Dari Kios Pasar Nostalgia, Ukik Antar Mimpi Sang Anak Kuliah hingga Rusia

Dari Kios Pasar Nostalgia, Ukik Antar Mimpi Sang Anak Kuliah hingga Rusia

Jihan Navira - detikJatim
Jumat, 19 Des 2025 20:00 WIB
Dari Kios Pasar Nostalgia, Ukik Antar Mimpi Sang Anak Kuliah hingga Rusia
Pasar Nostalgia di Surabaya (Foto: Jihan Navira/detikJatim)
Surabaya -

Di antara hiruk pikuk Pasar Burung Bratang, Surabaya, terdapat sebuah bangunan tua yang tampak kurang terawat rupanya memiliki segudang cerita di dalamnya, Pasar Nostalgia. Satu di antara kios kecil yang ada, menyambut detikJatim dengan alunan musik klasik yang terdengar samar-samar dari kejauhan.

Saat mendekat, rupanya kios kecil itu penuh dengan piringan vinyl, kaset disko, foto-foto tua, hingga mainan lawas yang tertata penuh ingatan. Kios itu bernama Antiktintoysbasuki. Pemiliknya, R Basuki Sektiyo Adji, atau yang akrab dipanggil Ukik, menjadi jiwa dari tempat yang tampak sederhana namun menyimpan perjalanan hidup yang jauh melampaui ruang beberapa meter persegi itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pasar Nostalgia di SurabayaPasar Nostalgia di Surabaya Foto: Jihan Navira

Lahir dari Keluarga Musik

Jika menelusuri awal kehidupannya, tak heran jika Ukik memiliki ratusan koleksi yang ia simpan sejak lama. Hal itu karena Ukik tumbuh akrab dengan melodi. Lingkungannya sejak kecil diisi musik yang mengalun dari pagi hingga malam. Ayahnya gemar memutar Beatles, Rolling Stones, dan band klasik lainnya. Ibunya pun penyuka lagu-lagu lawas, membuat rumah itu seolah tak pernah benar-benar sepi.

Karena itu lah ia dan ketiga saudaranya sudah akrab dengan musik sejak masih kecil. Ia juga sempat menempuh pendidikan musik di Yamaha Musik Indonesia, belajar piano, organ, juga gitar. Keluarganya tidak terpaku pada satu genre. Era 1974 sampai 1980 adalah masa di mana rumah mereka dipenuhi musik disko.

ADVERTISEMENT

"Kami punya band keluarga, namanya Towankin. Gabungan dari nama 4 bersaudara, Tommy, Wawan, Basuki, dan Iin. Band kita juga ada unsur diskonya juga, tapi kami pakai kaset," kenangnya sambil tertawa kecil.

Ukik mengaku bahwa dulu dirinya ingin sekolah DJ, tapi takut untuk meminta izin ke orang tuanya karena ia merasa sudah pasti akan ditolak nantinya. Namun, itu tak menghentikan niatnya belajar disko. Ukik belajar langsung Audio Hifi dari Tommy kakaknya. Band keluarga itu pun pada akhirnya dibubarkan oleh mendiang Ibu Ukik karena anak-anaknya harus menempuh pendidikan tinggi.

Pasar Nostalgia di SurabayaPasar Nostalgia di Surabaya Foto: Jihan Navira

Belajar dari Sang Kakak

Pengalamannya belajar musik datang dari sumber yang tidak biasa, yaitu dari para kakaknya sendiri. Tahun 1978, saat ia masih duduk di bangku SMP kelas dua, kakak-kakaknya mengajarkan audio elektronik, musik, hingga motocross.

"Ilmu saya itu bukan dari teman sebaya atau adik, tapi dari Kakak. Jadi yang masuk itu bukan cuma musik, tapi elektronik juga. Makanya saya ngerti pitching, overtune. Tapi karena warna vokal kami kurang bagus, ya kami nggak nyanyi," tutur Ukik.

Koleksi musik disko yang kini memenuhi kiosnya menjadi bukti panjang perjalanan musikal itu. Tak heran jika kiosnya sering dijadikan tempat nongkrong anak-anak muda, terutama mahasiswa ITS, Unair, Trimurti, hingga Petra.

"Banyak anak DJ datang ke sini. Dari tampilan depan sudah kelihatan kalau disko saya lengkap banget, dari 70-an, 80-an, sampai 90-an," jelas Ukik.

Foto-Foto yang Tidak Akan Pernah Dijual

Ia membuka dokumentasi pelanggan di media sosialnya, menunjukkan foto-foto mahasiswa yang datang, berdiskusi, bahkan mencicipi turntable tua seperti barang antik sakral.

Dinding kiosnya dipenuhi foto. Ada yang berharga, ada yang sangat berharga. Tapi beberapa di antaranya tidak pernah dan tidak akan pernah ia jual.

"Yang ada tanda 'F' itu family. Nggak dijual," jelasnya.

Ia menunjuk foto keluarga mereka di Istana Negara. Juga foto cikal bakal berdirinya BRI, di mana ayahnya turut serta.

"Waktu itu mau dibeli pihak bank, tapi nggak saya lepas. Ini warisan dari Papa saya," katanya tegas.

Bahkan foto asli Waldjinah pun ada di sana warisan sejarah yang diam, namun cukup untuk menggambarkan sosok Ukik yang cinta dengan memori dan sejarah.

Kisah hidup Ukik tidak pernah datar. Semua itu ia kemas rapi dalam benda-benda yang sebagian ia pajang di kios antiknya itu. Tapi tentu saja, semua benda itu menyimpan kisah hidup Ukik dari tahun ke tahun.

Salah satunya adalah rak Coca-Cola yang kini ia gunakan untuk menyimpan plakat. Rupanya itu menggambarkan sedikit perjalanan jatuh bangunnya karir Ukik. Ia pernah bekerja di bank swasta, namun badai tahun 1998 membuatnya ikut terseret.

Pasar Nostalgia di SurabayaPasar Nostalgia di Surabaya Foto: Jihan Navira

"Waktu Pak Harto lengser, bank tempat saya kerja ikut kena imbas. Saya nganggur. Sepuluh tahun saya nggak kerja di instansi," kata Ukik.

Namun ia tidak berhenti. Ia bekerja di event organizer, mengajar les musik, pernah juga ia menjadi pembimbing musik salah satu perusahaan besar seperti Coca-Cola, hingga akhirnya diangkat sebagai Wakil Direktur di Akademi Kebidanan Gresik. Hingga di suatu titik ia memutuskan berhenti.

"Tahun 2012, saya keluar dari zona nyaman. Saya pensiun. Saya sudah puas tapi saya masih merasa muda. Sekarang saya jual hobi saja," tutur Ukik.

Pandangannya pun teralihkan dengan sepatu yang terbungkus rapi di rak bawah. Ukik tersenyum sambil menunjuk sepatu SMA yang masih ia simpan sejak puluhan tahun lalu.

"Masih bagus. Saya simpan semua, sejak dulu," jelas Ukik.

Kuliahkan Anak ke Rusia

Meski kios itu kecil, dari sinilah Ukik membiayai hidup dan pendidikan anak-anaknya. Ia menatap salah satu foto anaknya di layar ponsel.

"Anak saya lulusan Rusia. Saya membiayainya dari sini," ucapnya dengan nada bangga namun tetap sederhana.

Ia ingin menyekolahkan anaknya ke tempat terbaik di dunia. Di Eropa yang terbaik memang Rusia.

"Di Eropa, yang terbaik itu memang di Rusia. Amerika, Jerman, Prancis bagus, tapi Rusia itu beda. IQ mereka beda dengan kita. Dan alhamdulillah, dia jadi 'The Best International Student', mahasiswa asing terbaik," jelas Ukik.

Kini, anaknya bekerja sebagai analis finansial di Jakarta. Ia menunjukkan foto putranya saat masih kecil sambil tersenyum kecil: "Ini dia, masih kecil banget," ujar Ukik dengan nada haru.

Perjalanan anak bungsunya tidak terjadi begitu saja. Ukik adalah ayah yang terlibat penuh.

Dari SMP 3, kemudian diarahkan ke SMAN 1 Surabaya, sekolah favorit kota. Ia bahkan rela membayar bimbel mahal, meski pada akhirnya anaknya hanya membayar Rp 1 juta karena prestasi.

Saat menceritakan kisah anaknya kepada detikJatim, Ukik mengingat semua detail.

"Percaya nggak? Saya dulu antar dia pakai motor habis salat subuh, jadi saya masih punya wudhu dan nggak pernah telat mengantar. Dari rumah di Asem Jaya sampai ke Kota Madya, saya bacakan Al-Fatihah. Keningnya saya tiup sebelum dia masuk, alhamdulillah," kata Ukik.

Ia mengaku mungkin terdengar berlebihan. Tapi baginya, itu bentuk ikhtiar seorang ayah. Walaupun mereka hidup dalam kecukupan, ia tetap memberikan pembelajaran atas kesederhanaan yang menemani sang anak di SMA. Tas dan sepatu tak pernah berganti hingga kelulusan.

"Itu saya lupa belikan. Yang saya ingat hanya jangan sampai anak saya telat dan ada masalah sama gurunya," terang Ukik.

Ukik mengaku bersyukur saat itu anaknya tidak merasa minder dan tidak banyak menuntut padahal saat itu Ukik baru saja keluar dari Gresik. Namun prestasinya besar, putranya mewakili Jawa Timur dalam Olimpiade Fisika Nasional dan meraih juara dua se-Indonesia.

Menurut Ukik, putranya pada saat itu merasa kalah dalam komunikasi dan putranya sendiri sadar akan hal itu. Selain itu, putranya juga tidak bisa mengendarai sepeda motor, sehingga harus naik angkot dan menjalani bimbel hingga pukul 10 malam.

"Yang lebih hebat dari anak saya banyak, tapi anak saya tidak terfasilitasi dengan baik sebaik mereka yang secara finansial sangat memungkinkan. Tapi yang jelas, dia punya mimpi dan tekad," kata Ukik.

Ukik menyampaikan jika anaknya itu tak mau ada noda di perjalanannya. Dengan segala keterbatasan, ia tak pernah putus asa untuk terus belajar dengan keras.

Di samping kerasnya usaha anaknya, Ukik setelah mengantarkannya ke sekolah pun lanjut untuk mencari barang antik.

"Jadi saya nggak membuang waktu saya," kata Ukik.

Ukik mengatakan bahwa anaknya pernah diterima di beberapa kampus ternama di Indonesia. Tapi pada saat itu ia mencari kampus yang bisa dicicil pembayarannya. Pada akhirnya, anaknya masuk di universitas ternama di Yogyakarta, Jawa Tengah, namun hanya bertahan hanya dua tahun.

"Ada kesenjangan ekonomi yang terasa banget. Ada donasi nasi harga 3 ribu. Itu bagi saya bullying yang halus dan itu menyakitkan," kata Ukik sambil mengingat-ingat.

Kesenjangan sosial yang dirasakan Ukik akan menghambat anaknya untuk berprestasi. Hingga pada akhirnya, anaknya memutuskan untuk keluar dan ingin mencari kuliah beasiswa ternama di Benua Eropa.

Anaknya pun memilih mengejar beasiswa ke Eropa. Dari 1.600 kandidat, hanya satu yang diterima dan itu anaknya, R Naufal Muhammad Ramadhan.

Kendala berikutnya adalah bahasa, Naufal belum bisa bahasa Rusia sama sekali. Selama menunggu penempatan studi enam bulan, ia pergi ke Balai Pemuda untuk mengasah lebih tajam kemampuan berbahasa Inggrisnya. Semua ia lakukan sendiri.

Ukik mengaku bahwa Naufal mirip kakeknya, Papa Ukik yang ia sebut sebagai ensiklopedia hidupnya. Papa Ukik menguasai lima bahasa Jepang, Prancis, Inggris, Belanda, Jerman, sedangkan Naufal hingga saat ini 'fluent' dalam berbahasa Inggris, Jerman, Rusia, dan Jepang.

Sebelum berangkat, Naufal bekerja serabutan. Tujuannya hanya satu mengumpulkan biaya tiket dan mengurus visa tanpa membebani orang tua. Ia pernah bekerja sebagai pembersih kaca di pom bensin, sales di Pakuwon, hingga kurir mobil box

"Dia sendiri yang urus segalanya," tegas Ukik.

Naufal akhirnya berangkat ke Rusia sebelum pandemi. Berbekal tiga bahasa, terutama bahasa Inggris.

Daerah tempat kios Ukik berdiri dulunya adalah pasar yang hampir mati. Pasar antik yang berada di daerah Padmosusastro Surabaya dialihkan ke Pasar Nostalgia di Bratang ini secara gratis. Di tahun 2012, setelah pameran di Surabaya Plaza, Ukik diminta untuk menjadi salah satu penghuni Pasar Nostalgia ini.

Sejak itu, kiosnya menjadi ruang di mana kisah hidupnya bertemu dengan masa lalu kota. Tempat di mana musik lawas, kaset disko, foto sejarah, dan benda-benda antik bukan hanya sebagai barang, melainkan jembatan kenangan.

Dan dari sudut kecil itu, dari pasar yang dulu sepi dan ditinggalkan, Ukik berhasil menghidupi keluarganya, membiayai pendidikan anaknya hingga Rusia, dan menjaga cerita-cerita yang nyaris hilang dari ingatan.

Ia menutup kisahnya pelan, "Saya sekarang jual hobi. Hidup saya sudah cukup."

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video: Berburu Memori untuk Jelajahi Waktu Lewat Kaset Bekas"
[Gambas:Video 20detik]
(auh/hil)


Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads