Sejarah menjadi sangat bernilai saat masyarakat Jawa Timur banyak mengenal sejarah itu sendiri. Cukup banyak peninggalan masa lampau yang bisa dipelajari agar menambah wawasan tentang sejarah di lokasi tersebut.
Salah satunya, Candi Pari peninggalan zaman Hindu-Buddha yang terletak di Kota Delta. Di atas pintu masuk Candi Pari tertera tulisan 1293 Saka.
Pada masa itu merupakan era Kerajaan Majapahit di bawah kepemimpinan Raja Hayam Wuruk. Menurut kitab Negarakertagama, candi ini memiliki kemiripan dengan Champa dengan memiliki latar belakang yang cukup erat antara Jawa dan Champa pada masa itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejarah Candi Pari
Candi Pari adalah salah satu peninggalan bersejarah dari era Majapahit yang terletak di Desa Candi Pari, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Candi ini dibangun pada tahun 1293 Saka (1371 M) dan dikenal sebagai simbol keberhasilan pertanian di wilayah tersebut. Arsitekturnya yang unik, terbuat dari batu bata dengan bentuk persegi empat, menunjukkan pengaruh gaya bangunan dari Kamboja dan Vietnam, berbeda dari candi-candi lainnya di Jawa Timur.
Sejarah Candi Pari berkaitan erat dengan kisah Joko Pandelegan, seorang petani yang berhasil menanam padi dengan hasil melimpah. Ketika Raja Hayam Wuruk mendengar tentang keberhasilannya, ia berusaha memanggil Joko untuk membawanya ke kerajaan. Namun, Joko menghilang secara misterius. Sebagai penghormatan atas hilangnya Joko dan untuk mengenang jasa-jasanya, Raja Hayam Wuruk memerintahkan pembangunan Candi Pari.
Candi ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah tetapi juga sebagai simbol ketahanan masyarakat dalam menghadapi kesulitan. Pembangunan Candi Pari mencerminkan hubungan antara masyarakat dan kerajaan pada masa itu, di mana hasil pertanian menjadi sumber kehidupan yang sangat dihargai. Selain itu, candi ini menjadi bukti sejarah penting bagi generasi mendatang untuk memahami peradaban Majapahit.
Saat ini, Candi Pari menjadi destinasi wisata yang menarik bagi pengunjung yang ingin belajar tentang sejarah dan budaya Jawa Timur. Dengan keindahan arsitektur dan latar belakang alam yang menawan, Candi Pari tidak hanya menyimpan nilai sejarah tetapi juga menawarkan pengalaman edukatif bagi masyarakat dan wisatawan
Ciri yang menonjol pada Candi Pari
Candi Pari memiliki bentuk persegi empat yang menghadap ke barat, dengan dimensi yang mencolok. Tingginya mencapai 15,40 meter, panjang 16 meter, dan lebar 14,10 meter, menjadikannya salah satu candi yang lebih pendek dan lebar dibandingkan dengan candi-candi lain dari era Majapahit. Struktur candi terbuat dari batu bata merah, sementara ambang dan bagian atas gerbangnya terbuat dari batu andesit. Ciri khas Candi Pari adalah kurangnya relief atau ornamen yang rumit, dengan dekorasi utama berupa miniatur candi dan ornamen teratai di atasnya.
Dari segi arsitektur, Candi Pari menunjukkan pengaruh gaya Kamboja dan Champa, terlihat dari bentuk atapnya yang mirip dengan candi-candi di kawasan tersebut. Struktur candi terdiri dari tiga bagian: kaki, badan, dan atap. Bagian kaki berdenah persegi dengan ukuran 13,55 x 13,40 meter dan tinggi 1,50 meter, sementara badan candi berbentuk persegi empat dengan panjang dan lebar 7,80 meter serta tinggi 6,30 meter. Meskipun atap candi sebagian besar telah runtuh, sisa-sisa arsitekturnya tetap menunjukkan keunikan dan filosofi yang mendalam dalam desainnya.
Mengapa Candi Pari dibangun?
Candi Pari ini dibangun sebagai penghormatan kepada Jaka Pandelegan dan Nyai Roro Walang Angin, dua pasangan suami istri yang dikenal karena kontribusi mereka dalam mengatasi krisis pangan di Kerajaan Majapahit. Pada saat itu, Majapahit mengalami paceklik, dan keduanya menolak tawaran untuk tinggal di kerajaan demi mempertahankan desa mereka sebagai penghasil padi.
Mereka membagikan hasil panen kepada rakyat yang membutuhkan, yang membuat Raja Hayam Wuruk merasa bangga dan memutuskan untuk menghormati jasa mereka dengan membangun candi. Pembangunan Candi Pari juga berkaitan dengan nilai spiritual dan keagamaan masyarakat pada masa itu. Candi ini diyakini sebagai tempat moksa atau pengabdian terakhir bagi Jaka Pandelegan dan istrinya.
Dalam konteks Hindu, moksa adalah keadaan bebas dari siklus kelahiran dan kematian, sehingga pembangunan candi ini mencerminkan penghormatan terhadap nilai-nilai spiritual yang dianut oleh masyarakat pada masa Majapahit. Selain itu, Candi Pari berfungsi sebagai simbol ketahanan masyarakat dalam menghadapi kesulitan.
Dengan membangun candi ini, Raja Hayam Wuruk tidak hanya mengenang jasa Jaka Pandelegan dan Nyai Roro Walang Angin, tetapi juga menegaskan pentingnya pertanian dalam kehidupan sosial dan ekonomi kerajaan. Candi Pari menjadi representasi dari hubungan antara kerajaan dan rakyat, serta peran penting pertanian dalam menjaga stabilitas kerajaan.
Fungsi Candi Pari
Tak hanya berfungsi pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk saja, yakni berfungsi sebagai situs sejarah yang penting, memperlihatkan warisan budaya dari masa Kerajaan Majapahit. Candi ini dibangun untuk menghormati Jaka Pandelegan dan Nyai Roro Walang Angin, yang dikenal karena kontribusi mereka dalam mengatasi krisis pangan di kerajaan.
Sebagai tempat ibadah, Candi Pari juga mencerminkan nilai-nilai spiritual masyarakat Hindu pada masa itu, dengan berbagai relief dan ornamen yang menggambarkan ajaran agama Hindu. Selain itu, Candi Pari kini berfungsi sebagai destinasi wisata yang menarik, menawarkan edukasi sejarah bagi pengunjung.
Banyak wisatawan datang untuk mempelajari lebih lanjut tentang sejarah Majapahit dan menikmati keindahan arsitektur candi. Dengan program promosi oleh pemerintah setempat, Candi Pari menjadi salah satu tempat yang banyak dikunjungi, memberikan kontribusi pada pelestarian budaya dan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya warisan sejarah.
Artikel ini ditulis oleh Sri Rahayu, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(ihc/fat)