Malam 1 Suro dan Segala Pantangannya

Malam 1 Suro dan Segala Pantangannya

Irma Budiarti - detikJatim
Selasa, 17 Jun 2025 03:00 WIB
A multi-colored pattern of blue smoke of a mystical shape in the form of a face and a ghosts head or a strange creature on a black isolated background. Abstract pattern in of waves and steam
ILUSTRASI MALAM 1 SURO. Foto: Getty Images/iStockphoto/Aleksandr Kondratov
Surabaya -

Malam 1 Suro bukan sekadar pergantian tahun baru Jawa, tapi diyakini sebagai malam sakral yang penuh energi spiritual. Di malam ini, masyarakat Jawa menjalani berbagai ritual tirakat dan doa, sekaligus menghindari sejumlah larangan yang diwariskan turun-temurun.

Mulai dari pantangan menggelar hajatan hingga larangan keluar rumah sembarangan, semua dilakukan demi keselamatan dan ketentraman batin. Tak heran jika malam Suro sering disebut sebagai waktu "hening" dan penuh introspeksi.

Bukan malam untuk hura-hura, melainkan untuk menyepi, membersihkan diri, dan mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa. Lantas, apa saja pantangan yang diyakini tak boleh dilakukan saat malam 1 Suro? Simak penjelasan lengkapnya berikut ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Malam 1 Suro

Malam 1 Suro adalah malam pergantian tahun baru dalam kalender Jawa. Malam 1 Suro seringkali dikira bertepatan dengan malam menjelang tahun baru Islam 1 Muharram dalam kalender Hijriah. Padahal, malam 1 Suro dan 1 Muharram merupakan dua hal berbeda, dan tanggalnya pun biasanya berbeda satu.

Kalender Jawa yang dipadu dari penanggalan Saka, Islam, dan Masehi, resmi diberlakukan sejak zaman Sultan Agung Hanyakrakusumo untuk memperkuat kesatuan budaya dan agama di tanah Jawa. Penentuan kalender Jawa oleh Sultan Agung dimulai pada 8 Juli 1633 M (1 Suro 1555 Saka), bersamaan dengan 1 Muharram 1043 Hijriah. Hal inilah yang membuat masyarakat sering mengira 1 Suro sama dengan 1 Muharram.

ADVERTISEMENT

Penanggalan ini sendiri agar masyarakat Jawa (santri dan abangan) menyatu dalam budaya Islam, sekaligus menjaga nilai-nilai leluhur. "Malam Sakral", dipercaya waktu pintu dunia gaib terbuka untuk membersihkan diri, memohon keselamatan, dan introspeksi spiritual.

Pantangan dan Larangan Malam 1 Suro

Dalam budaya Jawa, malam 1 Suro dianggap sebagai waktu keramat, sehingga ada berbagai pantangan yang sebaiknya dihindari. Berikut sejumlah pantangan dan larangan malam 1 Suro.

1. Tidak Menggelar Hajatan

Menikah, khitanan, atau acara besar lain di malam Suro dianggap tabu. Dikhawatirkan akan mendatangkan nasib buruk, karena dianggap waktu untuk menyendiri dan menyucikan diri, bukan berpesta.

2. Tidak Keluar Rumah Sembarangan

Masyarakat meyakini malam 1 Suro adalah saat dunia nyata dan dunia gaib sangat dekat. Banyak orang memilih berdiam diri di rumah atau melakukan aktivitas spiritual karena malam ini diyakini rawan gangguan gaib.

3. Menghindari Konflik dan Ucapan Kasar

Orang tua zaman dulu mewanti-wanti anak-anak untuk tidak bertengkar atau berkata kasar, sebab malam ini dianggap membuka pintu energi halus dan bisa memicu hal-hal tidak diinginkan.

4. Tidak Membangun atau Pindah Rumah

Aktivitas besar seperti renovasi, memulai proyek bangunan, atau pindah rumah sebaiknya dihindari. Malam Suro dianggap bukan waktu baik untuk memulai sesuatu, melainkan saat mengistirahatkan diri dan membersihkan batin.

Tradisi Malam 1 Suro

Berbagai tradisi khas dijalankan masyarakat Jawa saat malam 1 Suro, terutama di lingkungan keraton dan desa-desa adat, sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan waktu-waktu keramat. Mulai dari kirab pusaka yang hening tanpa suara, tirakatan semalam suntuk, hingga ritual jamasan dan sedekah gunungan, semua dilaksanakan dengan penuh khidmat.

Tradisi ini bukan hanya warisan budaya, tapi juga bentuk perenungan diri dan penyucian batin dalam menyambut tahun baru Jawa. Berikut sejumlah tradisi yang dilaksanakan saat malam 1 Suro.

1. Kirab Pusaka

Kirab (arak-arakan) benda pusaka menjadi tradisi utama di keraton-keraton Jawa, seperti Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Benda-benda pusaka seperti keris, tombak, gamelan, hingga Kebo Bule (kerbau albino) diarak mengelilingi area keraton sebagai simbol pembersihan spiritual dan penghormatan leluhur.

Di Solo, tradisi ini disebut Kirab Malam 1 Suro, berlangsung tanpa suara (Tapa Bisu Mubeng Beteng), diikuti para abdi dalem berjalan kaki mengelilingi benteng keraton sejauh Β±5 km.

2. Tapa Bisu

Peserta kirab menjalani Tapa Bisu, yaitu berjalan tanpa bicara, tanpa makan, dan tanpa minum, sebagai bentuk perenungan diri. Ini dipercaya membantu membersihkan hati, menjernihkan pikiran, dan membuka intuisi batin dalam menyambut tahun baru Jawa.

3. Ritual Jamasan Pusaka

Jamasan adalah upacara mencuci pusaka (keris, tombak, dan benda bertuah lainnya) dengan air kembang setaman. Ini dipercaya membersihkan energi negatif sekaligus bentuk rasa hormat pada warisan leluhur.

4. Tirakatan dan Doa Bersama

Masyarakat Jawa menggelar tirakatan-berdiam diri sambil merenung dan berdoa. Beberapa daerah menggelar tahlilan bersama, ziarah ke makam leluhur, atau semedi di tempat yang dianggap sakral seperti puncak gunung, sendang (mata air), atau petilasan.

5. Sedekah Gunungan

Di beberapa wilayah, seperti Yogyakarta dan Ponorogo, masyarakat mengarak dan membagikan Gunungan-tumpukan hasil bumi atau makanan-sebagai simbol syukur kepada Tuhan. Gunungan ini akan diperebutkan warga karena diyakini membawa berkah.




(hil/irb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads