Nostalgia Lewat Film

Asep Syaifullah
|
detikPop
Cuplikan adegan dalam film Chungking Express (1994).
Cuplikan adegan dalam film Wong Kar Wai, Chungking Express (1994). Dok. Ist
Jakarta -

Sebuah film memiliki dampak yang cukup besar melalui elemen di dalamnya. Mereka seolah memberikan potret zaman tersebut atau justru sebuah distopia. Mulai dari naskah, busana hingga lokasi menjadi elemen yang kuat untuk menambah ke-khasan dari kisah yang diceritakan.

Jika kita membahas soal lokasi, maka ada ikatan erat dan memberikan dampak pada budaya dan pariwisata suatu daerah, mungkin banyak contoh seperti efek The Beach (2000) membuat pulau Koh Phi Phi di Thailand jadi destinasi wisata yang ramai hingga saat ini.

Hal serupa juga terjadi pada film Wong Kar-wai bertajuk Chungking Express yang dirilis pada 1994. Film itu dinilai menangkap dengan sempurna bagaimana suasana Hong Kong di era 90-an dan menjadi salah satu potret budaya di sana pada masa tersebut.

Cuplikan adegan dalam film Chungking Express (1994).Cuplikan adegan dalam film Chungking Express (1994). Foto: Dok. Ist

Padahal saat pertama dirilis, perhatian publik justru jatuh pada si aktris Faye Wong yang dijuluki Ratu Cantopop. Mereka dibuat jatuh hati dengan penampilannya di film tersebut bersama Tony Leung dan Takeshi Kaneshiro.

Namun seiring berjalannya waktu ada hal lain yang didapatkan para penonton dari film tersebut yakni nostalgia. Wong Kar-wai dengan cermat berhasil menangkap fenomena sosial dan budaya di zaman itu, hal ini tak lepas dari kejelian serta kedekataan personal pada karya tersebut.

"Ini adalah area yang ku kenal sejak kecil. Aku syuting di lokasi di mana aku tumbuh besar di sana," ujarnya dalam wawancara bersama Filmmaker Magazine.

"Bagiku Chungking Express adalah (kehidupan) malam dan pagi nya Hong Kong. Beberapa orang menyebutkan jika film ini tentang karakter ini dan itu, tidak! Film ini tentang Hong Kong dan (menjadi) surat cintaku untuk Hong Kong," tambahnya.

Ucapan tersebut memang terbukti melihat dari pengambilan gambar dalam lokasi yang seolah menjadi karakter tersendiri di dalam filmnya.

Salah satu contohnya adalah Chungking Mansion, tempat di mana Takeshi Kaneshiro dan Brigitte Lin Ching-hsia mabuk-mabukan dan menghasilkan salah satu adegan ikonik hingga saat ini.

Lalu ada sebuah toko makanan di Lan Kwai Fong, di mana merupakan lokasi adegan pahit Faye Wong dan Tony Leung yang gagal mewujudkan cintanya.

Lokasi lainnya yang cukup ikonik adalah apartemen sang sinematografer, Christopher Doyle.

Wong ternyata sudah terpesona oleh Chungking Mansions sejak dia masih kecil, dan menyadari bahwa tidak ada seorang pun yang membuat film di dalamnya. Bangunan itu dianggap sangat bahaya dan rawan kebakaran karena jalan keluar yang terhalang dan jaringan kabel yang buruk, sehingga izin tidak diberikan untuk syuting di sana.

Film sutradara Wong Kar-WaiCuplikan adegan dalam film Chungking Express (1994). Foto: Dok. Ist

Ia pun membuat film tanpa izin dan mengirim asisten sutradaranya untuk tinggal di dalam gedung sebelum pengambilan gambar, untuk menyusun rencana keluar jika timbul masalah. Beberapa penghuni asli Chungking Mansions pun menjadi pemain dalam film tersebut.

Kritikus Variety, Derek Elley pun menyebutkan kekagumannya dengan Wong Kar-wai yang sangat jenius. Proses film tersebut berlangsung begitu cepat dan awalnya hanya untuk proyek senang-senang saja.

"Chungking Express adalah proyek kebut, ditulis dan digarap selama enam minggu selama jeda syuting Ashes of Time," tuturnya.

Ia pun mengingat jelas jika film itu merupakan sarana melepas stress sang sutradara kala menggarap film box office pertamanya itu. Bahkan ia turut mengajak Brigitte (yang juga tampil di Ashes of Time) untuk proyek senang-senangnya itu.

Chungking Express pun berhasil menjadi salah satu film terbaiknya hingga saat ini dan juga membawa pulang piala Best Director dan Best Actor (untuk Tony Leung) di Hong Kong Film Festival 1995.

Cuplikan adegan dalam film Blok M (1990).Cuplikan adegan dalam film Blok M (1990). Foto: Dok. Multivision Plus

Sementara itu beberapa fenomena serupa juga terjadi di film Warkop DKI hingga Blok M (1990) yang dibintangi oleh Paramitha Rusady dan Desy Ratnasari. Pada film tersebut meng-capture suasana Jakarta era 80-an yang sukses membuat banyak generasi muda membicarakannya di media sosial.

Banyak pula yang merasa nostalgia dengan masa remaja atau masa kecilnya yang mengalami suasana tersebut. Perubahan zaman yang dinamis pun menjadikan film sebagai salah satu media untuk mendokumentasikan sejarah serta budaya dari sebuah masyarakat di masa tersebut.

Hal ini pun disampaikan oleh Riri Riza yang menggarap Petualangan Sherina 2. Sutradara asal Makassar itu pun menerangkan bahwa ia tak pernah mau menuliskan cerita yang hanya berlatarkan rumah apalagi studio, karena baginya ada ruang khusus yang bisa disajikan melalui lokasi.

"Itu kenapa saya sebagai pembuat film itu saya selalu syuting itu di lokasi, saya gamau syuting, saya gamau menulis cerita yang syutingnya cuma di dalam rumah apalagi di studio. Saya inginnya di tempat yang bisa menggambarkan sebuah budaya, sebuah zaman dan waktu yang spesifik," terangnya saat ditemui di kawasan Epicentrum, Jakarta Selatan pada Senin (25/9).

Jika menilik ke belakang, pada film Petualangan Sherina yang dirilis pada 2000 ditampilkan beberapa lokasi di Jakarta Selatan yang kini sudah jauh berbeda. Hal ini pun membuat film itu seolah meng-capture bagaimana keadaan lingkungan Jakarta di era 90-an akhir.

Petualangan SherinaCuplikan adegan di film Petualangan Sherina (2000). Foto: Petualangan Sherina (Dok. Miles Pictures)

Pada film Petualangan Sherina 2, ia pun menghadirkan lokasi yang berbeda yang menampilkan bagaimana perkembangan zaman dan budaya masyarakat saat ini. Yang mungkin saja pada puluhan atau belasan tahun mendatang menjadikan film tersebut sebagai potret zaman.

"Sebenarnya saya percaya film itu harus representing zamannya. Jadi mudah-mudahan kalau kita nonton Petualangan Sherina kita bisa melihat Jakarta di akhir 90-an, dan melihat film ini (Petualangan Sherina 2) kita jadi mengingat kalau kita nonton 30 atau 40 tahun lagi kita melihat masih ada KRL, apartemen lagi banyak dibangun tapi masih ada jalan-jalan kayak Fatmawati yang bertumpuk," paparnya.

"Jadi saya pikir kita punya kesempatan pada film itu untuk menggambarkan lingkungan kita sebagai sebuah dokumentasi zaman. Itu yang saya pengin banget dan penting sih untuk saya," tambahnya.

Halaman 2 dari 2
(ass/dar)


Simak Video "Melihat Museum Kretek Lokasi Syuting Gadis Kretek"
[Gambas:Video 20detik]


TAGS


BERITA TERKAIT

Selengkapnya


BERITA DETIKCOM LAINNYA


Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama berkomentar di sini

TRENDING NOW

SHOW MORE

PHOTO

VIDEO