Gagal Jadi Host Piala Dunia U-20, Pakar HI Unair: Tragedi Besar bagi Indonesia

Gagal Jadi Host Piala Dunia U-20, Pakar HI Unair: Tragedi Besar bagi Indonesia

Hilda Meilisa Rinanda - detikJatim
Sabtu, 01 Apr 2023 13:05 WIB
Pakar HI Unair Joko Susanto
Pakar HI Unair Joko Susanto (Foto: Dokumentasi Humas Unair)
Surabaya -

Indonesia gagal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2023. Sementara itu, sanksi FIFA juga sudah di depan mata. Pakar Hubungan Internasional menyebut, hal ini merupakan tragedi besar bagi Indonesia.

Dosen Departemen Hubungan Internasional Unair Joko Susanto SIP MSc menyebut mengatakan batalnya Indonesia sebagai tuan rumah gelaran piala dunia merupakan tragedi besar. Hal ini dikhawatirkan akan membawa dampak buruk bagi Indonesia, baik dari aspek olahraga maupun politik luar negeri.

"Saya rasa ini adalah sebuah tragedi besar bagi Indonesia. Tidak hanya dari sisi olahraganya saja, tetapi juga politik luar negeri dan kepentingan nasional," ujarnya, Sabtu (4/1/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Gagalnya Indonesia menjadi host Piala Dunia disebut ditengarai oleh penolakan sejumlah pihak hingga politisi soal kehadiran Timnas Israel. Meskipun, mereka beranggapan penolakan tersebut merupakan bentuk komitmen dalam mendukung kemerdekaan Palestina yang juga menjadi amanat Presiden Soekarno.

Dengan kata lain, mereka menganggap bahwa menerima Israel sama halnya dengan mengkhianati Soekarno. Joko menilai, anggapan itu tidak lagi relevan.

ADVERTISEMENT

"Terlepas kita punya sejarah terkait penolakan itu, tapi saya melihat bahwa di sini yang ada justru kegagapan dalam melihat situasi internasional," ujarnya saat ditemui Jumat (31/3/2023).

Joko berpendapat, situasi politik internasional telah banyak mengalami perubahan. Ia memaparkan, sebelum tahun 1967, Israel adalah sebuah negara yang secara perimbangan kekuatan masih belum teruji, meskipun telah mendapat dukungan dari Amerika. Sementara itu, Liga Arab relatif lebih solid di waktu yang sama.

"Dalam situasi seperti itu (sebelum 1967), memberi tekanan pada Israel masih menjadi sesuatu yang secara stabilitas politik memiliki prospek. Akan tetapi, setelah tahun 1967, posisi Israel itu semakin terkonsolidasi, sehingga kemudian dukungan terhadap Palestina ini harus lebih kreatif, tidak melulu sekadar mengulang cara-cara lama," terang dosen yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Emerging Indonesia Project (EIP) itu.

Dengan demikian, menganggap bahwa Soekarno akan mengambil langkah penolakan serupa dengan hari ini, berarti sama halnya dengan menyangsikan kemampuannya dalam membaca perubahan situasi global.

"Kita tidak bisa berandai-andai ketika misalnya Soekarno masih hidup, apakah ia akan mengambil langkah yang sama atau tidak. Tetapi, setidaknya dengan menganggap Bung Karno akan mengambil langkah yang sama, berarti kita telah meng-underestimate kemampuan Bung Karno dalam membaca perubahan," tuturnya.

Timbulkan Kerugian

Sejak tahun 2018, Indonesia telah mendukung two state solution (solusi dua negara) sebagai satu-satunya cara untuk merealisasikan perdamaian antara Palestina dengan Israel. Dengan demikian, diperlukan cara-cara yang dipraktikkan dalam mendukung Palestina di era Soekarno tidak lagi sesuai dengan realitas saat ini.

Joko menganggap, perlu adanya pembaruan langkah yang lebih strategis dalam mendukung Palestina. Saat ini, tambah Joko, Indonesia tengah menghadapi kegagalan dalam menghadapi dan membaca situasi yang berbuntut pada kebekuan cara pikir dan langkah strategis.

Menurutnya, membela kemerdekaan negara lain bukan berarti harus mengorbankan kepentingan nasional negara sendiri.

"Saat ini kita terjebak dalam kebekuan cara pikir dan langkah yang membuat kita mati gaya. Menurut saya ini adalah kebangkrutan strategi yang serius, membela Palestina dan menjalankan kepentingan nasional harusnya bisa selaras," tekannya.

Dosen alumnus London School of Economics and Political Science (LSE) itu menambahkan, kegagalan Indonesia kali ini justru menjadi kontraproduktif. Pasalnya, Indonesia meletakkan upaya pembelaan Palestina dalam posisi diametral dengan penggemar sepak bola.

"Itu kerugian, lho. Bukan tidak mungkin, masyarakat penggemar bola akan mengingat gerakan pembelaan ini (bela Palestina, red) sebagai sebuah masalah," ungkapnya.

Jadi Pelajaran Berharga

Polemik yang terjadi saat ini seharusnya dapat menjadi pelajaran baik bagi pemerintah maupun masyarakat Indonesia ke depan. Joko mengatakan, menjalankan amanat untuk membela Palestina bukan berarti Indonesia harus mengorbankan kepentingan nasional.

"Tentu momentum ini menjadi pelajaran besar di kemudian hari, bahwa upaya mendukung dan membela negara mana pun harus tetap selaras dengan kepentingan nasional kita. Kalau tidak, ya kita akan seperti ini lagi, mengalami tragedi besar," ucapnya.

Ke depan, pemerintah Indonesia harus lebih kreatif dalam menghadapi situasi pelik yang melibatkan kepentingan nasional. Pemerintah dan seluruh elemen masyarakat juga harus lebih mengutamakan langkah strategis, alih-alih mengedepankan emosi dan sudut pandang beku secara ideologis.

"Bagi pemerintah Indonesia, tampaknya kita harus merumuskan sudut pandang baru dalam upaya kita membela Palestina ke depan. Tragedi ini tidak boleh terulang lagi," tegasnya.




(hil/iwd)


Hide Ads