Tari Gandrung menjadi warisan budaya yang melekat kuat dalam kehidupan masyarakat Banyuwangi. Tarian ini bukan hanya simbol daerah, tetapi juga mencerminkan semangat dan identitas masyarakat Jawa Timur yang terus berkembang, menjadikannya ikon utama "The Sunrise of Java."
Dilansir dari laman resmi Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI, pada tahun 2013 Tari Gandrung Banyuwangi memperoleh pengakuan nasional tertinggi. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia secara resmi menetapkannya sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia dalam domain Seni Pertunjukan. Penetapan ini menjadi penegasan atas nilai budaya luhur yang terkandung di dalamnya, sekaligus mengukuhkan posisi Gandrung sebagai kekayaan bangsa yang kelestariannya wajib dijaga bersama.
Lebih dari sekadar atraksi visual yang memukau, Gandrung adalah sebuah narasi hidup. Setiap gerakannya menyimpan jejak sejarah panjang, makna sosial yang mendalam, dan ungkapan rasa syukur tulus dari masyarakat setempat. Tarian ini menjadi simbol keteguhan budaya yang terus diwariskan lintas generasi - sebuah ekspresi yang menolak lekang oleh waktu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Makna Tari Gandrung
Dilansir dari DetikJatim, kata gandrung berasal dari bahasa Jawa yang berarti tergila-gila atau mencintai dengan sepenuh hati. Di Banyuwangi, istilah ini melambangkan kegembiraan dan pengabdian yang diekspresikan melalui tarian. Seorang penari perempuan (gandrung) menghibur tamu sambil menari mengikuti irama gamelan dan nyanyian tradisional. Sebagai kesenian rakyat, Gandrung kerap ditampilkan dalam hajatan, upacara adat, hingga pesta rakyat. Dahulu, tarian ini juga menjadi bentuk ungkapan syukur setelah panen, memperlihatkan keterkaitannya dengan kehidupan masyarakat agraris.
Sendratari Meras Gandrung Terakota kembali hadir promosikan kekayaan seni Banyuwangi Foto: Istimewa (Dok Pemkab Banyuwangi) |
Aura Gandrung meresapi setiap sudut Banyuwangi, kota yang dengan bangga menyebut dirinya "Kota Gandrung." Kehadirannya tak hanya abadi dalam bentuk patung-patung penari yang ikonik, tetapi juga hidup dalam beragam bentuk pertunjukan. Dari pagelaran malam yang syahdu hingga festival massal yang melibatkan ratusan penari, Gandrung terus bertransformasi menjadi daya tarik wisata budaya yang memikat wisatawan domestik maupun mancanegara.
Sejarah dan Perkembangan
Dalam catatan sejarah, bentuk awal Tari Gandrung pernah dibawakan oleh penari laki-laki yang berdandan seperti perempuan (gandrung lanang). Namun, pada akhir abad ke-19, seiring perubahan sosial dan pengaruh keagamaan, peran penari mulai diambil alih oleh perempuan. Pergeseran ini menandai babak baru bagi Gandrung, yang turut mengubah tampilan, fungsi, dan pola rekrutmen penarinya sesuai adaptasi budaya lokal.
Festival Gandrung Sewu kembali memukau ribuan penonton yang memadati Pantai Marina Boom, pada Sabtu (26/10/2024). Seni tari kolosal ini diikuti 1359 penari. Foto: Dok. Pemkab Banyuwangi |
Selain perubahan dari sisi penari, Gandrung juga memiliki keterkaitan erat dengan dinamika sosial masyarakat Blambangan, wilayah yang kini menjadi bagian dari Banyuwangi. Tarian ini muncul sebagai media pemersatu masyarakat pasca-konflik, sekaligus ungkapan syukur setelah masa panen. Dengan demikian, Gandrung berfungsi sebagai hiburan sekaligus sarana sosial budaya yang mempererat kebersamaan komunitas.
Struktur Pementasan
Pertunjukan Tari Gandrung umumnya dibagi dalam tiga bagian utama, masing-masing memiliki makna ritual dan dramaturgis tersendiri:
- Jejer: Bagian pembuka di mana penari tampil solo atau berkelompok untuk memperkenalkan tema dan suasana pertunjukan.
- Maju/Paju: Bagian interaktif ketika penari memberikan selendang kepada tamu, lalu mengundang mereka untuk menari bersama. Suasana menjadi lebih riang, hangat, dan penuh keceriaan.
- Seblang Subuh: Bagian penutup yang sarat penghayatan, dengan irama melambat dan lagu bertema sendu. Unsur spiritual dalam segmen ini menghadirkan nuansa mistis dan sakral, mengingatkan fungsi Gandrung sebagai sarana penyucian dan penyembuhan.
Ornamen dan Musik Pengiring
Busana penari Gandrung merupakan perpaduan antara ornamen lokal dan simbol status seni. Penari mengenakan baju beludru berhias benang emas, kain jarik batik bermotif Gajah Oling, serta hiasan kepala omprok menyerupai mahkota dari kulit kerbau berornamen. Properti utama berupa kipas menambah keanggunan tarian, sementara kaus kaki putih mulai populer digunakan sejak awal abad ke-20. Rancangan busana ini memperkaya citra visual sekaligus mempertegas identitas lokal Banyuwangi.
Busana dan Ornamen Tari Gandrung Banyuwangi Foto: Ardian Fanani |
Musik pengiring Gandrung memadukan alat gamelan dan instrumen tradisional lainnya, dengan kendang sebagai elemen utama. Di masa lalu, terutama pada era Gandrung Lanang, irama kendang menjadi ciri khas pertunjukan. Nyanyian penari atau sinden berpadu harmonis dengan alunan gamelan, menciptakan dialog antara musik dan gerak yang membangun kekuatan dramatik tarian.
Dengan statusnya sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia, Tari Gandrung bukan sekadar kebanggaan Banyuwangi, tetapi juga pusaka nasional. Tarian ini menjadi bukti nyata bahwa tradisi mampu bertransformasi mengikuti zaman, dari ritual agraris yang sakral, simbol perjuangan rakyat, hingga magnet pariwisata budaya yang mendunia.
Menjaga kelestarian Gandrung berarti merawat identitas, sejarah, dan jiwa masyarakat Ujung Timur Jawa. Warisan ini adalah inspirasi bagi generasi kini dan mendatang untuk terus menghargai budaya, sekaligus membuktikan bahwa nilai lokal dapat bersinar di panggung global.
Artikel ini ditulis Muhammad Faishal Haq, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.
(ihc/abq)














































