Kasus pembunuhan disertai mutilasi di Pacet, Mojokerto, menggemparkan publik. Dari perspektif psikologi, peristiwa ini disebut tidak terlepas dari dinamika hubungan tidak sehat atau toxic relationship yang berpotensi mendorong seseorang melakukan tindakan ekstrem.
Psikolog Shania Febriana Khairunnisa menjelaskan, toxic relationship merupakan hubungan interpersonal yang dipenuhi kontrol, manipulasi, hingga pelecehan emosional. Pola ini tidak hanya terjadi pada pasangan pacaran atau pernikahan, tetapi juga dapat muncul dalam persahabatan maupun keluarga.
"Hubungan yang menimbulkan lebih banyak stres, rasa sakit berkepanjangan, dan kerugian dibandingkan dukungan, kenyamanan, atau pertumbuhan diri, hubungan seperti itu yang disebut toxic relationship," terangnya pada detikjatim, Senin (8/9).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Shania, ada sejumlah faktor yang membuat seseorang terjebak dalam hubungan toksik. Di antaranya adalah harga diri rendah, ketergantungan emosional, pengalaman masa kecil penuh kekerasan, serta ketakutan ditinggalkan. Tak jarang, korban tetap bertahan karena meyakini pasangannya akan berubah, padahal kenyataannya justru semakin membahayakan.
"Dampaknya bisa serius. Mulai dari kecemasan, depresi, trauma emosional, hingga burnout mental. Bahkan bisa memicu psikosomatis seperti sakit kepala, gangguan tidur, hingga masalah pencernaan akibat stres kronis," tambahnya.
Fenomena bertahan dalam hubungan toksik juga berkaitan dengan trauma bonding. Siklus perlakuan kasar yang disusul permintaan maaf dan kasih sayang berlebihan membuat korban semakin sulit melepaskan diri. Kondisi ini diperparah oleh stigma sosial, ketergantungan finansial, hingga mekanisme coping yang keliru, sehingga korban memilih bertahan meski sadar hubungannya berbahaya.
Kasus di Pacet pun dinilai menjadi cermin betapa berbahayanya hubungan yang dipenuhi "racun psikologis".
"Ketika konflik emosional dibiarkan, bisa berujung pada perilaku ekstrem, termasuk kekerasan fisik dan kriminal," tegas Shania.
Sebagai langkah pencegahan, masyarakat diimbau untuk berani mengambil keputusan sehat dalam sebuah hubungan. Kesadaran diri (self-awareness), dukungan sosial dari keluarga maupun sahabat, serta keberanian menetapkan batasan (healthy boundaries) disebut sebagai kunci utama.
"Kalau hubungan justru menguras energi dan harga diri, lebih baik berani keluar. Hidup hanya sekali, jangan habiskan bersama orang yang merusak," pesannya
(ihc/abq)