Di sebuah sudut Desa Tembokrejo, Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi terdapat sebuah situs yang menyimpan kisah panjang tentang sejarah, kepercayaan, dan kebersamaan antarumat beragama, yaitu situs Umpak Songo.
Reruntuhan batu besar yang tersusun rapi dengan lubang di bagian tengahnya ini bagi banyak orang bukan sekadar peninggalan sejarah, tetapi tempat ziarah, mencari berkah, serta simbol pertemuan budaya Hindu dan Islam di ujung timur Pulau Jawa.
Temuan situs ini menegaskan kemungkinan adanya pusat pemerintahan atau kompleks penting pada masa lalu yang dikaitkan dengan Kerajaan Blambangan. Struktur punden berundak dengan sembilan batu berlubang itu menyerupai fondasi tiang penyangga, dan narasi lokal menghubungkannya dengan tokoh legendaris seperti Minak Jinggo serta sejarah besar Blambangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain nilai historis, Umpak Songo juga hidup dalam praktik ritual masyarakat masa kini. Ada tradisi meminum "air gentong" yang diyakini dapat membantu menyelesaikan berbagai persoalan hidup. Hal ini menegaskan situs ini bukan sekadar artefak masa lalu, tetapi ruang religius yang masih aktif dijalankan hingga kini.
Asal-usul dan Temuan Situs Umpak Songo
Situs Umpak Songo terletak di Dusun Krajan, Desa Tembokrejo, Kecamatan Muncar, kawasan pesisir yang pada masa lampau dikenal sebagai wilayah strategis pelabuhan Ulupampang, yang berperan penting dalam jaringan perdagangan Blambangan.
Penemuan batu-batu fondasi berderet dengan lubang di tengahnya pertama kali didokumentasikan Mbah Nadi Gede pada awal abad ke-20. Nama "Ompak Songo" sendiri kemudian diberikan Raja Mangkubumi XI, 12 tahun setelah penemuan tersebut.
Secara arkeologis, situs ini dikategorikan punden berundak, tipe situs yang lazim ditemui di Nusantara, dan kental dengan pengaruh budaya Hindu-Buddha. Sembilan (songo) batu berlubang itu disebut "umpak" (fondasi atau penopang), sehingga nama Umpak Songo menggambarkan bentuk fisik, sekaligus fungsi strukturnya.
Penelitian lapangan dan dokumentasi museum setempat juga menemukan artefak lain di wilayah Banyuwangi yang memperkuat dugaan adanya pusat kekuasaan masa lalu di kawasan ini.
Catatan sejarah menunjukkan situs ini telah menjadi bagian dari memori kolektif masyarakat. Keberadaan situs Siti Hinggil dan petilasan lain di sekitar Muncar turut memperkaya identitas Umpak Songo sebagai bagian dari lanskap historis yang saling terhubung.
Titik Temu Islam dan Hindu
Salah satu hal yang membuat Umpak Songo istimewa adalah perannya sebagai ruang di mana praktik keagamaan berbeda dapat hadir berdampingan. Meskipun situs ini berakar pada tradisi Hindu-Blambangan, sejak lama pula tempat ini dikaitkan dengan tokoh-tokoh Wali dan ulama Islam lokal.
Tradisi ziarah dan ritual di Umpak Songo menunjukkan bagaimana masyarakat menjaga harmoni antarumat. Umat Hindu datang untuk ngalap berkah, sementara umat Islam berziarah, berdoa, atau bermeditasi.
Situs Umpak Songo memiliki makna ganda bagi umat Islam dan Hindu karena sejarah Kerajaan Blambangan yang kental dengan pengaruh kedua agama tersebut. Meski Hindu menjadi agama dominan pada masa itu, seorang wali, Syekh Maulana Ishaq, diketahui pernah tinggal di sana dan menikah dengan Putri Sekardadu, putri kerajaan yang kelak menjadi ibu dari Sunan Giri.
Berkat kedekatan historis ini, situs tersebut kini ramai dikunjungi pada hari-hari besar Islam maupun Hindu. Masyarakat datang untuk nyekar (berziarah), semedi (meditasi), atau ngalap berkah (memohon berkah).
Ritual Air Gentong
Salah satu tradisi paling dikenal di Umpak Songo adalah ritual air gentong. Sebuah gentong tanah liat berisi air sumur milik juru kunci, dipercaya memiliki khasiat tertentu. Pengunjung sering membawa pulang atau meminum air tersebut dengan harapan masalah hidup soal asmara, rezeki, maupun jabatan dapat terselesaikan.
Tradisi ini membuat Umpak Songo ramai dikunjungi peziarah dari berbagai daerah, termasuk Bali dan luar Pulau Jawa. Fenomena "air gentong" menggambarkan bagaimana benda sederhana bisa memperoleh makna religius melalui praktik kolektif masyarakat.
Dikutip dari detikNews, menurut penuturan juru kunci setempat, ritual dan penempatan gentong dilakukan berdasarkan tradisi turun-temurun, dengan posisi gentong berada di pojok tertentu dekat tanaman sirih yang dianggap suci.
Meski demikian, ritual ini juga menghadapi tantangan. Ketersediaan air yang terbatas sering menimbulkan antrean panjang, sementara potensi komersialisasi dan tekanan terhadap kelestarian situs juga perlu diwaspadai. Karena itu, tradisi ini perlu dikelola dengan bijak agar nilai spiritual dan kelestariannya tetap terjaga.
Situs Umpak Songo adalah naskah terbuka yang menuliskan sejarah, ritual, dan kerukunan. Di tengah arus modernisasi dan tantangan konservasi, Umpak Songo mengajarkan warisan budaya tidak hanya untuk dilihat, tetapi dirawat bersama oleh juru kunci, masyarakat lokal, akademisi, dan pemerintah.
Artikel ini ditulis oleh Muhammad Faishal Haq, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.
(irb/hil)












































