Cerita Pendek

Tetangga Bernama Bosel

Dody Wardy Manalu
|
detikPop
ilustrasi cerpen
IIustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta - Bosel nama tetangga baruku. Ia mendiami rumah di seberang jalan. Wajahnya mirip suami Victoria, mantan pemain sepak bola itu. Bila aku dan Bosel tidak ada kegiatan, kami mengobrol di bawah pohon mangga depan rumahnya sambil minum teh. Namun itu jarang terjadi.

Sejak bertetangga, baru tiga kali kami melakukannya. Sambil minum teh, ia bercerita tentang mantan kekasihnya suka menonton film horor atau anjing peliharaannya suka makan roti dicelup dalam minuman kopi. Bagi Bosel, setiap hari adalah musim dingin. Semua tempat adalah kota Rotterdam.

Tiga kali kami minum teh, tiga kali pula ia mengenakan pakaian tebal. Pada hari minum teh pertama, ia mengaku sedang meriang. Pada hari minum teh kedua, ia terserang campak. Pada hari minum teh ketiga, hujan turun deras. Kami pindah ke teras rumahnya habiskan teh dalam cangkir besar. Sama sekali tidak curiga dengan penampilannya. Bukankah wajar orang terserang demam memakai baju hangat? Lumrah menyembunyikan campak di sekujur tubuh di balik baju tebal. Atau menghangatkan diri dengan memakai sweater saat hujan turun.

Miola, gadis telah aku pacari selama delapan bulan, suatu pagi berkunjung ke rumah. Hampir satu minggu aku terserang batuk seakan ada kerikil tersangkut di leher. Miola datang melihatku meski tidak setiap hari. Ia membuka gorden setelah memberiku minum obat dan menyiapkan bubur kacang merah untuk sarapan. Saat itulah Miola melihat tetanggaku memakai pakaian tebal lengkap dengan syal dan topi seakan dirinya berada di negeri tengah dilanda musim dingin.

"Tetanggamu itu mengenakan kostum kutub. Apa ia mengidap penyakit?"

Aku menggeleng.

"Bukankah itu terlihat aneh?"

Miola masih berdiri di mulut jendela. Mengapa aku tidak menyadarinya. Padahal sering melihat Bosel dengan penampilan seperti itu. Tidak mungkin ia sakit setiap hari. Buktinya, ia berangkat bekerja setiap pagi. Aku menghampiri dan berdiri di belakang Miola. Tampak Bosel tengah berusaha membuka pintu rumahnya. Aku tahu gembok pintu itu sudah berkarat. Butuh usaha ekstra dan faktor keberuntungan untuk membukanya.

Bosel baru pulang belanja kebutuhan seminggu ke depan dari minimarket yang buka dua puluh empat jam. Di lantai, tepat di sisi kakinya, tergeletak paperbag berisi sayur dan roti tawar. Barangkali di dasar paperbag itu ada kopi, gula, selai, dan satu plastik permen jahe kesukaannya.

Sejak saat itu, aku menjadi rajin memperhatikan tingkah-laku Bosel. Selain memakai pakaian hangat, ada keanehan lain kerap ia lakukan. Selalu menyalakan perapian di ruang tamunya meski hari tidak dingin. Petang ini, aku pulang kantor lebih cepat dari biasa dan melihat Bosel sedang mengumpulkan daun mangga memenuhi halaman rumahnya.

"Sedang sibuk, ya?" tanyaku berbasa-basi. Baju tebal Bosel basah kuyup. Alangkah lebih baik mengenakan kaos longgar menyerap keringat. Bosel seperti berada dalam oven.

"Saljunya tebal sekali. Aku sudah beberapa kali tergelincir."

"Salju? Bukankah itu daun mangga?"

"Tadi aku bilang apa?"

Bosel berhenti menyapu. Ia tersenyum malu.

"Maaf. Aku pikir masih berada di kota Rotterdam."

"Apa karena alasan itu pula kamu selalu pakai baju tebal?"

Bosel menatapku cukup lama. Seketika kesedihan menyelubungi bola matanya. Jadi menyesal mengapa menanyakan hal itu.

"Minggu depan bertandanglah ke rumah. Kita minum teh. Ada ingin aku ceritakan padamu."

Aku mengangguk.

***

Aku tengah sarapan ketika Miola datang. Ia melemparkan koran ke hadapanku. Selanjutnya menebalkan gendang telinga mendengar omelan Miola. Rumahku berantakan. Piring kotor bertumpuk di wastafel menebarkan aroma nasi basi dan pakaian membentuk gunung di keranjang.

"Anjing pudelku lebih bersih dari kamu."

Miola belum berhenti mengomel. Mulai mencuci piring kotor di wastafel.

"Antara aku, kamu dan anjing pudelmu, justru kamu lebih jorok. Mau berpacaran dengan lelaki yang suka menumpukkan piring di wastafel."

"Sudah membaca berita koran pagi ini?"

Piring-piring dalam wastafel sudah bersih. Giliran pakaian kotor diangkut ke mesin cuci. Aku melirik halaman depan koran. Berita pembunuhan. Di kota besar seperti Jakarta ini, berita seperti itu sudah hal biasa. Kadang, bila dipikirkan sepintas, para pembunuh itu turut berjasa membantu pemerintah mengurangi jumlah penduduk kota.

"Seorang penjahat perempuan kabur dari penjara dan sembunyi di kota ini. Tadi malam membunuh anak remaja di taman tidak jauh dari sini," teriak Miola dari arah mesin cuci. Mataku mendelik. Kembali melihat berita utama di koran. Aku bisa tidak tahu kejadian pembunuhan di sekitar tempat tinggalku sendiri.

"Apa hubungan pembunuhan itu dengan sikap jorokku."

Rasa laparku digantikan rasa penasaran. Kutarik koran dari hadapanku dan mulai membaca.

"Remaja itu dibunuh lantaran menendang anjing peliharaan si penjahat. Ia tidak suka bila si anjing menjilati borok di kakinya. Coba kalau remaja itu tidak jorok. Anjing itu tidak akan menjilatinya. Pembunuhan itu tidak akan terjadi."

Miola terlalu paranoid. Tidak mungkin anjing penjahat itu datang ke rumahku untuk menjilati nasi sisa di piring, mengendus-endus keranjang sampah berisi tulang, atau memakan remah roti di ruang tivi.

Miola pulang setelah rumah bersih dan memastikan aku baik-baik saja meski batukku belum sembuh total. Aku mengantar Miola sampai ke pintu pagar. Hampir saja berlari ke rumah meneruskan tidur sempat terhenti. Tanpa sengaja melihat Bosel mengintip dari celah gorden jendela kamarnya. Ia tersenyum ketika mata kami bersirobok.

"Aku tidak bisa menunggu sampai minggu depan agar kamu bertandang ke rumahku. Bagaimana kalau hari ini kita mengobrol di ruang tamuku sambil minum teh?" Bosel berteriak.

Aku paham maksud Bosel. Mengajak mengobrol bukan sekadar untuk minum teh. Ada rasa sepi di pelupuk matanya. Wajar merasa kesepian. Selama bertetangga, belum pernah melihatnya bersosialisasi dengan warga.

Barangkali, hanya aku yang ia kenal di kompleks ini. Bosel membuka pintu yang gemboknya sudah rusak. Suara engsel berderit penuh karat. Ini pertama kali masuk ke rumah Bosel. Selama ini hanya duduk di bawah pohon mangga habiskan teh dalam cangkir besar.

"Aku sudah menyiapkan teh dan menyalahkan perapian."

Bosel mempersilakan aku duduk. Matahari sudah memancarkan terik. Bosel tetap pada cara berpakaiannya. Tubuh dibalut baju tebal ditambah nyala api membuat ruang tamu semakin panas.

"Perapian, baju tebal dan syal membuatku seakan berada di kota Rotterdam di musim dingin. Seakan berada dalam dekapan kekasihku. Ini cara mengenang kekasih paling gila," ujar Bosel. Aku memandangi wajahnya berkeringat. Memilih diam adalah jalan terbaik. Memberi solusi untuk kisah cinta Bosel bukan keahlianku.

"Kamu tahu pembunuhan yang baru terjadi di kompleks kita?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Bosel melihatku sekilas. Alisnya terangkat bertanda ia tidak tahu.

"Pembunuhnya seorang perempuan. Andai tahu siapa perempuan itu, aku akan mencekik lehernya dan menguburnya di belakang rumah," ujarku geram.

"Bagaimana caramu mencekiknya. Kamu pernah pingsan hanya karena seekor kecoa."

Aku langsung diam, lalu membenamkan wajah ke mulut cangkir tehku.

"Andai penjahat perempuan itu tahu kamu ingin mencekiknya, mungkin ia akan balik membunuhmu, mencincang tubuhmu dan memasukkanmu ke dalam kulkas."

Bosel melototiku dari jarak sangat dekat. Seakan melihat sosok iblis di kornea matanya. Mendadak tubuhku gemetar. Tiba-tiba Bosel tertawa.

"Ditatap begitu saja kamu sudah ketakutan. Bagaimana mau membunuh penjahat perempuan itu?"

Bosel berhasil mengerjaiku. Teh dalam cangkir sudah habis.

"Aku ingin buang air kecil. Kamar mandi ada di mana."

Bosel menunjuk pintu tidak jauh dari ruang tamu. Berjalan tergesa karena tidak tahan lagi. Air memenuhi kantong kemihku bergerak bebas menuju lobang closet. Bila keadaan seperti ini, menjadi percaya pada perkataan seorang teman: Kencing saat kebelet rasanya lebih nikmat dari pada bersetubuh.

Tanpa sengaja mataku tertuju pada keranjang sampah di sudut kamar mandi. Ada pembalut wanita penuh bercak darah. Ini milik siapa? Bosel sendirian di rumah ini. Tidak pernah melihatnya kedatangan tamu. Mataku berpendar ke seluruh dinding kamar mandi. Di balik pintu, sebuah bra warna hitam tergantung. Meraih bra itu. Tanpa sadar menekan-nekan buntalan busanya.

Ribuan pertanyaan melilit kepalaku. Apakah Bosel seorang perempuan? Apakah mengenakan baju tebal setiap hari untuk menutupi bentuk tubuhnya?

"Penjahat perempuan itu...."

Bibirku bergumam sembari membuka pintu kamar mandi. Di hadapanku berdiri seorang perempuan mirip Bosel. Sebuah golok diacungkan ke arahku. Kulkas di sudut dapur terbuka lebar.

"Penjahat perempuan itu akan mencincangmu dan memasukkan tubuhmu ke dalam kulkas." Secepat kilat golok itu bergerak di udara.

Dody Wardy Manalu lahir di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara; menghabiskan masa remaja di Sibolga. Awal 2015 mulai serius menulis. Karya fiksinya dimuat di beberapa media




(mmu/mmu)


TAGS


BERITA TERKAIT

Selengkapnya


BERITA DETIKCOM LAINNYA


Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama berkomentar di sini

TRENDING NOW

SHOW MORE

PHOTO

VIDEO