Kabupaten Ngawi akan merayakan hari jadinya yang ke-667 pada 7 Juli 2025 mendatang. Momen ini menjadi waktu yang tepat untuk kembali menengok jejak sejarah panjang kabupaten yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah di sisi barat ini.
Sebagai salah satu wilayah tertua di Jawa Timur, Ngawi menyimpan akar sejarah yang kuat dan kaya akan nilai budaya. Dalam menyambut semarak hari jadi Kabupaten Ngawi, penting bagi kita untuk memahami asal-usul terbentuknya wilayah ini. Simak penjelasan lengkapnya berikut.
Sejarah Hari Jadi Kabupaten Ngawi
Mengutip laman resmi Pemkab Ngawi, nama "Ngawi" berasal dari kata "awi" yang berarti bambu. Kata tersebut kemudian diberi imbuhan bunyi sengau "ng", sehingga membentuk kata "Ngawi". Penamaan ini merujuk pada kondisi wilayah yang kala itu banyak ditumbuhi bambu, terutama di sekitar Bengawan Solo dan Bengawan Madiun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Awalnya, Hari Jadi Ngawi ditetapkan pada 31 Agustus 1830 melalui Surat Keputusan DPRD Kabupaten Dati II Ngawi tertanggal 31 Maret 1978, Nomor Sek 13/25/DPRD. Namun, penetapan ini mendapat kritik dari masyarakat karena dianggap merujuk pada masa kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda dan kurang mencerminkan semangat nasionalisme.
Setelah melalui berbagai pertimbangan, akhirnya dilakukan revisi. Pada 14 Oktober (tahun tidak disebut), M.M. Soekarto bersama K. Atmodjo mengadakan sebuah simposium. Dari hasil simposium tersebut, disepakati bahwa Hari Jadi Ngawi ditetapkan pada 7 Juli 1358 M.
Tanggal ini merujuk pada masa Kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk, sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Canggu bertahun Saka 1280, yang menunjukkan bahwa Ngawi telah menjadi daerah penambangan dan daerah swatantra dengan sebutan Naditira Pradesa.
Selain itu, sejarah kolonial juga turut mewarnai perkembangan Ngawi. Salah satunya ditandai dengan keberadaan Benteng Van den Bosch, yang dibangun Belanda pada tahun 1839 di persimpangan Bengawan Solo dan Bengawan Madiun.
Benteng ini menjadi bukti penting bahwa Ngawi memiliki peran strategis sebagai pusat perdagangan dan pelayaran pada masa penjajahan. Dengan rekam jejak sejarah yang panjang dan penuh dinamika, Ngawi bukan hanya menjadi daerah bernilai historis tinggi, tetapi juga mencerminkan identitas budaya yang kuat dan membanggakan.
Makna dan Filosofi Lambang Kabupaten Ngawi
Lambang Kabupaten Ngawi tidak hanya berfungsi sebagai identitas visual administratif, namun juga sarat akan makna filosofis. Berdasarkan Peraturan Daerah No 7 Tahun 1968, berikut arti dari setiap elemen lambang tersebut.
- Bintang bersudut lima: Melambangkan pancaran nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
- Api menyala dengan lima lidah api berwarna kuning dan tepi merah: Mewakili semangat Pancasila yang terus menerangi kehidupan dan perjuangan masyarakat Ngawi.
- Tulang batok kepala dan tulang paha dalam lingkaran merah: Simbol bahwa Ngawi dikenal dalam dunia arkeologi, dengan penemuan tulang Pithecanthropus Erectus oleh Dr. Eugene Dubois pada 1891 di Desa Trinil, Kecamatan Kedunggalar.
- Garis lebar bergelombang, putih di atas dan kuning di bawah: Menunjukkan pertemuan dua sungai besar-Bengawan Solo (putih) dan Bengawan Madiun (kuning)-di pusat wilayah Ngawi.
- Pepohonan hijau: Melambangkan kekayaan hutan jati yang menjadi sumber kemakmuran daerah.
- Tulisan "NGAWI" pada dasar putih melengkung: Menggambarkan bentuk geografis Ngawi yang terdiri dari pegunungan Kendeng, lereng Gunung Lawu, dan dataran rendah.
- Padi dan kapas di kedua sisi bintang: Melambangkan kesejahteraan yang adil dan merata berkat ketaqwaan kepada Allah SWT, khususnya dalam pemenuhan pangan dan sandang.
- Perisai hitam bertepi merah: Latar utama lambang berisi padi dan kapas masing-masing 17, pohon jati 8 batang, dan lekuk daun jati 45-menyimbolkan semangat patriotisme dan ketangguhan daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(auh/irb)