Pacitan adalah salah satu kabupaten di Jawa Timur dengan luas wilayah sekitar 1.389,87 kilometer persegi. Secara geografis, kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Ponorogo di utara, Samudera Hindia di selatan, Kabupaten Trenggalek di timur, serta Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah) di barat.
Letaknya di bagian barat daya Jawa Timur menjadikan Kabupaten Pacitan sebagai gerbang perbatasan antara Jawa Timur dan Jawa Tengah. Secara astronomis, terletak pada 07β°55'-08β°17' Lintang Selatan dan 110β°55'-111β°25' Bujur Timur.
Kabupaten Pacitan terbagi menjadi 12 kecamatan dengan total 166 desa, yaitu Kecamatan Pacitan, Kecamatan Kebonagung, Kecamatan Tulakan, Kecamatan Pringkuku, Kecamatan Punung, dan Kecamatan Ngadirojo, Kecamatan Nawangan, Kecamatan Bandar, Kecamatan Sudimoro, Kecamatan Tegalombo, Kecamatan Arjosari, dan Kecamatan Donorojo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari segi topografi, Pacitan didominasi perbukitan tandus, dataran rendah, dan garis pantai yang cukup panjang. Kondisi geografis ini menciptakan keanekaragaman dalam kehidupan sosial, budaya, serta mata pencaharian penduduknya.
Pacitan dikenal dengan julukan "Kota Seribu Satu Gua" karena memiliki banyak gua indah. Kehadiran gua-gua ini tidak hanya menjadi daya tarik wisata, tetapi memberikan kontribusi bagi perekonomian daerah.
Selain gua, Pacitan juga memiliki banyak pantai indah di pesisir selatan yang menjadi magnet bagi wisatawan. Keindahan pantai-pantai ini membuat sektor pariwisata Pacitan semakin berkembang, memberikan manfaat besar bagi perekonomian masyarakat setempat.
Sejarah Kabupaten Pacitan
Dilansir dari jurnal Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Pacitan, menurut literatur Babad Tanah Pacitan dan Perkembangannya, dahulu wilayah Pacitan merupakan bagian dari Ponorogo, khususnya di bagian selatan.
Asal-usulnya bermula dari kisah Siti Geseng, seorang abdi dari Raden Adipati Ponorogo. Ia meminta sebidang hutan kepada sang adipati untuk dijadikan pemukiman. Permintaannya dikabulkan, dan ia diberikan tanah di kawasan pantai selatan.
Setibanya di wilayah yang kini dikenal sebagai Pacitan, tepatnya di Ngrejoso (sekarang Desa Sukoharjo), Siti Geseng menancapkan bambu petung sebagai tanda kedatangannya. Sejak saat itu, ia dikenal dengan nama Ki Ageng Petung.
Selain Siti Geseng, beberapa tokoh lain juga berperan dalam babad alas di Pacitan, seperti Syeh Maulana Maghribi yang bermukim di Dusun Duduhan, serta Kyai Menak Sopal dan Kyai Ampok Boyo di Dusun Posong. Mereka semua meminta izin kepada Raden Adipati Ponorogo untuk membuka lahan di selatan Ponorogo.
Namun, Kyai Menak Sopal kemudian pindah ke Trenggalek untuk menjadi sesepuh di sana. Sehingga Kyai Ampok Boyo tetap di Posong, dan akhirnya dikenal sebagai Ki Ageng Posong. Para tokoh ini juga berperan dalam penyebaran Islam di Pacitan.
Selain pernah menjadi bagian dari Ponorogo, Pacitan juga pernah berada di bawah kekuasaan Keraton Yogyakarta Hadiningrat. Pada masa awal pemerintahannya, pusat pemerintahan Pacitan berada di Nanggungan dengan bupati pertamanya, Ngabehi Notoprojo atau Tumenggung Notopuro.
Saat itu, wilayah Pacitan terbagi dua, yaitu Nanggungan berada di bawah kekuasaan Yogyakarta, sedangkan Ngrejoso dan sekitarnya dikuasai Surakarta Hadiningrat. Namun, kepemimpinan Tumenggung Notopuro berakhir tragis. Ia dihukum qisas oleh Kanjeng Sinuwun dari Surakarta karena melanggar janji.
Awalnya, Notopuro berjanji akan menikahkan putrinya dengan Kanjeng Sinuwun setelah dewasa. Namun, ia justru menikahkannya dengan Raden Pakuningrat di Surakarta. Merasa dikhianati, Kanjeng Sinuwun memanggil Notopuro ke Surakarta dan menjatuhkan hukuman qisas kepadanya.
Setelah Notopuro, bupati Pacitan berikutnya adalah Setroketipo yang bergelar R Tumenggung Setro Wijoyo. Nama "Pacitan" konon berkaitan dengan kisahnya. Pada tahun 1746-1755, terjadi perang saudara antara Pangeran Mangkubumi dan kakaknya, Sunan Pakubuwono.
Dalam peperangan ini, Pangeran Mangkubumi dan pasukannya mengalami kekalahan dan terpaksa mundur ke daerah pesisir selatan Jawa, yang kini dikenal sebagai Pacitan. Mereka kelelahan dan terluka parah. Melihat kondisi ini, Setroketipo meracik obat dari buah pace untuk menyembuhkan Pangeran Mangkubumi.
Berkat ramuan itu, sang pangeran pulih kembali. Sebagai tanda terima kasih, Pangeran Mangkubumi berjanji akan mengangkat Setroketipo sebagai bupati. Ketika akhirnya Pangeran Mangkubumi naik takhta sebagai raja, ia menepati janjinya dan mengangkat Setroketipo sebagai bupati di Nanggungan.
Karena jasanya dalam penyembuhan Pangeran Mangkubumi dengan buah pace, Setroketipo juga dikenal sebagai Tumenggung Pace. Daerah yang ia pimpin kemudian disebut "Pace Wetan", yang berarti "wilayah timur yang identik dengan buah pace".
(hil/irb)