Cerita Pendek
Tenggelam

Takut air, takut tenggelam, itu dulu. Sekarang malah ngeri pada permukaan. Jadilah aku sering sengaja tenggelam agar tidak melihat apa yang di depan mata, agar tidak berjumpa dengan apa yang menunggu di depan sana. Aku memilih masuk ke kedalaman dan memandang permukaan jauh dari bawah sana yang tampak seperti titik kecil. Seperti itulah cara membereskan masalah-masalahku. Menjauhinya hingga berjarak dan terlihat mengecil. Makin dalam tenggelam makin megap-megap. Kalau sudah begini biasanya aku kembali ke permukaan lantas mencari tempat tenggelam baru.
Tetapi sejauh apa pun dan di mana pun aku tenggelam, bunyi nyaring panci beradu dengan lantai terus terngiang di telinga. Empat hari lalu ketika sedang menyantap sarapan sambil menyimak saluran berita yang isinya itu-itu saja, istriku mendadak mematikan televisi lalu membanting panci ke lantai dengan segenap amarah. Kaget dan tersedak kuraih gelas tapi belum sempat minum, dia merebut gelas itu kemudian melemparnya. Aku melongo melihat pecahan gelas berserakan bercampur remahan nasi.
"Lihatlah Sarni tetangga kita. Cuma kurang dari tiga bulan setelah menganggur sudah dapat kerjaan baru." Istriku berkacak pinggang.
"Kamu sudah enam bulan masih diam di rumah. Mau sampai kapan?"
Aku menggigit pelan sepotong tempe goreng, mengunyahnya tanpa nasi, memikirkan reaksi yang tepat agar kekesalan istriku reda.
"Pakai nasi!"
Terpaksa kuhabiskan meski seret seperti isi dompet kami. Kubereskan kekacauan di lantai dan tepat saat mencuci piring, istriku keluar dari kamar membawa tas besar seakan hendak pergi jauh.
"Mau ke mana?"
"Yang penting bukan di rumah."
"Iya, ke mana?"
Istriku hanya mendelik sebelum berlalu. Terdengar pintu dibanting. Tanpa pikir panjang aku bergegas ke kamar, mengemas asal beberapa helai baju dan satu jilid buku ke dalam ransel, lalu menukar sarung dan singlet yang kupakai dengan celana panjang dan kaus. Kembali ke dapur, kucomot tempe goreng yang sudah kehilangan pesonanya. Dingin dan lemas. Rasanya tekanan darahku menanjak karena entah berapa hari berturut-turut makan tempe yang kelebihan vetsin.
Dengan tempe tergantung di bibir, aku mengencangkan tali sepatu, mengunci pintu, menyelipkan kunci di bawah pot tanaman bunga nusa indah yang tidak pernah berbunga, kemudian pergi meninggalkan kontrakan tiga petak yang tak seberapa luas itu.
"Ke mana?" Empok penjual nasi uduk di seberang menatapku heran.
"Nyusul bini?"
Setengah berlari aku menyusur gang sempit yang berkelok-kelok. Harus sangat berhati-hati. Meleset sedikit saja bisa masuk ruang tamu atau dapur rumah orang. Meski sudah cekatan, pada tikungan kesekian aku tersandung pengki berisi penuh kotoran tikus.
"Tanggung jawab lu!" Si empunya rumah mengacungkan sapu ijuk.
Aku meraih sapu dari tangannya dan mulai menyapu. Tampaknya semesta berkonspirasi membuatku kerja bakti sedari pagi. Sayup irama gambang kromong turut mengiringi. Makin lama makin menggelegar. Kuregangkan pinggang dan berbalik badan. Siku tangan membentur sesuatu yang besar dan berwarna menyala. Aku mendongak. Ondel-ondel setinggi dua meter menjulang megal-megol. Pantas saja pekak di telinga.
Anak remaja tanggung yang membawa gerobak speaker mengulurkan kaleng bekas cat. Aku merogoh tas mencari uang receh. Nihil. Ada sekira lima belas lembar sepuluh ribu. Terlalu mulia untuk dibilang recehan. Namun mata ondel-ondel yang besar dan mustahil berkedip itu berhasil mengintimidasiku untuk mengikhlaskan selembar
sepuluh ribu.
Anak ondel-ondel jejingkrakan
Kepalenye nyale bekobaran
Nyang ngarak pade kebingungan
Disiramin aer comberan
Sembari bersenandung dan bersiul kulanjutkan perjalanan. Mulutku mengatup begitu jalan raya terbentang luas depan mata. Dibungkam oleh satu pertanyaan yang mengerem langkah kaki. Mau ke mana?
***
Terlalu berlebihan jika menjuluki diri sebagai musafir sebab aku akrab dengan kota ini sebagaimana mengenal telapak tangan sendiri. Tak hendak membebani orang, kupilih berpindah dari satu masjid ke masjid lain. Tentunya yang kecil-kecil dan sedikit kumuh. Yang megah dan bersih kebanyakan boleh dimasuki hanya pada waktu salat. Di luar itu, rapat bergembok.
Sang marbot akan menaruh syak wasangka pada siapa pun yang berusaha masuk meski sekadar numpang berteduh. Terlebih rautku yang nyalang ini berpotensi membuat orang refleks meneriaki diriku maling. Maka tak kuambil risiko yang tidak perlu. Berusaha setenang dan seaman mungkin. Lagi pula tujuan utamanya adalah menjauh dari rumah. Bukan kabur betulan. Seperti kata istriku, yang penting bukan di rumah.
Hari pertama meninggalkan rumah, kepala masih berputar kencang memikirkan solusi atas kericuhan unit terkecil suatu negara yakni keluarga. Sebetulnya bukan tak ada jalan, tapi lamaran kerja yang kusebar ke berbagai penjuru belum jua mendapatkan respons. Aku termasuk golongan yang skeptis bahwa Tuhan akan mengabulkan doa umat manusia tanpa kecuali. Sekarang mendengar langsung suara Tuhan di langit rasanya jauh lebih realistis ketimbang menanti jawaban dari orang-orang di dalam gedung perkantoran itu.
Hari kedua, sekrup dalam kepalaku mulai mengendur. Putarannya makin melemah dan akhirnya berhenti. Aku memutuskan untuk tenggelam. Novel berjudul Kronik Burung Pegas karya Haruki Murakami adalah tempat tenggelamku yang pertama. Sempat mengumpat mengapa buku setebal lima sentimeter ini kubawa dengan impulsif tanpa menyadari bobotnya yang menambah berat ransel. Di luar dugaan, ternyata rumitnya isi buku itu berpadu-padan dengan kondisiku saat ini. Aku jadi lebih bisa memahami jalan ceritanya dibanding sewaktu membacanya pertama kali.
Mungkin karena seluruh fokus tercurah tanpa memikirkan apa-apa. Masjid, taman kota, perpustakaan, warteg, pinggir jalanan, dan bus Transjakarta menjadi tempatku membaca. Diselingi minum es atau kopi keliling, sambil berbincang sepatah dua patah dengan penjualnya, begitulah caraku menghadapi kenyataan. Aku tidak lari. Lari adalah tergopoh dari satu titik ke titik lain.
Sedangkan aku hanya tenggelam sampai pada kedalaman tertentu, sampai permasalahan hidupku bukan lagi dirasa sebagai sebuah ancaman. Hanya saja bunyi nyaring panci yang dibanting istriku masih kerap menghantui. Berdenging di telinga mirip kerumunan lebah. Kadang nyaring seperti ambulans. Kadang halus seperti nyamuk. Rentang frekuensi suaranya tergantung sedalam apa aku tenggelam.
Entah bagaimana pada hari berikutnya aku tiba di Stasiun Tanah Abang. Yang teringat hanyalah aku membuka pintu bajaj, duduk di dalamnya, sopir bajaj mengucapkan dialog singkat yang tak begitu kudengarkan dan kubalas dengan anggukan, bajaj melaju, lalu sampai di sini. Sudah kadung, aku melangkah masuk. Rasanya seperti dipaksa untuk memiliki suatu tujuan yang pasti.
Kupilih kereta paling sepi yang tak lama kemudian langsung berangkat. Dua tiga stasiun terlewati. Pemandangan di luar kereta bergantian secepat kilat bagai cuplikan dari film yang berbeda-beda. Tubuhku terombang-ambing guncangan kereta. Sama sekali tak ada usaha untuk menahannya agar tetap kukuh. Kubiarkan raga ini bergerak di luar kendali motorik.
Kelopak mataku mulai turun mengaburkan jarak pandang. Saraf-saraf seakan berhenti berfungsi, seakan eksistensinya cuma formalitas belaka, tak lebih dari menjaga roh agar tetap melekat pada raga. Kepalaku menjelma jadi ruang hampa kedap udara. Kosong. Di tengah riuh bunyi kereta aku tenggelam. Sangat dalam seperti diberi batu pemberat. Setelah turun di Stasiun Rawa Buntu, aku berjalan keluar menuju warung tenda, menyusul pesan seporsi soto ayam dan teh panas. Tampak motor terparkir di sebelah warung. Pada jok belakangnya terpasang rak sederhana namun semarak oleh berbagai mainan serta aksesori yang bergelantungan.
"Jualan mainan juga?" Aku membuka percakapan dengan penjual soto.
"Punya dia, tuh." Kepalanya bergerak mengarah ke lelaki yang khusyuk menikmati soto di bangku pojok. Tidak peduli bahwa dia sedang dibicarakan.
Seorang bocah perempuan kumal mendadak muncul di depan warung. Dalam hitungan detik tangannya menjawil jepit rambut yang tergantung di motor lalu kabur sambil cekikikan.
Kulirik lelaki penjual mainan tadi.
"Biarin aja. Kesian," katanya seolah bisa membaca pikiranku.
"Berapa?" tanyaku.
"Apanya?"
"Jepit itu. Saya mau."
"Ceban."
Kuulurkan dua lembar sepuluh ribu. "Beli satu. Sisanya buat bayar yang dicuri."
***
Kuniatkan pulang pada hari keempat. Rute yang dilewati kali ini adalah yang paling sederhana. Kebalikannya dari rute berangkat. Tidak mampir ke mana-mana. Jika segala tetek bengek dalam empat hari ini adalah batu pemberat yang menenggelamkan diriku, maka jepit rambut dalam ranselku itu umpama kail pancing yang menarikku ke daratan.
Ojek yang kutumpangi berhenti di mulut gang. Urung masuk sampai depan rumah karena ada moci beraneka warna yang menarik perhatian. Berpupur putih, manis, dan tentu saja bulat. Persis muka istriku. Kubeli sepasang. Setidaknya ada sesuatu yang bisa dimakan kalau-kalau jepit pemberianku nanti dilempar.
Tidak seperti waktu pergi, sekarang langkahku lebih santai. Bunyi panci semakin samar dan akhirnya berhenti sama sekali begitu tiba di depan rumah. Pintu depan terbuka sebagian. Aku masuk. Istriku sedang menonton televisi. Kuletakkan moci dan jepit di hadapannya. Dia bergeming. Kulihat istriku sedang menata meja makan tepat ketika aku selesai mandi. "Makan," ujarnya singkat dengan nada yang sulit disimpulkan apakah itu ajakan makan atau hanya deklarasi datar.
Kami duduk berhadapan. Sepiring nasi dan sepiring tempe goreng tersaji di tengah-tengah. Di tangannya tergenggam sebiji moci yang sudah digigit. Kupandang wajahnya lekat-lekat. Sisa kesal masih ada di sana. Mungkin juga putus asa. Namun anak rambutnya tak lagi berantakan seperti terakhir bertemu. Sepasang jepit menahannya dengan anggun. Tetap berjatuhan tapi rapi dan manis.
Ponselku berbunyi. Satu surel masuk. Panggilan interview untuk lusa. Cepat-cepat kutandaskan isi piring sebelum bergegas ke teras.
"Mau ke mana?"
"Masih di rumah, kok."
Kusambungkan selang ke keran air dan mulai menyiram pohon nusa indah dengan cermat.
"Tak pernah berbunga. Percuma." Istriku mengintip dari balik pintu. Mukanya benar-benar mirip moci. Aku tertawa.
"Apa yang lucu?" tukasnya cemberut.
Tawaku makin keras.
"Aku balik ke rumah Nyak. Dua malam di sana. Kamu ke mana?"
"Tenggelam."
"Maksudnya? Hanyut di kali? Kecebur empang?"
Ada khawatir tersirat meski bicaranya masih sarkas. Itu saja sudah cukup membuatku betah di permukaan dan melupakan perkara tenggelam. Seberat apa pun beban yang menyeret kakiku ke kedalaman, selalu ada hal-hal sepele yang sulit kujelaskan dengan nalar, yang memikatku untuk kembali menantang kenyataan sebisa-bisa mungkin. Hanya perlu menunggu sedikit lebih lama. Sedikit saja.
Neneng Fatimah bermukim di Bekasi, menulis adalah caranya bermeditasi; bisa disapa di akun Instagram @nefaeff
(mmu/mmu)