Sebelum melanjutkan hubungan ke jenjang lebih serius alangkah baiknya mengenali pasangan lebih dalam. Bukan berarti enggan menerima kekurangan masing-masing, tetapi untuk menghindari terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Beberapa waktu lalu, Komnas Perempuan menyebutkan bahwa Kasus KDRT merupakan kasus kekerasan pada perempuan nomor 1 di Indonesia meski hanya sedikit yang pada akhirnya melaporkan pelaku ke pihak kepolisian.
Praktisi psikolog klinis dan forensik Surabaya Riza Wahyuni menyebut pentingnya untuk memilih pasangan dan sebisa mungkin menghindari pemikiran bahwa setelah menikah tabiat pasangan bisa berubah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pertama kenali pasangan anda. Kami ada sebuah kasus. Menikah Maret 2020, April sudah mau berpisah karena ndak kuat menghadapi perilaku suami yang suka memukul. Nah, itu. Kenali calon pasangan: keluarganya, latar belakang keluarganya. Itu," kata Riza kepada detikJatim, Jumat (13/1/2023).
Menurutnya, perempuan juga harus memiliki pendidikan yang baik untuk mempertahankan diri ketika mengalami KDRT. Tetapi tak hanya wanita saja, laki-laki pun juga sama. Bukan berarti tidak bisa mendapatkan kekerasan dari perempuan.
"Seharusnya perempuan punya pendidikan yang baik agar perempuan lebih berdaya. Pendidikan akan menambah pengetahuannya, sehingga dia berani speak up. Tapi bukan mengajarkan perempuan untuk sedikit-sedikit lapor, karena ditemukan juga di lapangan laki-laki yang jadi korban," katanya.
Ia menegaskan bahwa kekerasan berbasis gender tidak membela laki-laki maupun perempuan. Hanya saja, perempuan dan anak memang lebih rentan menjadi korban kekerasan.
Ada pun hal lain yang perlu dilakukan calon pasangan yang hendakk menikah yakni mengenali undang-undang dalam perkawinan, undang-undang Penghapusan KDRT, hingga undang-undang perlindungan anak. Calon pengantin juga harus melewati konseling pemahaman kepribadian.
"Karena problem yang berkembang sekarang, banyak calon yang baru menikah memiliki ekspektasi pasangan harus sesuai apa yang ada di pikiran. Itu perlu dipahami juga, kita tidak bisa memiliki ekspektasi tinggi. Pasanganku itu harus seperti pasangan temenku. Lah, kita kan nggak pernah tahu mereka dalam rumah tangganya bagaimana? Ekspektasi itu harus dipertimbangkan oleh pasangan yang akan menikah," jelasnya.
Saat terjadi KDRT, artinya pelaku tidak mampu mengontrol emosi dan korban membutuhkan pertolongan. Setelah terjadinya peristiwa itu harus ada kesadaran. Bila pelaku tidak sadar, maka KDRT berpotensi kembali terjadi.
"Biasanya pelaku KDRT itu nggak hanya sekali. Biasanya berkelanjutan. Bukan prilaku yang dia lakukan sekali dua kali saja, tapi ada siklus KDRT-nya," ujarnya.
Jika merasa memiliki masalah dengan emosi, sulit mengontrol emosi, seseorang cenderung sulit berperilaku lebih baik. Untuk itu dia menyarankan agar orang ituuntuk datang ke psikolog, tidak usah malu dengan stigma orang lain bahwa ke psikolog dianggap gila.
"Kalau kita marah, kesel, wajar, kan karena diganggu. Tapi kok saya mudah marah ya? Kok saya pemarah ya? Mudah marah nggak jelas, nggak bisa ngontrol emosi. Datang ke ahli untuk konseling psikologi. Sehingga emosi bisa terkontrol untuk melakukan hal tidak baik," katanya.
(dpe/fat)