Di Kabupaten Kediri berdiri Museum Bagawanta Bhari, tempat yang menyimpan jejak peradaban dan kekayaan budaya Jawa Timur. Museum ini tidak hanya menjadi destinasi wisata edukatif, tetapi pusat pelestarian artefak bersejarah, mulai dari arca, prasasti, hingga benda cagar budaya yang mencerminkan kejayaan masa lalu.
Melalui koleksi yang ditata rapi, pengunjung diajak mengenal perjalanan Kediri sejak masa Kerajaan Kadiri pada abad ke-10 hingga era modern. Museum ini juga mengabadikan nama Bhagawanta Bhari, tokoh penting yang berjasa membangun sistem irigasi dan mendukung peradaban agraris di Kediri.
Sejarah Museum Bagawanta Bhari Kediri
Dilansir jurnal "Mengungkap Nilai-Nilai Kearifan Lokal Kediri Sebagai Upaya Pelestarian Budaya Bangsa Indonesia", yang ditulis Yuni Wulandari dan Indri Padila, Museum Bhagawanta Bhari didirikan untuk mengenang dan melestarikan sejarah peradaban Kabupaten Kediri, khususnya yang berkaitan dengan Bhagawanta Bhari.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia adalah seorang tokoh spiritual dan pejabat pada masa Kerajaan Kadiri (Panjalu) yang dikenal berjasa besar dalam pembangunan sistem irigasi di wilayah tersebut. Jasanya ini dicatat dalam Prasasti Harinjing yang ditemukan di Desa Siman, Kecamatan Kepung.
Prasasti bertahun 921 M ini mengabadikan kisah Bhagawanta Bhari yang berhasil membangun saluran dan tanggul (dawuhan) di Sungai Harinjing. Karya tersebut berperan penting dalam mengendalikan banjir dan meningkatkan hasil pertanian, yang pada akhirnya membawa kemakmuran bagi masyarakat Kediri pada masanya.
Sebagai pengingat akan jasa besar tersebut dan sejarah agraris Kediri, didirikanlah Museum Bhagawanta Bhari. Museum ini berfungsi sebagai pusat informasi dan konservasi yang menggambarkan perjalanan Kediri dari desa kecil menjadi sebuah kerajaan besar.
Koleksi utama museum ini mencakup berbagai artefak dan replika prasasti, termasuk cerita di balik Prasasti Harinjing yang kini disimpan di Museum Nasional Jakarta. Melalui koleksinya, museum ini juga mengilustrasikan pengetahuan dan kearifan lokal dalam mengelola air telah menjadi dasar identitas dan kejayaan peradaban.
Menurut laman Pusaka Jawatimuran Disperpusip Jatim, pemerintah juga menetapkan 25 Maret hari jadi Kabupaten Kediri sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa Bhagawanta Bhari. Setiap tahun, peringatan ini dirayakan dengan upacara dan prosesi adat yang mengingatkan kembali pada sejarah peradaban agraris Kediri.
Meski Prasasti Harinjing kini disimpan di Museum Nasional Jakarta, nilai sejarah dan pesan yang terkandung di dalamnya terus hidup dalam ingatan masyarakat Kediri, menjadi dasar identitas sekaligus simbol kejayaan daerah yang subur ini.
Lokasi Museum Bagawanta Bhari
Museum Bagawanta Bhari berdiri kokoh di Jalan Soekarno Hatta, Katang, Doko, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Kediri, tepat di belakang gedung DPRD Kediri. Museum ini diresmikan pada 5 Juli 1985 oleh Bupati Kediri saat itu, Usri Sastradireja.
Museum Bagawanta Bhari berfungsi sebagai lembaga pelestarian benda cagar budaya sesuai amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992. Sebagai pusat pelestarian sejarah, museum ini difokuskan untuk mengenalkan kembali kejayaan masa Kerajaan Kadiri.
Terutama peninggalan yang berkaitan dengan pertanian dan sistem irigasi kuno. Nama "Bagawanta Bhari" dipilih untuk menghormati tokoh penting yang berjasa mengelola air dan memakmurkan hasil bumi Kediri di masa lampau.
Jam Buka Museum Bagawanta Bhari
Museum Bagawanta Bhari di Kabupaten Kediri buka setiap Senin hingga Jumat, sementara akhir pekan ditutup untuk umum. Jadwal ini memungkinkan pengunjung menjelajahi koleksi sejarah dan artefak budaya Kediri pada hari kerja dengan waktu kunjungan yang cukup panjang.
- Senin: 07.30-15.30
- Selasa: 07.30-15.30
- Rabu: 07.30-15.30
- Kamis: 07.30-15.30
- Jumat: 07.00-11.30
- Sabtu: Tutup
- Minggu: Tutup
Koleksi Museum Bagawanta Bhari
Museum ini bukan hanya tempat menyimpan benda-benda bersejarah, tetapi pusat edukasi untuk memahami peradaban air di Kediri sejak ribuan tahun lalu. Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, Museum Bagawanta Bhari menyimpan beragam peninggalan bersejarah berikut ini.
- Arca Ganesha - manusia berkepala gajah dengan empat tangan, melambangkan ilmu pengetahuan dan keselamatan.
- Arca Nandi - berbentuk sapi, menjadi wahana sekaligus simbol Dewa Siwa.
- Miniatur Rumah - artefak pemujaan Dewi Sri sebagai dewi kesuburan, biasa ditempatkan di sawah.
- Arca Tokoh - arca dua sisi berbentuk laki-laki dan perempuan yang belum teridentifikasi.
- Arca Brahma - bagian dari Trimurti Hindu, digambarkan berwajah empat dengan atribut camara dan aksamala.
- Jaladwara - saluran air dari candi berbentuk makhluk mistis bawah air, melambangkan tolak bala.
- Bejana/Gentong Batu - wadah penyimpanan air dari masa lampau.
- Arca Wisnu - dewa penjaga alam semesta, digambarkan dengan senjata Chakra dan bunga teratai.
- Kepala Kala - ornamen candi berbentuk kepala raksasa, simbol penolak bala.
- Lapik Arca (Padmasana) - alas arca berhias padma atau teratai.
- Umpak Batu - penyangga tiang bangunan dari batu andesit.
- Fragmen Tembikar - pecahan gerabah dari situs sejarah di Kediri.
- Replika Prasasti Harinjing - bukti sejarah irigasi kuno.
- Artefak pertanian tradisional yang mencerminkan kehidupan agraris masyarakat Kediri.
- Dokumentasi penelitian sistem irigasi, termasuk dawuhan dan bendungan kuno.
Penjarahan Demo Agustus 2025
Pada Sabtu malam, 30 Agustus 2025, museum menjadi korban kerusuhan dan penjarahan dalam unjuk rasa di kompleks Pemkab dan DPRD Kediri. Artefak yang hilang atau rusak termasuk fragmen kepala Ganesha, tiga kain wastra batik, dua plakat HVA Sidomulyo, bata berinskripsi, arca Bodhisatwa, miniatur lumbung, hingga arca Sumbercangkring.
Pemerintah dan Kementerian Kebudayaan segera mengambil langkah pemulihan dan konservasi. Beberapa koleksi utama berhasil diamankan juru pelihara museum. Pemkab juga membuka posko pengembalian artefak, menjamin anonimitas pelapor dan memohon artefak dikembalikan demi warisan budaya yang tak ternilai.
Museum Bagawanta Bhari bukan hanya tempat menyimpan artefak, tetapi ujung tombak pelestarian sejarah Kediri. Keberadaan museum ini membawa pesan penting bahwa warisan budaya adalah memori kolektif yang harus dijaga bersama.
Artikel ini ditulis Fadya Majida Az-Zahra, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.
(auh/irb)