Cerita Pendek
Haruskah Kutulis Aku Bahagia?

"Kalau sudah yakin saya bahagia kenapa harus jadi sampel lagi?" Bu Kabid Sartika nanya balik.
"Inikan survei, Bu. S emua sampel kita anggap sama. Perkataan saya tadi tidak berhubungan dengan survei. Itu karena saya merasa sudah kenal lama dengan Ibu. Saya selalu mengikuti semua medsos ibu baik Instagram ataupun Facebook," jawab cewek petugas survei dari BPS itu tersenyum lebar dan sinar matanya menyiratkan kekaguman.
"Lho, kenapa rupanya dengan Instagram dan Facebook saya?" tanya Bu Sartika sambil bibirnya tersenyum tipis.
"Saya kagum melihat Instagram atau Facebook Ibu yang semuanya menampilkan kepribadian ibu yang mapan, bahagia, dan berkelas," puji petugas BPS.
Mata Bu Sartika berbinar bahagia karena mendengar ada orang yang mengagumi status-statusnya di media sosial. Tapi Bu Kabid tidak mau cewek di depannya melihat kesemringahannya karena dipuji, maka dia mengalihkan pembicaraan kembali pada masalah survei.
"Maaf, Dek survei apa tadi namanya?"
Petugas survei kembali tersenyum dan melihat sesaat ke wajah Bu Kabid yang sangat glowing dan kemudian matanya turun memandang kertas kuisioner yang masih dipegang Bu Kabid.
"Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan, Bu?" jawab petugas masih dengan senyumnya yang lebar, dan tanpa memberi kesempatan lagi pada Ibu Kabid untuk bertanya, petugas tersebut mulai nyerocos menjelaskan tentang survei yang sedang dilaksanakan.
"Maaf, Bu saya mau menambahi informasi tentang survei ini yang sudah saya jelaskan secara singkat via phone kemarin waktu mau buat janji ketemu Ibu," petugas BPS memperbaiki posisi duduknya dengan menggeser badannya ke depan dan sedikit mencondongkan kepalanya menghadap Ibu Kabid yang duduk tenang di kursi kerjanya.
"Survei ini bertujuan untuk mengetahui sebahagia apa warga masyarakat oleh hasil-hasil pembangunan yang dilaksanakan negara. Karena selama ini kita selalu mengukur pembangunan yang kita laksanakan secara makro dengan melihat indikator Produk Domestik Bruto dan Pertumbuhan Ekonomi yang belum bisa menggambarkan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan di masyarakat juga belum dapat merefleksikan pemerataan pendapatan bagi semua warga negara kita. Dalam survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan ini kita akan melihat bagaimana efek dari pembangunan yang dilaksanakan kepada kebahagiaan seseorang karena kebahagiaan merupakan refleksi dari tingkat kesejahteraan yang telah dicapai oleh setiap individu. Kebahagiaan penduduk juga akan berpengaruh secara signifikan terhadap keberhasilan pembangunan dan perkembangan sosial di masyarakat," petugas BPS yang dari tag nama yang tergantung di bagian dada bajunya sebelah kanannya tertulis Santy dengan menggebu-gebu menerangkan tentang survei yang dilaksanakan.
Ibu Kabid Sartika hanya melongo mendengar penjelasan Santy yang cukup panjang. Dia tidak fokus pada apa yang disampaikan, apalagi mau mencerna isi atau materi yang dijelaskan. Dari kemarin sewaktu petugas ini menelepon minta izin untuk ketemu, yang terpikir terus olehnya adalah kenapa dia yang dijadikan sampel? Bukankah banyak pejabat di kota ini? Jangan-jangan survei ini kedok saja untuk menjebak dia karena sering tidak melaksanakan tugas dengan baik sesuai tugas pokok dan fungsinya sebagai aparat negara.
Sedikit rasa curiga menyembul di dadanya membuat dia memasang mode hati-hati. Dia perhatikan dengan seksama petugas BPS yang duduk di kursi di seberang meja kerjanya mulai dari seragam yang dipakai dan atribut-atribut yang ada pada baju seragam tersebut serta bed namanya. Kelihatannya tidak ada yang mencurigakan.
"Tapi kenapa saya yang harus jadi sampel?" selidik Bu Sartika melihat ke mata Santy.
Santy juga menatap bola mata Bu Sartika. Tatap mereka bertemu membawa arti masing-masing. Santy sejujurnya kagum dengan Bu Sartika. Banyak hal yang membuat dia begitu terpesona dengan Ibu Kabid ini walau itu lebih banyak karena dia hampir tiap hari melihat medsos Ibu Kabid. Semua acara Ibu Kabid dia ikuti mulai dari acara dinas, acara keluarga, liburannya, umroh, dan banyak lagi. Kesemuanya melahirkan kekaguman padanya dan jauh dalam hatinya dia juga ingin seperti ibu ini.
Lain lagi yang dirasakan oleh Bu Sartika. Dari awal kedatangan petugas BPS ini ke ruangan kerjanya, satu yang menarik darinya yaitu senyumnya yang terus mengembang. Wajahnya tidak terlalu cantik tapi karena senyumnya dia jadi kelihatan menarik. Seandainya dia sales, maka orang tertarik membeli barang yang dia tawarkan justru karena senyumnya. Termasuk Bu Sartika yang masih membiarkan Santy ada di depan mejanya.
Biasanya tidak ada orang yang betah lama-lama duduk di depannya karena dia tidak mau banyak bicara dengan orang yang dia rasa tidak selevel dengan dia, termasuk staf-stafnya di bidang ini. Bu Sartika akan mengambil jarak dengan meremehkan orang yang dia anggap tidak sama dengan dia. Tidak sama cantiknya, tidak bersesuaian jabatannya, tidak sebanding harta dan uangnya. Beda status keluarganya. Tindakan meremehkan ini bisa ditunjukkannya lewat sikap yang tidak mempedulikan orang atau bisa juga lewat kata-kata yang menusuk hati. Tidak peduli orangnya siapa, atasannya sekalipun.
"Bu Kabid, survei ini respondennya adalah kepala keluarga dan pasangannya tapi jumlahnya kita batasi dan pemilihannya random. Kebetulan dalam pengacakannya termasuk Ibu yang terpilih salah satunya," jawab Santy dengan senyum khasnya. Sinarnya matanya juga ikut tersenyum menatap ke mata Bu Kabid.
Penjelasan Santy sepertinya bisa diterima Bu Sartika karena kepalanya mengangguk-angguk. Matanya kembali membaca lembaran-lembaran kuisioner yang ada di depannya. Selang berapa saat dia kembali melihat pada Santy yang masih duduk di depannya.
"Ini harus saya jawab sekarang ya?
"Tidak mesti, Bu. Sebaiknya ibu baca dulu dengan seksama. Kalau ada yang tidak ibu mengerti bisa ibu tanya langsung ke saya atau bisa juga lewat telepon," jawab Santy.
"Kalau begitu ditinggal saja dulu ya biar saya pelajari."
"Baik, Bu dan saya siap setiap saat membantu ibu!" janji Santy. "Bu Kabid, saya permisi dulu mau melanjutkan ke responden lain." Tangannya terulur menyalami Bu Sartika yang juga mengulurkan tangannya. Setelah itu Santy beranjak keluar ruangan.
Sepeninggal Santy, Ibu Kabid Sartika meraih kembali lembaran kuisioner yang ada di atas meja kerjanya dan mulai membaca satu per satu pertanyaan yang ada di kuisioner tersebut. Dimulai dari data-data pribadi responden, kemudian pertanyaan-pertanyaan yang menjadi dimensi, sub dimensi, dan indikator utama Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan yang akan menghasilkan angka Indeks Kebahagiaan itu.
Bu Sartika menyandarkan badannya ke sandaran kursi kerjanya. Matanya menatap ke langit-langit ruangan kerjanya sambil otaknya berpikir, manusia pasti bahagia kalau ia punya jabatan, harta, dan uang yang banyak serta punya kawan-kawan atau kolega yang setara dirinya. Apa masih perlu hal seperti itu disurvei? Bu Kabid membatin.
Tapi ingat Santy petugas BPS yang penuh senyum itu dipaksakannya juga terus membaca kuisoner. Bu Sartika membaca ada tiga dimensi yang dilihat dalam survei ini, yaitu Dimensi Kepuasan Hidup yang terdiri dari dua sub dimensi yaitu kepuasan hidup personal dan kepuasan hidup sosial yang mencakup sepuluh domain terkait aspek kehidupan manusia yang esensial yaitu pendidikan, pekerjaan, pendapatan rumah tangga, kesehatan fisik dan mental, keharmonisan keluarga, ketersediaan waktu luang, hubungan sosial, keadaan lingkungan, dan kondisi keamanan serta kondisi rumah dan fasilitas rumah. Dia baca lambat-lambat semua aspek yang terkait dimensi ini semuanya tidak ada masalah dari apa yang dialaminya.
Masalah pekerjaan, Bu Sartika, kepala bidang di salah satu Kantor Dinas Provinsi, pendidikan strata dua, sehat fisik dan mental (sudah berapa kali ikut tes kesehatan), punya gaji dan tunjangan, juga pendapatan suaminya yang juga seorang pejabat, punya anak dua orang yang sudah berkeluarga dan memberikan dua orang cucu, punya rumah yang bagus di sebuah kompleks perumahan elite di kota ini yang lingkungannya aman dan terkendali.
Untuk hubungan sosial dia ikut berbagai macam arisan dan pengajian. Keharmonisan keluarga? Bu Sartika berhenti sebentar di pertanyaan ini. Dia tidak bisa langsung menjawab. Tapi ditepisnya sesuatu yang berbisik di lubuk hatinya dengan sebuah perkataan yang dia ucapkan perlahan dari bibirnya, "Keluargaku harmonis!" Kemudian dia mengangkat wajahnya dari membaca kuisioner, memutar kursinya menghadap jendela kaca yang ada di dinding sebelah kiri meja kerjanya. Matanya memandang hampa keluar.
Aneh. Bu Sartika heran, pertanyaan kuisioner ini bisa membuatnya tertegun untuk menyelam ke dasar kalbunya, membuka pundi-pundi luka yang tersimpan rapi entah sudah berapa tahun. Apa mungkin karena ini hanya kalimat-kalimat yang tertulis di sebuah kuisioner yang tidak bisa menyebarkan jawaban darinya ke mana-mana?
Tidak ada yang perlu ditakutkan oleh Bu Sartika bila dia menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Lain halnya kalau pertanyaan seperti itu datang dari kerabat atau temannya. Implikasinya sangat banyak. Bisa runtuh semua apa yang dia bangun sekian tahun tentang keluarga harmonis, bahagia, dan sukses. Sehingga sesakit apapun yang dialaminya dalam kehidupan berkeluarga khususnya tentang hubungannya dengan suaminya harus tetap dipoles seolah-olah tidak ada masalah.
Dia harus berperan jadi seorang istri yang bahagia luar dan dalam. Apa karena keletihannya berpura-pura selama ini sehingga ketika dia membaca pertanyaan kuisioner ini dia seakan tiba pada waktu untuk melepaskan semua beban berat yang menghimpit di dadanya? Ada kesedihan perlahan merambat di hati Bu Sartika mengingat semua kejadian dalam rumah tangganya dengan Mas Randy suaminya.
Semua bermula saat suaminya belasan tahun yang lewat dapat promosi menjadi kepala dinas di kabupaten. Pada saat itu mereka sepakat Bu Sartika dan anak-anak tidak ikut boyongan pindah ke kabupaten tempat Mas Randy dapat tugas baru. Alasannya demi pendidikan anak-anak dan Mas Randy juga setiap saat bisa balik karena jarak ibu kota kabupaten tempat Mas Randy kerja kurang lebih sembilan puluh lima kilo meter dari rumah tinggal mereka di ibu kota provinsi. Bu Sartika juga sesekali ke sana ikut acara Darma Wanita di kantor suaminya.
Tahun pertama berlalu tanpa ada masalah. Mas Randy sibuk jadi pejabat yang baik dan berusaha membangun berbagai macam prestasi untuk membuktikan diri pada bupati bahwa ia bisa dipercaya dan bisa membantu Pak Bupati. Tetapi memasuki tahun kedua, Bu Sartika mulai mencium aroma ketidakberesan. Mulai dari waktu suaminya yang jarang pulang alasannya banyak pekerjaan dan sering mendampingi bupati kunjungan ke lapangan. Mereka sudah lama bersama, bukan hanya semasa pernikahan, tetapi dia dan Randy sudah pacaran sejak masih kuliah. Randy kakak kelasnya setahun di fakultas yang sama. Jadi sedikit perubahan baik yang positif apalagi yang jelek akan segera tercium naluri kewanitaannya.
Apalagi kalau masalah hubungan suaminya dengan perempuan lain. Setelah dia selidiki, benar suaminya punya selingkuhan di tempat tugas barunya. Mengetahui hal itu awalnya dia marah, merasa disepelekan, dan ingin rasanya dia mengakhiri rumah tangganya dengan Mas Randy. Tapi hanya beberapa bulan selingkuhnya Mas Randy menjadi masalah di antara mereka. Setelah itu dia simpan semua masalah pengkhianatan di dalam benaknya dengan satu ancaman kepada Mas Randy, jangan coba-coba membuat perselingkuhan itu menjadi resmi atau sah dan mari berjalan masing-masing tanpa memberi tahu anak-anak.
Dan, sejak itu dimulailah kehidupan rumah tangga mereka dengan kepura-puraan. Pura-pura mesra, pura-pura akur, pura-pura bahagia. Dia juga mulai petualangan dengan berselingkuh dengan rekan kerjanya. Bertahun mereka jalani keadaan pernikahan seperti itu. Anak-anak tumbuh dan besar sampai mereka berumah tangga dan punya anak dalam kondisi rumah tangga orangtua mereka seperti itu.
Sebagai ibu dia bisa melihat anak-anaknya juga tahu apa yang mama dan papa mereka lakonkan. Tapi karena masalah ini tidak pernah terbuka secara vulgar, serta mereka diasuh dan dibesarkan tanpa kurang suatu apapun, mereka tidak pernah berani bertanya baik ke dia ataupun ke suaminya.
Sebagai perempuan kalau ditanya kenapa dia mau dan kuat menjalani rumah tangga seperti itu, dia pun tidak bisa menjawabnya. Karena sudah berlangsung bertahun-tahun, dia dan suaminya sudah tenggelam dalam suasana tersebut. Mereka berjalan selayaknya rumah tangga normal. Bisa pergi bersama ke kondangan, umroh bersama, gathering sama keluarga besar mereka.
Bu Sartika kembali memutar kursi kerjanya menghadap meja, membaca lagi kuisioner survei yang seolah membedah apa yang dilakoninya selama ini. Hal yang jarang bisa dialaminya karena dia tidak pernah mau membicarakan keadaan rumah tangganya dengan siapapun. Kalau ada orang yang mencoba masuk untuk membicarakannya akan langsung dia coret sebagai teman, sebagai kerabat. Tidak peduli orang tersebut dekat atau akrab dengan dia. Itu cara bertahan yang dia buat untuk menutupi kejadian sebenarnya.
Hati Bu Sartika makin perih membaca indikator survei tentang dimensi perasaan yaitu perasaan senang, tidak khawatir/cemas, dan tidak tertekan.
Hari-hari yang dialaminya sejak kesepakatan yang dia buat dengan suaminya untuk menjalani rumah tangga dengan kepura-puraan adalah detik-detik hidup yang tertekan, khawatir, dan cemas yang dia coba balut dengan berbagai kegiatan yang menggambarkan seolah keluarganya adalah keluarga paling bahagia di dunia seperti yang dilihat Santy petugas dari BPS di medsosnya.
Dia tidak tahu sampai kapan itu akan berlangsung. Karena sekarang dia tidak bisa lagi membedakan antara kebahagiaan sejati dan kebahagiaan semu. Kalau dikatakan ini harus dia akhiri tapi mau dibuat seperti apa setelah diakhiri dia bingung. Dia mungkin harus bicara dari hati ke hati dengan suaminya untuk mengakhiri semua ini. Tapi perlukah? Bukankah salah satu kebahagiaan mereka sekarang adalah bisa saling menyakiti?
Dengan hati yang terus terpilin dengan keperihan dan air mata yang dia bendung supaya tidak jebol keluar, Bu Sartika membaca dimensi terakhir dari survei yang menjadikannya sebagai salah satu responden, yaitu dimensi makna hidup dengan indikator kemandirian, penguasaan lingkungan, pengembangan diri, hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup, dan penerimaan diri.
Bu Sartika bangkit dari kursi kerjanya, berjalan menuju pintu masuk ruangan, dan memutar anak kunci pintu untuk mengunci pintu dari dalam. Dia tidak ingin diganggu oleh siapapun hari ini. Setelah mengunci pintu, Bu Kabid Sartika kembali duduk di kursi kerjanya, membaca sekali lagi semua indikator dari dimensi terakhir survei. Mencoba memahaminya lamat-lamat sambil menyandarkan badannya di sandaran kursi dan memejamkan matanya biar bisa mendengar suara yang mengalun dalam kalbunya.
Dia, Ir. Sartika Kumala, MM, kepala bidang di salah satu Kantor Dinas Provinsi. Wanita yang menentukan pilihannya dalam menjalani kehidupan rumah tangga, karier, dan membesarkan anak-anaknya. Menciptakan kondisi lingkungan pekerjaan dan pertemanan sesuai yang dimauinya yakni bahwa tidak ada yang boleh menyinggung kehidupan keluarganya dan semua bawahannya statusnya adalah di bawah dia dalam semua hal.
Dia tidak perlu susah-susah meningkatkan kemampuan diri atau mengembangkan diri agar kariernya naik karena menurut dia karier ditentukan oleh siapa yang membawa dia atau yang dia pegang. Hubungan dengan orang lain harus dalam level yang sama supaya semua bisa nyambung dan semasukan dalam hal cerita dan omongan. Tujuan hidupnya adalah mengumpulkan harta dan uang sebanyak-banyaknya dengan segala cara karena itulah yang bisa membuat bahagia.
Ibu Sartika Kumala duduk terenyak di kursi kerjanya. Air matanya tidak dapat lagi dia tahan untuk tidak keluar membasahi pipinya yang glowing. Di hatinya menggema tanya, "Apakah aku bahagia?"
Palembang. Jan 24
Rahmat M. Harahap lahir di Padangsidimpuan, Sumatera Utara dan sejak 1995 berdiam di Palembang. Tulisannya berupa cerpen dan puisi telah dimuat di surat kabar yang terbit di Medan, Palembang, dan Jakarta. Buku kumpulan cerpennya yang telah terbit berjudul 'Pembunuh Ibu' (2023)
(mmu/mmu)