Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipidkor) Bareskrim Polri mengusut kasus dugaan korupsi proyek pengadaan di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI, Jawa Timur pada tahun 2016 lalu. Nilai kontrak proyek pengadaan tersebut sebesar Rp 871 miliar.
Diduga, tindakan korupsi terkait pekerjaan proyek pengembangan dan modernisasi PG Djatiroto PTPN XI terintegrasi Engineering, Procurement, Construction and Commissioning (EPCC) tahun 2016.
Diketahui, pasca aksi korporasi di lingkungan PTPN Group, eks PTPN X dan eks PTPN XI saat ini telah merger di bawah Sub Holding Supporting Co (PTPN I) khususnya di Regional 4. Sedangkan PG Djatiroto saat ini berada di bawah naungan PT Sinergi Gula Nusantara (PT SGN) yang mengelola 36 pabrik gula yang tersebar di seluruh Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menindaklanjuti hal tersebut, Sekretaris PTPN I Regional 4, Yunianta menyatakan akan mendukung proses hukum yang tengah berlangsung dan siap bekerjasama dengan penegak hukum agar kasus tersebut dapat segera terungkap.
"Kami menghormati proses hukum terhadap pengusutan kasus EPCC PG Djatiroto di tahun 2016. Kami juga akan kooperatif, bekerja sama, dan memberikan informasi yang dibutuhkan oleh Bareskrim Polri dalam membantu upaya pengusutan agar kasus ini dapat terungkap serta terpenuhi aspek keadilannya," ujar Yunianta dalam keterangan yang diterima detikJatim, Selasa (13/8/2024).
Yunianta menegaskan, pihaknya akan mendukung segala langkah dari Bareskrim Polri. Hal ini juga sesuai dengan semangat bersih-bersih BUMN yang digalakkan oleh Menteri BUMN Erick Thohir dan Holding Perkebunan. Oleh karena itu, semua SOP perusahaan wajib mengacu pada Good Corporate Governance (GCG).
"Manajemen PTPN I Regional 4 selalu berkomitmen dan memastikan setiap proses pengadaan dan operasional perusahaan berjalan sesuai dengan GCG dan aturan yang berlaku," imbuh Yunianta.
Dilansir dari detiknews, Wakil Direktur Tindak Pidana Korupsi (Wadirtipikor) Bareskrim Polri Kombes Arief Adiharsa mengatakan proyek tersebut terjadi pada 2016 dan sudah direncanakan pada 2014.
"Proyek ini sebagai tindak lanjut program strategis BUMN didanai oleh PMN yang dialokasikan pada APBN-P tahun 2015," kata Arief dalam keterangannya, Selasa (23/8/2024).
"Pada proses perencanaan, pelelangan, pelaksanaan maupun pembayaran yang tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Sehingga mengakibatkan proyek belum selesai dan diduga menimbulkan kerugian negara," ungkapnya.
Arief mengungkap beberapa fakta penyidikan, di antaranya anggaran untuk pembiayaan proyek EPCC PG Djatiroto Lumajang kurang dan tak tersedia sepenuhnya sesuai dengan nilai kontrak sampai kontrak ditandatangani.
Kemudian, lanjutnya, antara Direktur Utama PTPN XI inisial DP dan Direktur Perencanaan dan Pengembangan Bisnis PTPN XI inisial AT jauh sebelum lelang dilaksanakan sudah berkomunikasi intens dan menjalin kerja sama untuk meloloskan KSO Hutama-Eurrosiatic-Uttam sebagai penyedia untuk proyek pekerjaan konstruksi terintegrasi EPCC pengembangan dan modernisasi PG Djatiroto Lumajang PTPN XI tahun 2016.
"Direktur Perencanaan dan Pengembangan Bisnis PTPN XI inisial AT meminta panitia lelang untuk membuka lelang sedangkan HPS masih di-review oleh tim konsultan PMC," ucap Arief.
"Panitia lelang tetap melanjutkan lelang padahal prakualifikasi hanya 1 PT WIKA yang memenuhi syarat. Sedangkan perusahaan KSO Hutama-Eurrosiatic-Uttam dan 9 perusahaan lainnya tidak lulus. Untuk perusahaan KSO Hutama-Eurrosiatic-Uttam gagal karena dukungan bank belum merupakan komitmen pembiayaan proyek dan lokasi workshop di luar negeri," sambung dia.
Kemudian, Arief menuturkan isi dari kontrak perjanjian diubah dan tidak sesuai dengan rencana kerja syarat-syarat/RKS dengan menambahkan uang muka 20 persen dan menambahkan juga pembayaran letter of credit atau LC ke rekening luar negeri. Tahapan pembayaran procurement yang menguntungkan penyedia tanpa mengikuti proses GCG.
"Kontrak perjanjian ditandatangani tidak sesuai dengan tanggal yang tertera di kontrak karena kontrak perjanjian masih dikaji atau dibahas oleh kedua belah pihak dari 23 Desember 2016 sampai dengan Maret 2017," jelasnya.
"Proyek dikerjakan tanpa adanya studi kelayakan. Jaminan uang muka dan jaminan pelaksanaan expired dan tidak pernah diperpanjang. Metode pembayaran barang impor atau letter of credit tidak wajar," imbuh Arief.
Perbuatan itu berimplikasi pada kelangsungan proyek. Disebutkan, hingga kini proyek tersebut masih mangkrak dan uang PTPN XI sudah keluar kepada kontraktor hampir 90 persen.
"Penyidik pun sudah mengirimkan surat ke BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) untuk permintaan penghitungan kerugian negara dan hingga saat ini belum ada penetapan tersangka," pungkas Arief.
(abq/iwd)