Bulan Rabiul Awal selalu membawa suasana istimewa bagi umat Islam. Di bulan inilah Nabi Muhammad SAW lahir ke dunia, pada 12 Rabiul Awal. Momen kelahiran Rasulullah diperingati dengan penuh suka cita dalam berbagai tradisi maulid di Nusantara, termasuk di Madura yang memiliki tradisi khas bernama Molodhen.
Bagi masyarakat Madura, Molodhen bukan sekadar acara seremonial. Tradisi ini sudah melekat erat dalam kehidupan sosial dan spiritual mereka, bahkan digelar dengan antusias sejak bulan Shafar, satu bulan sebelum Rabiul Awal, hingga Rabiul Akhir.
Hampir setiap hari ada undangan Molodhen, dan tak jarang dalam sehari bisa berlangsung tujuh sampai delapan acara sekaligus. Inilah yang membuat suasana Madura di bulan Maulid terasa begitu meriah, penuh dengan lantunan doa, salawat, dan hidangan khas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dilansir IAIN Madura, Molodhen dilakukan hampir seluruh keluarga mampu maupun sederhana. Perbedaannya hanya terletak pada jumlah undangan dan sajian hidangan. Keluarga berada biasanya mengundang ratusan orang dengan jamuan beragam, sementara keluarga sederhana cukup dengan 50-100 undangan.
Menariknya, keluarga yang kurang mampu tetap berusaha menggelar Molodhen. Mereka menabung hasil panen sedikit demi sedikit sepanjang 10-11 bulan, bahkan sering mendapat dukungan sanak keluarga yang bekerja di perantauan. Semua dilakukan demi wujud rasa cinta dan syukur atas kelahiran Rasulullah.
Rangkaian Acara Molodhen
Tradisi Molodhen memiliki rangkaian acara yang cukup panjang, dimulai sejak awal bulan Rabiul Awal hingga berlanjut ke rumah-rumah warga. Perayaan biasanya dibuka pada malam tanggal 1 Rabiul Awal dengan tradisi Cocoghen.
Disebut Cocoghen karena masyarakat Madura pada malam itu "mencocokkan" penanggalan Hijriah untuk memastikan masuknya bulan Maulid. Pada malam tersebut, warga datang berbondong-bondong ke masjid atau musala sambil membawa hantaran berupa buah-buahan.
Acara kemudian dilanjutkan dengan pembacaan Maulid Al-Barzanji, menandai dimulainya rangkaian perayaan Maulid. Memasuki malam 12 Rabiul Awal, masyarakat Madura menggelar perayaan puncak yang dikenal dengan sebutan Malem Dubellesen atau malam dua belasan.
Perayaan ini biasanya dilakukan bersama-sama di masjid atau musala dengan membawa buah, aneka kue, serta hidangan makanan. Setelah pembacaan Al-Barzanji selesai, semua makanan yang dibawa dimakan bersama sebagai simbol kebersamaan dan rasa syukur atas kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Tidak berhenti di situ, tradisi Molodhen kemudian berlanjut di tingkat keluarga. Warga yang mengadakan Molodhen akan mengundang tetangga, kerabat, dan sahabat dekat untuk hadir. Undangan hanya ditujukan untuk kaum laki-laki, sementara kaum perempuan menyiapkan seluruh hidangan di dapur.
Acara Molodhen di rumah-rumah biasanya berlangsung sekitar 30 menit. Prosesi dimulai dengan pembacaan beberapa bait kitab Barzanji, dilanjutkan salawat duduk, kemudian salawat berdiri, dan diakhiri dengan doa.
Pemimpin acara biasanya adalah habīb (keturunan Nabi) atau kiai setempat. Pada kesempatan tertentu, keluarga yang mampu juga mengundang kiai pesantren untuk memimpin acara.
Setelah doa selesai, tuan rumah menyajikan makanan bagi tamu. Sebelum pulang, para undangan diberikan bherkat, yakni bingkisan makanan yang menjadi salah satu ciri khas tradisi ini.
Hidangan dalam Tradisi Molodhen
Dalam tradisi Molodhen di Madura, sajian yang dihidangkan biasanya berupa aneka buah-buahan, kue tradisional, hingga nasi lengkap dengan lauk-pauknya. Hal unik yang membedakan Molodhen dengan perayaan Islam lainnya, yaitu keberagaman buah yang disuguhkan.
Sebelum pembacaan kitab Al-Barzanji, deretan buah yang telah dihias cantik ditata rapi di hadapan para tamu undangan. Buah-buahan tersebut biasanya ditusuk dengan lidi, lalu pada ujungnya dipasangi lembaran uang sebagai simbol keberkahan.
Jenis buah yang disajikan sangat beragam, mulai dari apel, anggur, jeruk, nanas, pepaya, pisang, semangka, kelapa muda, sawo, lengkeng, rambutan, hingga buah musiman lain yang sedang melimpah di pasar.
Setelah prosesi doa dan salawat selesai, para tamu biasanya diperbolehkan membawa pulang sebagian buah atau kue sebagai oleh-oleh. Buah-buahan dalam Molodhen dimaknai sebagai hasil dari pohon kebaikan, sebagaimana salawat yang dipanjatkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Seorang muslim yang bersalawat diharapkan mampu menumbuhkan "buah sosial" dalam kehidupan sehari-hari. Bagi seorang pemimpin, buah sosial itu berupa kesejahteraan rakyat. Bagi seorang alim, buahnya adalah ilmu yang diamalkan dan diajarkan.
Sementara bagi orang kaya, buahnya adalah kepedulian kepada kaum miskin melalui sedekah dan derma. Dengan begitu, Molodhen tidak hanya menjadi tradisi ritual semata, tetapi juga pengingat agar setiap orang melahirkan kebaikan sesuai peran dan tanggung jawabnya di tengah masyarakat.
Filosofi Tradisi Molodhen
Antusiasme masyarakat Madura dalam merayakan Maulid Nabi berangkat dari rasa syukur yang mendalam. Kelahiran Rasulullah dianggap sebagai nikmat besar dari Allah, sebab beliau adalah rahmat bagi seluruh alam.
Rasulullah mencontohkan cara bersyukur atas kelahirannya dengan berpuasa setiap hari Senin. Dalam hadis riwayat Imam Muslim, beliau bersabda, "Pada hari Senin aku dilahirkan, dan pada hari itu pula wahyu diturunkan". Karena itu, para ulama menegaskan bergembira atas kelahiran Nabi adalah wujud cinta dan penghormatan.
Bagi umat Islam Madura, perayaan Molodhen adalah wujud nyata cinta kepada Nabi Muhammad SAW. Bagi masyarakat Madura, setiap Molodhen adalah upaya untuk mendekatkan diri dengan Rasulullah melalui salawat dan doa.
Molodhen menjadi ruang kebersamaan, gotong royong, sekaligus pengingat bahwa kebahagiaan terbesar umat adalah lahirnya sosok pembawa rahmat bagi semesta alam. Tradisi ini mengajarkan cinta kepada Nabi tidak hanya dirayakan dengan kata-kata, tetapi diwujudkan dalam amal, doa, dan kebersamaan yang penuh syukur.
(auh/irb)