Analisis Pakar Soal Pemicu Maraknya Sound Horeg hingga Jadi Kontroversi

Analisis Pakar Soal Pemicu Maraknya Sound Horeg hingga Jadi Kontroversi

Muhammad Aminudin - detikJatim
Selasa, 29 Jul 2025 18:30 WIB
Petugas Polres Kediri membubarkan karnaval sound horeg yang digelar di Desa Duwet, Kec. Wates, Kab Kediri Sabtu (19/7)
Ilustrasi sound horeg. (Foto: Dok. Istimewa)
Malang -

Dosen Sosiologi Universitas Brawijaya (UB) Didid Haryadi berpendapat bahwa sound horeg tidak bisa disebut budaya. Dia sampaikan analisis awal mula munculnya sound horeg hingga belakangan menjadi kontroversi.

Didid mengatakan, berdasarkan pengamatan dan riset yang dia lakukan, fenomena sound horeg itu muncul karena minimnya akses ruang publik yang ramah bagi masyarakat. Terutama tempat hiburan rakyat.

"Fenomena sound horeg ini mencuat karena makin sempitnya akses masyarakat terhadap ruang publik yang ramah, seperti taman kota, ruang bermain anak, atau tempat hiburan rakyat," ujar Didid kepada wartawan, Senin (28/7/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Didid, sound horeg lebih tepat dipandang sebagai bentuk hiburan sesaat yang lahir dari keterbatasan akses masyarakat terhadap ruang-ruang publik yang representatif.

Di tengah minimnya alternatif hiburan yang terjangkau itu, terutama bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah, sound horeg hadir sebagai wujud ekspresi spontan yang menghibur.

ADVERTISEMENT

"Sound horeg cepat menyebar karena pengaruh masifnya media sosial. Barangkali juga karena meniru fenomena serupa yang mirip dan terjadi di luar wilayah Indonesia," bebernya.

Selanjutnya, Didid pun mengomentari pandangan sebagian masyarakat yang menganggap bahwa sound horeg bagian dari budaya baru. Dengan tegas dia tolak pandangan itu.

Pengeras suara dengan intensitas suara menggelegar di atas 65 desibel, ditambah aksesoris lampu, dan penari latar yang mengiringi itu belum memenuhi sejumlah kriteria hingga pantas disebut sebagai budaya.

"Kalau kita bicara budaya, itu bukan hanya soal populer atau tidak. Budaya itu adalah panduan hidup a way of life yang dipelajari, dimiliki bersama," ujar Didid.

Tidak cukup itu saja, ada sejumlah kriteria lain yang harus dipenuhi sebuah fenomena hingga layak disebut membudaya di masyarakat. Salah satunya dipraktikkan terus menerus.

"Selain itu budaya harus bersifat menyeluruh, dan dipraktikkan terus-menerus dalam keseharian. Nah, sound horeg tidak memenuhi unsur-unsur itu," tegasnya.

Didid pun membandingkan fenomena sound horeg yang sedang hangat menjadi perbincangan ini dengan tren musiman lain seperti 'Om Telolet Om' atau permainan 'lato-lato' yang sempat viral.

Om Telolet Om adalah fenomena yang bergkat dari kegembiraan anak-anak dan remaja yang meminta sopir bus untuk membunyikan klakson bus yang disebut Telolet atau kini dikenal secara luas sebagai Basuri.

Fenomena Om Telolet Om itu sempat viral secara global pada akhir 2016 berkat media sosial. Bahkan fenomena yang berasal dari Indonesia itu sempat menginspirasi sejumlah musisi internasional.

Didid menilai fenomena seperti sound horeg maupun Om Telolet Om tidak memiliki akar nilai yang mendalam atau makna sosial yang berkelanjutan sehingga kemungkinan besar akan meredup seiring waktu berjalan.

"Menurut saya sound horeg bukan budaya. Lebih identik sebagai hiburan yang muncul secara temporer saja. Budaya selalu identik dengan sesuatu yang adiluhung dan dirawat oleh anggota masyarakat dalam praktik sosialnya," pungkasnya.




(dpe/hil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads