Aeshnina Azzahra Aqilani, remaja 17 tahun yang akrab disapa Nina adalah salah satu warga Gresik yang gencar menyuarakan isu lingkungan. Dia kerap mengikuti aksi menyuarakan lingkungan hingga ke tingkat dunia.
Remaja yang saat ini menempuh pendidikan di SMA Muhammadiyah 10 Gresik itu mengatakan bahwa baru-baru ini ia bersama ratusan aktivis lingkungan dari berbagai negara melakukan aksi tolak kebijakan impor sampah plastik di depan Centre Shaw Ottawa, Kanada.
Aksi itu berlangsung sebelum pelaksanaan rangkaian konferensi PBB dalam bidang lingkungan yakni United Nation for Environ mental Programme (UNEP) Intergovernmental di forum Negotiating Committee ke-4 atau INC 4 yang digelar di Ottawa, Kanada.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dalam aksi itu, sampah yang saya gendong adalah sampah plastik impor dari negara maju yang dibuang ke desa dekat pabrik kertas daur ulang. Sampah itu menjadi beban lingkungan dan ancaman kesehatan. Saya ingin menunjukkan bahwa pencemaran sampah plastik sangat membebani generasi sekarang," ujar Nina saat dihubungi detikJatim, Jumat (3/5/2024).
Selain melakukan aksi untuk tolak kebijakan impor sampah plastik, Nina juga bergabung sebagai observer dalam kegiatan yang telah berlangsung pada 23-29 April 2024 itu.
Sebagai observer, Nina menyuarakan sampah plastik yang mencemari Sungai Brantas dan lingkungan di sekitarnya. Bukan tanpa data, dia bersama River Warrior Indonesia yakni komunitas peduli lingkungan miliknya telah mengumpulkan sampah-sampah dari Sungai Brantas selama 3 tahun lamanya.
Dia temukan bahwa sampah plastik yang paling banyak mencemari sungai ini berlabel Australia, Kanada, Denmark, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Korea, Belanda, dan Amerika.
Belum lagi saat dilakukan uji air, Nina menemukan 4.000 partikel mikroplastik dalam 100 liter air sungai. Jumlah ini tentu sangat berbahaya. Itulah yang membuatnya semakin geram.
"Selama bertahun-tahun, terbukti bahwa daur ulang tidak berhasil. Kebanyakan plastik tidak dapat didaur ulang dan berakhir di sungai. Negara maju mengirimkan beban plastiknya kepada kita, sementara kita bahkan tidak bisa mengelola sampah kita! Ini tidak adil," tegasnya.
Hasil temuan terkait sampah plastik yang kian mencemari sungai itu membuat Nina semakin tegas menolak kebijakan impor sampah plastik. Menurutnya kebijakan itu hanya akan memperbesar masalah negara berkembang di masa mendatang.
Saat berada di Ottawa, terutama dalam forum INC 4, Nina pun memanfaatkan kesempatan ini untuk bertukar pandangan dengan para remaja, youth delegations dari berbagai negara yang memiliki keresahan yang sama terkait kondisi lingkungan.
"Anak-anak muda yang umumnya dari Eropa itu sebenarnya tahu bahwa negara mereka masih mengekspor sampah plastiknya. Harapannya youth delegations dari berbagai negara ini konsisten melawan pencemaran lingkungan. Kami tak ingin diracuni," tandasnya.
Bukan sekali Nina menyuarakan tentang isu sampah plastik ini hingga ke tingkat dunia. Sebelumnya pada tahun 2020 ia pernah berkirim surat ke Perdana Menteri Kanada dan meminta agar negaranya tak lagi mengirim sampah plastik ke Indonesia.
Ia pun pernah melayangkan permintaan serupa kepada Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 2019 untuk menghentikan sampah plastik dari negara maju yang terus masuk ke Indonesia.
Nina banyak mendapatkan dukungan dari orang-orang di sekitarnya untuk terus menyuarakan terkait isu lingkungan. Salah satunya adalah ayahnya, Prigi Arisandi, yang juga merupakan aktivis lingkungan.
(dpe/iwd)