Pemakaman di Desa Wonorejo, Kecamatan Banyuputih, Situbondo berbeda dengan pemakaman pada umumnya. Pemakaman ini berisi kuburan muslim dan nonmuslim.
Maka dari itu, pemakaman umum ini tampak tak beraturan. Ada kuburan yang membujur dari timur ke barat, ada pula yang dari utara ke selatan.
Sebab, kuburan muslim biasanya membujur dari utara ke selatan. Sedangkan kuburan nasrani membujur dari timur ke barat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kuburan desa di sini memang terkesan tidak kompak. Tapi itu cermin kerukunan," tutur Heri Sampurno, warga Desa Wonorejo ketika mendampingi detikJatim mengunjungi kompleks makam, Minggu (13/8/2023).
Pemakaman umum ini luasnya sekitar 5 hektare. Dalam pemakanan ini, banyak kuburan keluarga dalam satu blok, namun tetap membujur tak beraturan. Sebab di Desa Wonorejo, banyak keluarga yang anggotanya beda agama.
Jadi meski berbeda keyakinan, mereka hidup bersama dalam satu keluarga. Kemudian sampai meninggal pun, jasad mereka tetap bersama dalam satu blok pemakaman.
"Kan memang banyak. Satu keluarga yang makamnya dijadikan satu blok. Cuma karena di keluarga itu ada yang muslim dan nonmuslim, akhirnya membujurnya tidak sama," ujarnya.
![]() |
Pemandangan yang demikian dianggap hal biasa oleh warga desa. Itu sebagai bentuk kerukunan umat beragama.
"Saat ada muslim yang meninggal dunia, warga nonmuslim mengantarkan hingga ke liang lahad di pemakaman umum ini. Pun sebaliknya," imbuh Heri.
Potret kerukunan antarumat beragama pun tampak dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ketika muslim merayakan hari besar agama, pemeluk agama lainnya ikut membantu.
Ditemui terpisah, Kepala Desa Wonorejo, Sumarto Adi mengatakan kerukunan antarumat beragama di desanya sudah berlangsung turun temurun. Mereka rukun sampai akhir hayat, dan perbedaan keyakinan tampak hingga liang lahad.
"Keberagaman keyakinan menjadi kerukunan tersebut terus kami bina. Karena kerukunan ini menjadi modal dasar dalam membangun desa," pungkas Sumarto.
Menparekraf Sandiaga Uno mencanangkan Desa Wonorejo di Situbondo sebagai desa wisata. Sebab, keyakinan warganya beragam yang kemudian mengusung jargon Desa Wisata Kebangsaan.
(sun/iwd)