam sebuah film.
Bahkan film ini terbilang tak hanya memiliki nilai komersil namun juga memiliki nilai festival karena estetika dalam penulisan naskahnya. Dengan ini Joko berhasil mempersembahkan momen spesial di film ke-10 nya dengan menciptakan film horor religi yang sangat reflektif dengan menyerang pemikiran internal kepada setiap penontonnya.
(dar/dar)