Seorang ayah di Surabaya berinisial R (29) tega membanting dan menempeleng bayinya sendiri yang baru berusia 5 hari (sebelumnya diberitakan 6 hari). Perlakuan kasar dari sang ayah itu didapatkan sang bayi hanya karena menangis pada tengah malam.
Anggota Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Karang Taruna Surabaya, Diana Yulistia (45) yang menjelaskan kronologi lengkap kejadian yang dilakukan oleh R terhadap istrinya N (27) dan bayinya yang berinisial E.
Penganiayaan itu terjadi pada Kamis (18/4) dini hari sekitar pukul 02.00 WIB. Mulanya, anak kedua dari pasangan N dan R itu menangis. Kemudian anak pertama mereka yang berusia 1,5 tahun terbangun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Anak kedua menangis dan anak pertama terbangun, lalu ibunya bikin susu. Anak keduanya nangis terus, akhirnya bapaknya marah, mungkin merasa terganggu," kata Diana kepada detikJatim saat ditemui di Rumah Aman Yayasan Star Arutala, Tambaksari, Surabaya, Senin (22/4/2024).
Tidak ada yang menyangka, R dengan tega menganiaya tubuh kecil bayinya yang baru 5 hari (sebelumnya ditulis 6 hari) terlahir di dunia. Bayi itu ditempeleng, digigit, hingga dibanting ke tempat tidur yang hanya beralaskan perlak.
"Kronologi anak dipukul kepala, ditampar pipinya berkali-kali (ditempeleng), dibanting, lalu pipi dan tangannya digigit. Pipinya lebam, paha lebam, tangan lebam. Kepala ada benjolan-benjolan, sekarang sudah kempes. Bayi itu menahan rasa sakit sampai terberak-berak. Pusernya saja baru terlepas hari ketujuh," kata Diana.
Melihat sang anak dipukul, N segera menghampiri suaminya bermaksud menyelamatkan sang bayi dari perlakuan kasar sang ayah. Dia berupaya menggendong bayi E, tetapi niatnya justru membuat R semakin marah dan ganti memukuli istrinya.
N dipukuli pada bagian pipi kanan dan kiri. Dia juga mengalami luka lebam di pinggulnya. Beruntung anak pertamanya tidak sampai dipukul. Saat kejadian itu N langsung meminta tolong kepada mertuanya yang rumahnya ada di depan kos mereka. Ayah mertuanya pun menolong dan membantu menyelamatkan N dan E dari pukulan R.
"Ibunya dipukul karena mau gendong anaknya nggak boleh. Waktu dipukuli sempat panggil mertuanya, jadi yang menyelamatkan ayah mertuanya, langsung diangkat bayinya, lalu R ditenggor sampai jatuh," jelasnya.
Setelah kejadian penganiayaan itu, N memikirkan cara untuk bisa kabur dari suaminya. Hingga akhirnya di hari yang sama, sekitar pukul 07.00 WIB N diminta R untuk membeli rokok.
Mendapat kesempatan kabur N tidak lagi berpikir panjang. Dia segera mengiyakan permintaan R untuk membeli rokok. Selanjutnya N membawa bayinya E saat keluar kos dan bergegas lari ke rumah sang nenek, sedangkan anak pertamanya ditinggal di kos yang sudah aman bersama mertuanya.
"Waktu lari diterima warga, warga ke rumah saya, saya menghubungi Ketua PPA Karang Taruna Surabaya. Hari itu juga langsung lapor ke lurah, camat, sepakat melaporkan kepolisian atas persetujuan korban," ujarnya.
Penganiayaan yang dilakukan oleh R ternyata bukan kali pertama terjadi selama tiga tahun pernikahannya dengan N. Sejak anak pertama mereka lahir, R sudah mulai melakukan kekerasan terhadap N bahkan terhadap anak pertama mereka.
Salah satu faktor emosi R tak terkontrol karena mencurigai bahwa bayi yang baru lahir pada 12 April 2024 itu bukanlah anak kandungnya. Selain itu karena kondisi R yang pengangguran selama satu bulan.
"Mulai main tangan saat punya anak pertama sudah dilahirkan. Kalau sama ibunya, iya (sering melakukan kekerasan). Mungkin masalah keluarga, ekonomi, atau apa. Bapaknya kerja kirim air isi ulang, terakhir nganggur satu bulan. Itu yang tambah memicu emosinya," katanya.
(dpe/iwd)