Cerpen Bertema Kemerdekaan RI yang Sarat Makna untuk 17 Agustus 2025

Cerpen Bertema Kemerdekaan RI yang Sarat Makna untuk 17 Agustus 2025

Katherine Yovita - detikJatim
Minggu, 10 Agu 2025 00:10 WIB
Ilustrasi karya sastra, ilustrasi puisi, ilustrasi cerpen. (Freepik)
Foto: Ilustrasi karya sastra, ilustrasi puisi, ilustrasi cerpen. (Freepik)
Surabaya -

Hari Kemerdekaan Republik Indonesia bukan sekadar peringatan momen bersejarah, tetapi juga sumber inspirasi bagi banyak karya sastra, termasuk cerita pendek atau cerpen. Cerpen bertema kemerdekaan sering kali memuat nilai-nilai perjuangan, makna kemerdekaan, dan harapan untuk masa depan bangsa.

Disampaikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami, kisah-kisah ini menjadi cara unik untuk memperingati HUT RI ke-80 agar terasa lebih bermakna. Selain menghibur, cerpen kemerdekaan juga dapat menjadi sarana refleksi terhadap kondisi masyarakat saat ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

7 Contoh Cerpen Tentang Kemerdekaan RI

Kisahnya menggambarkan perjuangan, keteguhan hati, dan rasa cinta tanah air yang relevan untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Berikut ini contoh cerpen bertema kemerdekaan RI yang sarat pesan moral dan bisa menjadi bacaan inspiratif, khususnya menjelang 17 Agustus 2025.

ADVERTISEMENT

1. Sepatu Lusuh Ayah

Namaku Damar. Aku duduk di kelas 6 SD Negeri Cendekia. Tahun ini, aku mendapat kehormatan menjadi salah satu petugas pengibar bendera dalam upacara 17 Agustus di lapangan kecamatan. Hatiku bangga, tapi juga cemas.

Ada satu masalah: sepatuku. Sudah terlalu usang, bagian ujungnya mengelupas dan solnya mulai terlepas. Sementara itu, teman-temanku sudah bersiap dengan sepatu baru, kaus kaki bersih, dan rambut disisir rapi. Aku hanya bisa menatap sepatu hitamku yang sudah banyak luka.

Aku tahu, Ayah baru saja diberhentikan dari pekerjaannya sebagai sopir angkot. Kami harus hidup hemat. Ibu mulai berjualan gorengan di depan rumah, tapi penghasilan itu hanya cukup untuk membeli beras dan sedikit lauk.

Aku tidak tega meminta sepatu baru. Malam sebelum upacara, aku berusaha membersihkan sepatu itu dengan sikat gigi bekas dan sabun colek. Tapi tetap saja, sepatu itu terlihat rapuh.

Ketika aku sedang menyeka air mata diam-diam di dapur, Ayah datang membawa sebuah kotak sepatu tua. "Ini sepatu Ayah dulu waktu masih kerja kantoran, sebelum krisis. Cobalah," katanya sambil tersenyum.

Sepatu itu agak besar, warnanya sudah pudar, tapi masih utuh. Aku mengelapnya dengan penuh hati-hati. Pagi itu, aku berdiri tegak di bawah tiang bendera. Sepatu tua itu terasa hangat-seolah Ayah ikut berdiri di sampingku.

Ketika bendera merah putih perlahan naik dan lagu Indonesia Raya berkumandang, aku tahu, meski kami belum merdeka dari himpitan hidup, semangat kami tak bisa diruntuhkan. Kami tetap berdiri, tetap hormat. Karena kemerdekaan juga soal keberanian untuk bertahan.

2. Kemerdekaan di Bangku Belakang Kelas

Aku duduk di bangku paling belakang kelas 5B. Aku jarang bicara, jarang maju ke depan kelas, dan hampir tidak pernah ikut lomba apapun. Teman-teman kadang menyapaku, tapi aku lebih sering sendiri.

Tahun ini, guru kami mengadakan lomba menulis surat untuk Indonesia. Semua murid diminta membuat surat tentang harapan untuk bangsa. Aku hampir tidak ikut. Tapi malam itu, aku menulis sesuatu di buku latihan. Bukan untuk dilombakan-hanya untuk diriku sendiri.

"Indonesia, aku ingin kamu tahu, bahwa anak-anak sepertiku pun ingin berjuang.
Bukan dengan senjata, tapi dengan belajar.
Aku ingin jadi guru, agar anak-anak seperti aku tak merasa kecil di kelas belakang.
Agar kami bisa bangga berdiri, seperti para pahlawan dulu."

Tanpa aku tahu, surat itu diambil oleh Ibu Guru. Dan minggu berikutnya, aku dipanggil ke depan kelas.

"Surat ini akan kita tempel di mading sekolah. Ini suara hati yang jujur dan dalam," katanya.

Aku berdiri di depan kelas. Tanganku dingin, tapi senyum Ibu Guru membuatku berani. Hari itu, aku merasa merdeka. Bukan karena menang lomba, tapi karena aku tak lagi bersembunyi.

3. Layang-layang Merah Putih

Di kampungku, anak-anak suka bermain layang-layang. Kami membuatnya dari kertas bekas, bambu, dan benang yang kami kumpulkan dari toko kelontong. Tapi setiap 17 Agustus, kami dilarang main karena dianggap mengganggu jalannya upacara desa.

Aku dan teman-temanku merasa sedih. Tapi tahun ini, aku punya ide. Kami akan membuat layang-layang besar berwarna merah putih sebagai bentuk perayaan.

Kami bekerja diam-diam di rumah Pakde Rano yang punya banyak alat pertukangan. Aku membawa kertas putih dari buku tulis bekas, Ardi membawa cat merah, dan Rio membawa sisa benang dari ibunya yang tukang jahit. Kami merangkai semuanya dengan semangat.

Setelah jadi, kami meminta izin kepada Pak RT. Awalnya beliau ragu, takut dianggap tidak sopan. Tapi setelah melihat bentuk dan makna layang-layang kami, ia mengangguk.

"Terbangkan setelah upacara selesai, ya. Biar warga semua bisa lihat," katanya.

Dan benar saja, setelah lagu "Hari Merdeka" selesai dikumandangkan, kami menaikkan layang-layang kami ke langit. Semua warga bersorak. Anak-anak berseru senang. Bahkan para bapak memotret dengan ponsel mereka.

Di atas langit desa kami, layang-layang merah putih itu terbang tinggi. Sebuah perayaan sederhana, tapi penuh semangat dan cinta negeri.

4. Bendera dari Kain Bekas

Aku tinggal di sebuah kampung di kaki gunung. Sekolahku sederhana, tapi penuh semangat. Setiap tahun, kami mengadakan pawai kemerdekaan keliling desa. Semua murid diminta membawa bendera merah putih kecil.

Tapi tahun ini, aku tidak punya uang untuk membeli bendera. Ayah sedang sakit, dan Ibu hanya buruh tani harian. Aku tahu tak mungkin meminta uang hanya untuk sehelai bendera.

Malam itu, aku mengaduk-aduk lemari dan menemukan kain merah dari baju lama dan kain putih dari sprei robek. Aku menjahitnya pelan-pelan menggunakan benang yang sudah nyaris habis.

Pagi itu, aku membawa bendera buatanku sendiri. Teman-temanku membawa bendera plastik yang baru dibeli. Aku sempat malu, tapi aku tetap melangkah.

Ketika hujan tiba di tengah pawai, banyak bendera plastik luntur atau robek. Tapi benderaku tetap kuat. Seorang guru memegang benderaku dan berkata, "Bendera ini dibuat dengan tangan dan cinta. Ini yang namanya nasionalisme."

Aku tersenyum. Mungkin benderaku tak sempurna, tapi aku tahu: semangatnya tak kalah dari bendera manapun.

5. Bendera di Ujung Bukit

Namaku Tegar, anak kelas 5 SD yang tinggal di sebuah desa kecil di lereng perbukitan. Setiap tahun, warga kampungku mengadakan upacara bendera di lapangan dekat balai desa. Tapi tahun ini berbeda.

Hujan deras seminggu terakhir membuat lapangan tergenang. Pak RT mengatakan, "Kita tidak bisa adakan upacara di lapangan seperti biasa." Beberapa orang menyarankan membatalkan upacara.

Tapi aku merasa sedih. Bagaimana mungkin hari kemerdekaan lewat begitu saja tanpa penghormatan pada bendera?

Sore itu, aku naik ke Bukit Kendit, tempat biasa aku bermain. Dari atas sana, seluruh kampung tampak kecil. Angin sejuk menerpa wajahku, dan tiba-tiba muncul ide di kepalaku: bagaimana jika bendera dikibarkan di sini?

Keesokan harinya aku meminta izin ke Pak RT dan kepala sekolah. Awalnya mereka bingung, tapi kemudian menyetujuinya dengan syarat: aku harus mendapat bantuan warga agar aman.

Malam-malam aku memotong bambu bersama Pak Jaya, penjaga sekolah. Ibu menjahitkan kain merah putih yang baru. Semua orang jadi ikut sibuk menyiapkan.

Tepat tanggal 17 Agustus, warga berbondong-bondong naik ke bukit. Tak ada panggung, tak ada tenda. Hanya hamparan tanah dan tiang bambu berdiri tegak. Kami menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan suara serempak.

Ketika bendera naik perlahan, angin menerpa dan membuatnya berkibar gagah. Banyak warga meneteskan air mata. Di ujung bukit itu, merah putih berdiri. Tidak mewah, tapi penuh makna

6. Surat dari Masa Lalu

Namaku Alya, siswi kelas 6 SD. Aku suka membaca dan menghabiskan waktu di perpustakaan sekolah. Suatu hari, saat membantu Bu Rina merapikan ruang arsip tua di sekolah, aku menemukan sebuah kotak kayu kecil yang berdebu. Di dalamnya ada tumpukan kertas kuno yang tampak seperti surat-surat lama.

Salah satu surat menarik perhatianku. Di amplopnya tertulis,

"Untuk Ratna, dari Darsa. 1947." Aku penasaran dan mulai membaca. Surat itu ditulis oleh seorang tentara pejuang kemerdekaan, Darsa, yang menulis kepada istrinya tentang perjuangan mereka melawan penjajah Belanda.

"Ratna, aku tak tahu apakah aku bisa pulang. Tapi aku yakin, perjuangan ini akan berbuah kemerdekaan. Tolong rawat anak kita, dan jangan biarkan mereka lupa bahwa kemerdekaan ini tak datang dari udara kosong..."

Aku terdiam lama. Rasanya seperti membaca suara dari masa lalu yang masih hidup. Aku menunjukkan surat itu kepada Bu Rina. Kami sepakat untuk membacakan surat itu saat upacara peringatan 17 Agustus.

Ketika hari itu tiba, aku membacakan surat Darsa di hadapan seluruh siswa dan guru. Suaraku sedikit bergetar, tapi aku teruskan sampai selesai.

Setelah upacara, banyak orang mendatangiku. "Surat itu menyentuh hati," kata Pak Kepala Sekolah. "Terima kasih sudah membacakannya."

Hari itu aku sadar, kemerdekaan tak hanya dirayakan lewat lagu dan upacara, tapi juga lewat kenangan, cerita, dan suara yang datang dari masa lalu. Kita hanya tinggal mewariskannya dengan hormat.

7. Perjuangan Kakek Karim

Aku, Nina, selalu merasa kakekku-Pak Karim-adalah orang biasa. Ia tinggal bersamaku dan Ibu di rumah kecil di pinggiran kota. Kakek jarang bicara, dan sering duduk di kursi rotannya sambil memandang keluar jendela.

Tapi semua berubah ketika aku diminta menulis esai bertema "Pahlawanku" untuk tugas sekolah menjelang 17 Agustus. Ibu menyarankan, "Kenapa tidak menulis tentang Kakek?" Aku tertawa kecil. "Apa Kakek pernah jadi pahlawan?"

Ibu hanya tersenyum dan berkata, "Tanya saja sendiri."

Malam itu, aku mendekati Kakek yang sedang membersihkan lencana kecil berwarna emas. "Kakek... Kakek pernah ikut perang ya?" tanyaku pelan.

Kakek menghela napas panjang. Lalu ia bercerita.

Dulu, saat usianya masih 17 tahun, Kakek ikut bergabung dengan para pejuang di hutan-hutan Sumatera. Ia bukan tentara resmi, hanya pemuda kampung yang membawa bambu runcing. Ia menyusup ke gudang penjajah, menyampaikan pesan rahasia, dan bahkan pernah tertangkap selama dua minggu.

"Tapi kenapa Kakek tidak pernah cerita ke siapa-siapa?" tanyaku heran.

"Karena aku tidak ingin disebut pahlawan. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan sebagai anak bangsa," jawab Kakek sambil tersenyum.

Esoknya, aku menulis esai tentang Kakek Karim. Aku ceritakan perjuangan diam-diamnya, keberaniannya, dan bagaimana ia menyimpan sejarah di balik wajah tuanya yang tenang.

Esai itu menang lomba. Dan di acara sekolah, Kakek diminta naik ke panggung. Semua murid berdiri dan bertepuk tangan.

Hari itu, aku tak hanya bangga sebagai cucu Kakek Karim. Aku bangga karena tahu, di balik wajah tua itu, ada jiwa muda yang pernah berdiri melawan penjajahan demi merah putih.




(auh/irb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads