Kue Putu, Kenangan Manis dan Suara Khas Nusantara

Kue Putu, Kenangan Manis dan Suara Khas Nusantara

Muhammad Faishal Haq - detikJatim
Kamis, 06 Nov 2025 22:00 WIB
Kue Putu Sudah Dikenal di China Sejak Ratusan Tahun Lalu
ILUSTRASI KUE PUTU. Foto: Getty Images/iStockphoto/Poetra Dimatra
Surabaya -

Di sudut kota atau desa, aroma manis kue putu kerap memanggil perhatian siapa saja yang lewat. Camilan tradisional ini tak hanya menggoda lidah dengan gula jawa dan kelapa parutnya, tetapi juga menghadirkan sensasi nostalgia lewat bunyi desisan pengukus yang khas.

Kue putu bukan sekadar makanan, melainkan bagian dari budaya yang hidup di gerobak kaki lima, pasar tradisional, dan dapur rumah tangga. Lebih dari sekadar rasa, kue putu menyimpan cerita yang menautkan generasi.

Anak-anak dulu berlarian mengejar abang penjual putu, sementara orang dewasa kini mengenangnya sebagai momen hangat masa kecil. Keberadaan kue putu menjadi pengingat kekayaan kuliner lokal yang tetap relevan di tengah modernisasi, sekaligus mengajak menghargai tradisi yang sederhana namun penuh makna.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejarah Kue Putu

Dilansir jurnal Nostalgia Rasa: Mengulang Manisnya Kenangan Analogi Kue Putu dalam Busana Feminim Romantic yang ditulis Desak Nyoman Yunika Dewi, I Made Radiawan, Ni Kadek Yuni Diantari, kue putu merupakan salah satu jajanan tradisional Indonesia yang telah berkembang sejak lama.

ADVERTISEMENT

Awal mula kue ini dapat ditelusuri hingga masa Dinasti Ming (1368-1644) di Tiongkok, ketika kue ini dikenal dengan nama Xianroe Xiao, yang berarti kue dari tepung beras berisi kacang hijau. Cara memasaknya cukup unik, yaitu dicetak menggunakan bambu lalu dikukus hingga matang.

Perkembangan kue putu di Indonesia tercatat pada tahun 1814 di Kerajaan Mataram, sebagaimana tertulis dalam naskah Serat Chentini. Dalam naskah tersebut, kata "putu" muncul ketika Ki Bayi Panurta meminta santrinya menyiapkan hidangan pagi.

Sejak itu, kue putu menjadi salah satu jajanan yang populer di masyarakat, dikenal dengan cita rasa lembut, manis, dan harum. Meski saat ini penjual kue putu mulai jarang ditemui, kue tradisional ini tetap menyimpan kenangan manis masa kecil banyak generasi.

Resep Kue Putu

Kue putu terbuat dari bahan tepung beras, gula jawa, dan daun pandan untuk aroma. Cara tradisionalnya adalah menempatkan adonan dalam cetakan bambu kecil lalu dikukus, proses itulah yang membuat tekstur butirannya khas dan sering disebut putu atau puthu dalam bahasa Jawa.

Para penjual sering menjajakan putu pada sore hingga malam hari, bahkan bunyi alat pengukusnya menjadi semacam iklan berjalan yang mudah dikenal. Berikut bahan dan cara membuat kue putu sendiri di rumah.

Bahan-bahan

  • 200 gram tepung beras
  • 50 gram gula merah, serut halus
  • 1/4 sendok teh garam
  • 150 ml air hangat
  • Kelapa parut secukupnya (kukus sebentar agar matang)
  • Daun pandan untuk aroma (opsional)

Alat

  • Cetakan kue putu (bambu atau cetakan logam)
  • Panci kukus

Cara Membuat

  • Siapkan kukusan. Panaskan air dalam panci kukus, pastikan uap cukup untuk mengukus.
  • Campur tepung beras dan garam. Ayak tepung beras agar halus, campur dengan garam.
  • Siapkan cetakan. Masukkan sedikit kelapa parut di dasar cetakan.
  • Isi gula merah. Masukkan gula merah serut di tengah cetakan.
  • Tambahkan tepung beras. Tutup gula merah dengan tepung beras hingga hampir penuh.
  • Kukus kue. Letakkan cetakan di atas kukusan, kukus selama 10-15 menit hingga matang.
  • Angkat dan sajikan. Keluarkan kue putu dari cetakan, taburi kelapa parut di atasnya jika suka, dan nikmati selagi hangat.

Aneka Macam Kue Putu

Bukan hanya putu bambu yang populer, tetapi juga putu ayu, putu mayang, dan varian regional seperti putu bugis, yang menggunakan ketan hitam sehingga berwarna gelap.

Setiap varian memiliki cara penyajian dan waktu jual yang berbeda, misalnya, putu bugis biasanya dijual pagi hari sebagai sarapan, sementara putu bambu lebih sering dinikmati sebagai camilan sore hingga malam.

Selain kenikmatan rasanya, kue putu juga menyimpan cerita lintas generasi-dari anak-anak yang mengejar abang putu yang bersepeda, hingga orang dewasa yang mengenang masa kecil lewat gigitan gula jawa hangat.

Mendukung penjual putu berarti turut melindungi mata pencaharian tradisional sekaligus menjaga keberagaman kuliner lokal yang terus menghadapi arus modernisasi dan persaingan makanan cepat saji.

Praktis dan ramah di kantong, kue putu tetap relevan baik sebagai camilan harian, oleh-oleh wisata, maupun bahan diskusi bagi pelaku wisata yang ingin mengemas pengalaman kuliner autentik.

Bila sedang berjalan-jalan sore, coba cari suara khas pengukus itu, di balik desis uap, ada rasa manis yang sederhana, dan sebuah cerita panjang tentang kue kecil yang besar maknanya.

Artikel ini ditulis Muhammad Faishal Haq, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.




(irb/hil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads