Pesona Pulau Noko dan Terumbu Karang Pulau Bawean

Pesona Pulau Noko dan Terumbu Karang Pulau Bawean

Irma Budiarti, Mira Rachmalia - detikJatim
Senin, 29 Sep 2025 11:35 WIB
Gili Noko
Gambar Udara Gili Noko, Salah satu Daya Tari Wisata Pulau Bawean. Foto: Disparekrafbudpora Kab Gresik
Gresik -

Gili Noko, salah satu ikon bahari Pulau Bawean, dikenal dengan hamparan pasir putihnya yang memukau dan terumbu karang yang masih terjaga keasriannya. Pulau Bawean sendiri, yang terletak di wilayah administratif Kabupaten Gresik, Jawa Timur, sering dijuluki sebagai "Mutiara Tersembunyi di Laut Jawa".

Julukan itu bukan tanpa alasan, Bawean memiliki keindahan alam yang masih terjaga, mulai dari pantai berpasir putih, laut jernih, hingga keramahan masyarakat pesisir yang membuat wisatawan betah berlama-lama. Tak heran, Bawean juga kerap disebut sebagai "Sekeping Nirwana di Laut Jawa" karena pesonanya.

Lebih dari sekadar destinasi wisata, Pulau Bawean dan Gili Noko menyimpan kekayaan ekosistem laut yang sangat berharga. Terumbu karang yang indah, padang lamun yang subur, hingga penyu-penyu yang menjadikan pulau ini lokasi bertelur, menjadikannya surga bagi keanekaragaman hayati.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, pesona itu kini menghadapi tantangan serius akibat aktivitas manusia dan perubahan iklim. Untuk itulah, Pulau Bawean sedang dipersiapkan menjadi Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD), demi menjaga kelestariannya agar tetap menjadi benteng alami, sumber penghidupan, dan wisata bahari berkelanjutan.

Gili NokoGili Noko Foto: disparekrafbudpora Kab Gresik

Daya Tarik Pulau Noko Gili

Pulau Noko merupakan salah satu destinasi wisata paling populer di Bawean. Secara administratif pulau ini berada di Dusun Gili, Desa Sidogedungbatu, Kecamatan Sangkapura, dengan koordinat 112Β°46' bujur timur dan 5Β°48' lintang selatan.

ADVERTISEMENT

Luasnya sekitar 50.000 meter persegi, berupa hamparan pasir putih yang membentang di tengah laut. Kontur Pulau Gili Noko memiliki ketinggian mencapai 10 meter dari permukaan air pasang tertinggi. Jaraknya sekitar 10 kilometer dari Dermaga Wisata Sangkapura, sehingga mudah dijangkau oleh wisatawan.

Menurut Booklet Amazing Bawean, Pulau Noko Gili terletak di sebelah barat Pulau Gili. Hamparan pasirnya sepanjang 600 meter dengan lebar sekitar 25 meter, tampak seperti permata di Laut Jawa.

Saat air surut, pengunjung bisa berjalan kaki dari Pulau Gili, namun saat pasang, tersedia perahu nelayan yang siap mengantar. Di malam hari, pasir putihnya berkilau bak mutiara akibat pantulan cahaya bulan di permukaan laut yang jernih.

Selain panorama daratannya, Pulau Noko juga dikenal karena pesona bawah lautnya. Terumbu karang di kawasan ini termasuk berkualitas unggul menurut hasil penelitian IPB dan Universitas Brawijaya.

Aktivitas seperti snorkeling, diving, berenang, hingga memancing menjadi favorit wisatawan yang ingin menikmati langsung keindahan ekosistemnya. Tersedia pula spot foto alami dengan latar sunrise dan sunset yang menawan. Bagi pencinta petualangan, hutan kecil di sekitar pantai bisa dijadikan jalur trekking ringan.

Perjalanan menuju Pulau Noko kini lebih mudah. Wisatawan dapat terbang ke Bawean melalui Bandar Udara Harun Thohir, yang dilayani maskapai Susi Air, atau melalui Pelabuhan Umum Bawean.

Dari Alun-alun Sangkapura, perjalanan dilanjutkan sekitar 20 menit menuju Dermaga Jembatan Apung, lalu menyeberang dengan perahu nelayan selama kurang lebih 45 menit hingga tiba di Pulau Noko yang memesona.

Potensi Ekowisata dan Kekayaan Terumbu Karang Pulau Noko

Dilansir jurnal berjudul Potensi Ekosistem Terumbu Karang Untuk Pengembangan Ekowisata Pulau Noko Bawean yang ditulis Raden Syaifuddin, perairan Pulau Noko memiliki karakteristik terumbu karang yang khas dan menjadi salah satu magnet wisata bahari Bawean.

Keindahan bawah lautnya yang sulit ditemukan di wilayah lain menjadikan Pula Noko bukan hanya destinasi wisata, tetapi juga peluang pengembangan ekowisata yang selaras dengan konservasi terumbu karang.

Kawasan ini menjadi rumah bagi ikan-ikan hias berwarna-warni serta ragam terumbu karang alami dari famili Poritidae dan Acroporidae, seperti Porites sp., Acropora gemmifera, Acropora humilis, Acropora caroliniana, Acropora loripes, Acropora pulchra, Acropora granulosa, Acropora formosa, Acropora sarmentosa, Acropora millepora, hingga Acropora palifera.

Kekayaan tersebut didukung keberadaan bangkai kapal (shipwreck) dan cekungan-cekungan alami di dasar laut yang berfungsi sebagai tempat berlindung berbagai biota, mulai dari nudibranch Phyllidia guttatus, ikan kakap merah (Lutjanus campechanus), ikan napoleon (Cheilinus undulatus), hingga gerombolan tongkol (Euthynnus affinis).

Upaya Konservasi di Noko Gili

Kesadaran menjaga ekosistem laut Pulau Noko sebenarnya sudah tumbuh di tingkat masyarakat sejak lama. Pada 2010 dan 2014, kelompok pengawas masyarakat (Pokmaswas) melakukan transplantasi karang untuk mengisi area perairan yang belum memiliki terumbu.

Upaya sederhana ini dinilai cukup berhasil meningkatkan kerapatan karang, meski data kuantitatifnya belum terdokumentasi secara berkelanjutan, berdasarkan penelitian 2023. Perairan Pulau Noko pun terlihat lebih padat dan indah dibanding sebelumnya.

Hal ini diperkuat data terbaru Balai Besar KSDA Jawa Timur 2025 yang menunjukkan hasil dari upaya-upaya tersebut. Tutupan karang hidup di Pulau Noko mencapai 74,64 persen, termasuk tinggi dibanding wilayah sekitarnya, dengan keanekaragaman hayati kategori sedang.

Terumbu karang ini menjadi rumah bagi berbagai biota laut seperti Sabellastarte, Nerita, Trochus, Phyllidiella, Tridacna, hingga Linckia yang masih bertahan meski tekanan lingkungan dan perubahan iklim terus membayangi.

Sebagai bentuk pemulihan aktif, pada Juli 2025, tim konservasi bersama mitra perguruan tinggi dan perusahaan kembali melakukan transplantasi karang di perairan Pulau Noko. Mereka menanam lima unit struktur berbentuk jaring laba-laba atau "Web Spider".

Di mana, "Web Spider" tersebut membawa 75 bibit karang dari genus Acropora, Anacropora, dan Montipora. Upaya ini bukan sekadar langkah teknis, tetapi juga wujud komitmen menjaga laut Bawean agar tetap menjadi benteng kehidupan dan sumber daya berkelanjutan, terutama di Pulau Noko.

Seiring meningkatnya kegiatan ekowisata, Pokmaswas juga sudah lama memberlakukan berbagai aturan demi menjaga terumbu karang tetap lestari. Aturan tersebut antara lain sebagai berikut.

  • Larangan bagi nelayan membuang jangkar di kawasan terumbu karang saat berlabuh
  • Larangan menghidupkan mesin perahu ketika air surut untuk menghindari tebasan baling-baling.
  • Larangan bagi wisatawan yang snorkeling untuk menginjak karang.

Kebijakan ini bertujuan melindungi ekosistem terumbu karang dari kerusakan baik yang disengaja maupun tidak, sehingga keindahan bawah laut Noko tetap terjaga dan terus menarik minat wisatawan lokal maupun mancanegara.

Kenapa Pulau Bawean Perlu Dilindungi?

Pesona Pulau Bawean bukan hanya terletak pada pasir putih atau terumbu karangnya yang memikat mata. Di balik keindahan itu, Bawean berperan sebagai benteng ekologi penting di Laut Jawa. Keanekaragaman hayati yang hidup di dalamnya menjadi penyangga keseimbangan alam dan sumber penghidupan bagi warga pesisir.

Namun, pesona ini juga rentan terhadap tekanan manusia dan perubahan iklim. Karena itu, menjaga Bawean berarti menjaga kehidupan di sekitarnya. Beberapa alasan mengapa Pulau Bawean harus dilindungi antara lain sebagai berikut.

  • Keberagaman hayati laut yang meliputi terumbu karang, padang lamun, hingga habitat penyu.
  • Sumber penghidupan masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup dari hasil laut.
  • Benteng alami dari dampak perubahan iklim seperti abrasi dan badai.
  • Potensi besar sebagai wisata bahari berkelanjutan yang bisa mendukung ekonomi lokal.

Ancaman terhadap Keindahan Pulau Bawean

Meski memiliki pesona alam dan potensi ekowisata yang luar biasa, Pulau Bawean tidak lepas dari berbagai ancaman serius yang dapat merusak keseimbangan ekosistemnya. Berdasarkan data Jatim Pemprov, ancaman-ancaman itu antara lain sebagai berikut.

  • Penangkapan ikan berlebihan (overfishing) yang mengganggu populasi ikan dan siklus reproduksi alami.
  • Penangkapan ikan destruktif menggunakan bom atau racun yang merusak terumbu karang secara permanen.
  • Aktivitas wisata tak terkontrol yang dapat merusak lamun dan mengganggu habitat penyu.
  • Abrasi dan erosi pesisir akibat hilangnya vegetasi pantai.
  • Perubahan iklim global yang memicu pemutihan karang dan cuaca ekstrem.
  • Pencemaran laut dari limbah domestik, plastik, dan aktivitas transportasi laut.

Kawasan Konservasi Perairan, Upaya Menjaga Kelestarian Bawean

Menyadari potensi sekaligus ancaman yang mengintai, pemerintah bersama berbagai pihak mulai menyiapkan Pulau Bawean sebagai Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD). Kawasan ini dirancang dengan sistem zonasi sesuai Peraturan Presiden No 83/2020 agar pengelolaan sumber daya laut terarah dan berkelanjutan.

Melalui KKPD, biodiversitas laut di sekitar Bawean diharapkan tetap terjaga, ekosistem pesisir terlindungi, serta pemanfaatan hasil laut bisa diatur agar tidak merusak keseimbangan alam. Kawasan konservasi ini juga membuka peluang bagi ekowisata yang lebih bertanggung jawab.

Sehingga manfaat ekonomi dapat dinikmati masyarakat lokal tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan. Beberapa manfaat yang diharapkan dari keberadaan KKPD di Pulau Bawean antara lain sebagai berikut.

  • Melestarikan keanekaragaman hayati laut.
  • Menjaga keseimbangan ekosistem pesisir.
  • Menjadi bentuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
  • Memberikan manfaat sosial-ekonomi bagi masyarakat pesisir melalui wisata berkelanjutan.

Dengan pengelolaan yang tepat, Pulau Bawean tidak hanya akan menjadi destinasi wisata bahari unggulan Jawa Timur, tetapi juga pusat konservasi laut yang memberi manfaat bagi generasi mendatang.




(ihc/irb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads