Di pesisir utara Jawa Timur, Kabupaten Tuban berdiri sebagai saksi kejayaan maritim Nusantara yang telah berlangsung lebih dari sembilan abad. Dari kawasan pelabuhan inilah berbagai komoditas-mulai dari hasil bumi, rempah-rempah, tekstil, hingga sutra, keluar-masuk Nusantara.
Aktivitas perdagangan yang hidup sepanjang abad itu tidak hanya memperkaya ekonomi, tetapi juga memperkuat posisi politik kerajaan-kerajaan besar di Jawa Timur.
Sejarah Pelabuhan Tuban
Mengutip skripsi berjudul Peranan Pelabuhan Tuban Dalam Proses Islamisasi Di Jawa Pada Abad XV-XVI (Rozi, 2018), disebutkan bahwa pada masa Raja Airlangga (abad ke-11), Kerajaan Kahuripan memiliki dua pelabuhan besar: Hujung Galuh (kini dekat Mojokerto) dan Kambang Putih, yang diyakini berada di wilayah Tuban saat ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ilustrasi Pantai Utara Jawa Foto: Tropenmuseum |
Jika Hujung Galuh berfungsi sebagai pelabuhan distribusi hasil bumi untuk perdagangan antar pulau di Nusantara, maka Kambang Putih berperan lebih besar sebagai pintu perdagangan antarnegara. Prasasti masa Airlangga mencatat keberadaan pedagang dari India Utara, India Selatan, Sailan (Sri Lanka), Burina, Kamboja, hingga Campa. Catatan tersebut membuktikan bahwa Tuban telah menjadi kota niaga internasional sejak abad ke-11 Masehi.
Peran strategis pelabuhan Tuban tidak berhenti pada sektor perdagangan. Pada masa Kerajaan Kadiri, pelabuhan ini turut menopang pertahanan laut kerajaan. Beberapa sumber sejarah menyebut adanya jabatan Senapati Sarwwajala atau panglima penguasa perairan, yang menunjukkan bahwa Tuban telah memiliki armada laut dan sistem pertahanan maritim yang kuat.
Memasuki era Kerajaan Singasari, pelabuhan Tuban kembali memainkan peran penting. Kitab Pararaton mencatat bahwa Ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275 M-misi besar Singasari untuk memperkuat pengaruh politik hingga Sumatra-berangkat dari pelabuhan Tuban.
Pada 1292 M, pasukan Tartar dari Tiongkok juga tercatat pertama kali mendarat di Tuban sebelum bergerak menyerang Jawa Timur. Peristiwa itu menjadi rangkaian penting yang akhirnya melahirkan Kerajaan Majapahit.
Pada masa Majapahit, kejayaan Tuban mencapai puncaknya. Kebijakan ekspansi luar negeri Majapahit menjadikan Tuban sebagai pelabuhan keberangkatan utama menuju Maluku, pusat rempah-rempah dunia.
Beragam hasil bumi, upeti dari wilayah bawahan, serta barang-barang dagang dikirim melalui pelabuhan ini menuju ibu kota Majapahit. Keberhasilan ini membuat Tuban tumbuh sebagai kota kaya dan kosmopolit.
Beberapa catatan sejarah menyebutkan adanya nama-nama tempat di Maluku yang terinspirasi dari Tuban, menandakan luasnya pengaruh pelabuhan ini di masa lalu. Meskipun penguasa Tuban memeluk Islam pada pertengahan abad ke-15, hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan Hindu tetap terjalin erat, mencerminkan keterbukaan budaya masyarakat pesisir.
Gambaran Tuban Menurut Tome Pires
Sejarawan Portugis Tome Pires, dalam karyanya Suma Oriental (abad ke-16), menggambarkan Tuban sebagai salah satu kota pelabuhan besar di Jawa yang terorganisasi dengan baik. Ia menuliskan bahwa kota Tuban dikelilingi oleh tembok bata merah setebal dua jengkal dan setinggi sekitar lima belas kaki.
Di sisi luar tembok terdapat danau serta tanaman berduri besar sebagai sistem pertahanan alami. Di bagian dalam kota, berdiri mimbar kayu tinggi yang mengisi sepanjang dinding pelindung.
Suasana alun-alun Tuban Foto: Tropenmuseum |
Deskripsi Pires menunjukkan bahwa Tuban memiliki tata kota yang maju, pertahanan yang kuat, serta aktivitas perdagangan yang sangat sibuk. Semua ini menegaskan statusnya sebagai pelabuhan besar yang terintegrasi dengan jaringan perdagangan internasional Jalur Sutera Laut.
Tuban dalam Jalur Sutera Laut
Letak geografis Tuban di pesisir utara Jawa menempatkannya sebagai salah satu simpul penting Jalur Sutera Laut, jalur perdagangan global yang menghubungkan Barat dan Timur melalui Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan. Sebagai bagian dari jaringan niaga internasional ini, Tuban menjadi titik pertemuan pedagang Eropa, Timur Tengah, India, Tiongkok, dan kawasan Asia Tenggara lainnya.
Interaksi antarbangsa tidak hanya memicu pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memperkaya budaya serta mempercepat penyebaran agama, termasuk Islam, yang semakin berkembang pesat sejak abad ke-15. Keberadaan pelabuhan Kambang Putih dalam catatan sejarah membuktikan bahwa peradaban maritim di Nusantara telah berkembang jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa.
Sisa-sisa kejayaan itu hingga kini masih dapat ditemukan melalui berbagai jejak arkeologis di pesisir Tuban dan kawasan Kalanganyar. Temuan tersebut menjadi bukti bahwa Tuban pernah sejajar dengan pelabuhan-pelabuhan besar dunia sebagai pusat perdagangan maritim Asia Tenggara.
Kondisi Pelabuhan Tuban Saat Ini
Meski pernah berjaya, pelabuhan Tuban mengalami kemunduran besar akibat kombinasi faktor alam, politik, dan ekonomi. Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan pelabuhan Tuban masa kini.
Tampak udara Pelabuhan perikanan Bulu Foto: Akun Youtube resmi Pelabuhan Perikanan Pantai Bulu |
1. Faktor Alam Pendangkalan
Pendangkalan perairan menjadi tantangan paling signifikan sejak abad ke-15. Sedimentasi lumpur dari arus laut dan aliran Bengawan Solo menyebabkan dangkalnya jalur masuk pelabuhan.
Kapal-kapal besar kesulitan merapat, sehingga aktivitas niaga berkurang drastis. Lambat laun, Tuban mulai ditinggalkan oleh pedagang internasional.
2. Faktor Politik dan Konflik Militer
Ketidakstabilan politik turut mempercepat runtuhnya kejayaan Tuban. Wilayah strategis ini kerap menjadi arena perebutan kekuasaan.
Invasi besar pasukan Mataram Islam pada akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-17 menjadi pukulan telak. Pada 1619 M, Sultan Agung menaklukkan Tuban secara tuntas.
Pelabuhan utama kemudian dipindahkan ke Jepara (masa Demak) atau ke Gresik dan Surabaya pada masa berikutnya, membuat Tuban kehilangan dukungan politik dan jaringan niaga.
3. Faktor Ekonomi dan Persaingan Dagang
Tuban tidak mampu bersaing dengan pelabuhan baru yang lebih berkembang. Gresik dan Surabaya tumbuh pesat sebagai pelabuhan utama sejak abad ke-15. Diduga fasilitas Tuban menurun dan biaya cukai meningkat, membuat pedagang asing enggan bersandar.
Ketika pelabuhan ditinggalkan, masyarakat Tuban mengalami krisis ekonomi karena sebagian besar bergantung pada perdagangan laut, sementara sektor pertanian kurang mendukung akibat kondisi tanah berkapur.
Kombinasi pendangkalan alami, guncangan politik, dan persaingan ekonomi akhirnya menghapus Tuban dari peta perdagangan internasional. Pada era kolonial, Tuban hanya berfungsi sebagai pelabuhan rakyat berskala kecil.
(ihc/irb)














































