Dalam ritual ini, terdapat prosesi ngelabuh, yaitu melemparkan sesaji ke kawah Gunung Bromo sebagai bentuk persembahan kepada Sang Hyang Widhi dan para leluhur. Sesaji yang dilemparkan sangat beragam, meliputi hasil bumi, hewan ternak, dan uang.
Namun, ada aspek menarik yang sering mencuri perhatian, yaitu kehadiran para Marit, sekelompok orang yang mengumpulkan sesaji yang dilemparkan ke kawah. Aktivitas ini menjadi bagian dari kearifan lokal yang unik di kawasan Bromo.
Apa Itu Marit?
Marit adalah istilah yang digunakan untuk menyebut orang-orang yang mengumpulkan barang-barang atau sesaji (ongkek) yang dilabuh ke kawah Gunung Bromo. Mereka memanfaatkan keberadaan sesaji ini untuk mendapatkan berkah. Para Marit biasanya berdiri di dinding kawah yang curam dan licin, menanti sesaji yang dilemparkan.
Melihat keberanian mereka, banyak orang merasa ngeri, karena mereka berdiri di tempat yang sangat berbahaya. Tidak hanya berpijak di tepian kawah, mereka juga sering berlari-larian untuk menangkap sesaji yang dilempar, terkadang menggunakan alat bantu berupa jaring yang dipasang di ujung tongkat panjang.
Sebagian besar Marit berasal dari desa-desa sekitar Bromo. Mereka biasanya sudah datang sehari sebelum upacara berlangsung dan bermalam di sekitar kawasan kawah. Mereka membuat tenda-tenda darurat di dekat pembatas kawah yang telah disediakan petugas. Aktivitas mereka berlangsung hingga siang hari setelah prosesi ngelabuh selesai.
Meski tampaknya berbahaya, para Marit memiliki keyakinan kuat bahwa mereka dilindungi Sang Hyang Widhi dan roh leluhur. Hal ini menanamkan keberanian yang besar, bahkan dalam kondisi cuaca buruk atau saat Gunung Bromo sedang aktif.
Aturan untuk Para Marit
Para Marit memiliki aturan khusus yang harus mereka patuhi selama mengambil sesaji, di antaranya sebelum diambil sesaji harus menyentuh tanah terlebih dahulu. Selain itu, Marit tidak boleh meminta atau merebut sesaji langsung dari peserta upacara sebelum prosesi selesai.
Namun, dalam praktiknya, tidak semua Marit mematuhi aturan ini. Ada yang menggunakan jaring atau alat lain untuk mengambil sesaji langsung saat dilemparkan, yang sebenarnya tidak dianjurkan para tokoh adat.
Keberkahan dari Sesaji
Keberadaan Marit sangat erat kaitannya dengan ritual Yadnya Kasada. Sesaji yang dilabuh dipercaya membawa berkah, terutama hasil bumi, yang sering kali ditanam kembali Marit di ladang mereka. Keyakinan ini didasarkan pada doa dan mantra yang dibacakan oleh para dukun sebelum sesaji dilabuh.
Selain itu, sesaji yang diperoleh Marit bukan untuk dimakan atau dijual, tetapi untuk dikembangkan kembali. Hal ini mencerminkan nilai keagamaan dan filosofi Wong Tengger, yang mengutamakan keberlanjutan dan keseimbangan alam.
Proses dan Makna Yadnya Kasada
Yadnya Kasada tidak hanya tentang ngelabuh sesaji. Ritual ini memiliki rangkaian prosesi yang panjang, dimulai dengan niat untuk melakukan purifikasi diri dan alam semesta. Wong Tengger membawa hasil panen seperti polo kependem (umbi-umbian), polo gumantung (buah-buahan), polo ngerambat (tanaman merambat), serta hewan peliharaan ke dalam sebuah wadah bernama ongkek.
Upacara juga melibatkan prosesi mulunen, yaitu pengangkatan dukun baru yang telah melalui ujian dan pelantikan oleh dukun senior. Malam hari sebelum puncak acara, dukun memimpin doa, mantra, dan ritual mejaya-jaya untuk konsentrasi dan memohon restu dari Sang Hyang Widhi. Saat matahari terbit, peserta melakukan ngelabuh sesaji ke kawah Gunung Bromo.
Kasada berakar pada sistem kepercayaan prasejarah yang memuja arwah leluhur dan Gunung Bromo sebagai pusat dunia. Wong Tengger melestarikan tradisi ini meskipun telah melewati pengaruh Hindu Bali dan kebudayaan dominan lainnya. Ritual Kasada juga menjadi ajang untuk mempererat solidaritas masyarakat melalui sistem kuncup atau patungan untuk membiayai upacara.
Budaya Tengger memiliki daya tahan yang luar biasa terhadap pengaruh eksternal. Bahkan, ajaran Hindu diintegrasikan ke dalam tradisi lokal tanpa menghilangkan esensi kepercayaan asli mereka. Fenomena ini dikenal sebagai Tenggerisasi Hindu, yang memperkaya keberagaman budaya Indonesia.
Keberadaan Marit dalam upacara Yadnya Kasada adalah salah satu bentuk kearifan lokal yang unik dan menarik. Selain mencerminkan keberanian dan keyakinan spiritual, aktivitas mereka juga menjadi bagian penting dari keberlanjutan tradisi Tengger.
Artikel ini ditulis oleh Angely Rahma, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(ihc/irb)