Pengamat: Rancangan KUHAP Harus Terintegrasi-Tak Hanya Bebani Polisi

Pengamat: Rancangan KUHAP Harus Terintegrasi-Tak Hanya Bebani Polisi

Muhammad Aminudin - detikJatim
Kamis, 08 Mei 2025 22:30 WIB
Caucasian woman holding gavel
Ilustrasi. (Foto: Getty Images/iStockphoto/Tolimir)
Malang -

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) versi Maret 2025 kembali jadi sorotan akademisi dan pakar hukum. Dekan Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang, Dr Ibnu Subarkah menilai RUU KUHAP belum sepenuhnya mencerminkan sistem peradilan pidana yang utuh dan terintegrasi.

Dr Ibnu mengatakan RUU KUHAP tidak cukup hanya membahas kewenangan dan tugas kepolisian melainkan harus menghadirkan porsi yang seimbang bagi institusi penegak hukum lainnya, seperti kejaksaan dan badan peradilan umum.

Menurut Ibnu, hukum acara pidana adalah proses yang bersifat menyeluruh, bukan kerja parsial dari satu lembaga saja.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Persoalan besar dalam penegakan hukum bukan hanya terletak pada proses penyidikan oleh kepolisian. Namun harus dilihat secara sistemik, dari mulai penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan di pengadilan. Ketiganya tidak bisa berdiri sendiri," tegas Dr. Ibnu kepada wartawan, Kamis (8/5/2025).

Ibnu menjelaskan keadilan sebagai tujuan akhir dari hukum pidana adalah sesuatu yang mahal. Karena itu, seluruh aktor dalam sistem peradilan pidana harus memikul tanggung jawab bersama. Tidak adil jika beban seolah-olah hanya ditimpakan kepada kepolisian.

ADVERTISEMENT

"Polisi seringkali berada di 'garis panas', berhadapan langsung dengan pelaku kejahatan, mengejar DPO, mengungkap kasus. Tapi ketika perkara sampai di pengadilan hasil kerja keras itu bisa saja sia-sia karena tersangka dibebaskan. Ini menunjukkan sistem belum berjalan secara integrated," jelasnya.

Dr Ibnu juga menyoroti pentingnya keterlibatan kejaksaan dan peradilan dalam proses pembahasan KUHAP. Sebab pembahasan yang dominan menyasar kepolisian justru bisa menjadi beban norma dan membuka peluang terjadinya pengerdilan makna sistem peradilan pidana.

"Kejaksaan dan kehakiman juga harus duduk bersama dalam pembahasan KUHAP. Jangan sampai muncul norma yang berat sebelah. Kita lihat, bahkan sekarang muncul rancangan KUHAP Kejaksaan yang berdiri sendiri. Ini justru mengindikasikan lemahnya koordinasi lintas lembaga dalam merumuskan sistem hukum yang seharusnya holistik," katanya.

Dalam konteks pelaksanaan hukum, Dr. Ibnu juga menyoroti asas oportunitas yang dimiliki oleh kejaksaan, di mana jaksa memiliki kewenangan untuk tidak menuntut perkara tertentu. Hal ini, menurutnya, kerap tidak dibahas secara mendalam dalam penyusunan KUHAP padahal berperan besar dalam mewujudkan keadilan substantif.

Ia menambahkan bahwa KUHAP sebagai hukum acara pidana formil bukan hanya prosedur membawa tersangka ke pengadilan, tetapi juga memastikan setiap tahapan penegakan hukum menghormati prinsip praduga tak bersalah dan hak korban.

Terkait dengan pendekatan keadilan, Dr. Ibnu juga menekankan perlunya penguatan prinsip Restorative Justice dalam KUHAP. Keadilan restoratif jangan hanya diatur dalam peraturan internal kepolisian, tapi harus menjadi bagian dari regulasi yang mengikat seluruh sistem peradilan pidana.

"Restorative justice harus menjadi pendekatan hukum yang terlembaga, bukan sekadar kebijakan internal. Kita bicara tentang keadilan yang memberi ruang bagi penyelesaian yang lebih manusiawi, tidak parsial, dan mengakomodir kepentingan korban, pelaku, serta masyarakat," ujar Dr. Ibnu.

Selain itu, asas transitoir dalam KUHAP juga menurutnya harus dikaji secara serius. Asas ini berkaitan dengan peralihan dan kesinambungan hukum acara pidana dari sistem lama ke sistem baru, yang harus menjawab kompleksitas kasus di lapangan dan tidak terjebak dalam pendekatan normatif semata.

Dr. Ibnu mengingatkan bahwa RUU KUHAP versi Maret 2025 harus memperjelas batas kewenangan antara kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman. Tumpang tindih atau rebutan kewenangan hanya akan menimbulkan kekacauan dan memperlemah kepercayaan publik terhadap hukum.

"Sistem peradilan pidana harus satu kesatuan. Harus ada integrasi antara penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Jika tidak, maka bukan hanya aparat yang kewalahan, tapi masyarakat juga akan kehilangan rasa keadilan. Kita tidak bisa menegakkan hukum jika sistemnya sendiri tidak solid," katanya.




(dpe/abq)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads