Sosok Wieteke van Dort Pencipta Lagu Geef Mij Maar Nasi Goreng Wafat di Belanda

Sosok Wieteke van Dort Pencipta Lagu Geef Mij Maar Nasi Goreng Wafat di Belanda

Fatichatun Nadhiroh - detikJatim
Rabu, 17 Jul 2024 13:00 WIB
Wieteke Van Dort pencipta lagu Geef Mij Maar Nasi Goreng.
Wieteke Van Dort semasa hidup (Foto: Tangkapan Layar)
Surabaya -

Lagu berjudul 'Geef Mij Maar Nasi Goreng' adalah lagu hasil testimoni seorang wanita Belanda kelahiran Surabaya. Dia sengaja menciptakan lagu itu lantaran kangen dengan Kota Pahlawan.

Lagu yang dalam Bahasa Indonesia berarti 'Beri Aku Nasi Goreng" itu diciptakan Wieteke van Dort yang akrab disapa Tante Lien. Dia lahir 16 Mei 1943 di Surabaya dan tinggal di Kota Pahlawan hingga usia 14 tahun.

Lirik lagu itu menggambarkan betapa wanita bernama lengkap Louisa Johanna Theodora "Wieteke" van Dort itu tidak bisa melupakan makanan sehari-hari di Surabaya meski telah tinggal di Belanda.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lihat saja beberapa makanan khas Indonesia yang biasa dia temukan selama tinggal di Surabaya di dalam lirik lagu itu. Selain nasi goreng ada sambal, kerupuk, lontong, terasi, serundeng, dan bandeng. Tak ketinggalan tahu petis, kue lapis, onde-onde, ketela, bakpau, ketan, serta gula Jawa.

Dilansir dari detikJatim, saat usianya sudah 14 tahun, Wieteke dan orang tuanya terpaksa pergi ke Belanda karena situasi politik. Meski tinggal di Belanda, dia selalu rindu dengan Indonesia, khususnya Surabaya sebagai tempat lahirnya.

ADVERTISEMENT

Dia pun menuangkan kerinduan tentang suasana, kuliner, hingga tempat-tempat di Surabaya semasa kecilnya itu dalam sejumlah karya musik. Salah satunya lagu itu adalah Geef Mij Maar Nasi Goreng.

Kuncarsono Prasetyo, pegiat sejarah dari Perkumpulan Begandring Soerabaia mengaku sempat bertemu dan berbincang langsung dengan Tante Lien ketika wanita itu datang ke Surabaya.

Dia bertemu dengan Tante Lien di acara reuni orang-orang Belanda yang lahir di Indonesia pada 2018. Kuncar mengenang pertemuan singkat itu penuh makna dan berkesan.

"Saat itu datang ke Surabaya untuk reuni. Saya dijadikan guide oleh komunitas mereka. Itu sekitar 4 atau 5 tahun lalu, ya sebelum pandemi COVID-19, salah satu bintang tamunya adalah Tante Lien," kata Kuncar saat itu.

Kuncar mengatakan Tante Lien lebih suka menyebut komunitas orang-orang Belanda kelahiran Indonesia itu dengan Indische. Artinya, orang belanda yang berkultur Hindia Belanda.

Tak ayal, baik Tante Lien maupun kawan-kawannya itu meski tinggal di Belanda sangat lancar berbicara Bahasa Indonesia terutama bahasa Ngoko atau bahasa sehari-hari di Surabaya.

Kuncar mengatakan Tante Lien banyak membuat lagu, salah satunya Geef Mij Maar Nasi Goreng. Melalui lagu itu Tante Lien bermaksud mencari pembenaran dari penikmatnya bahwa kuliner di Indonesia memang bikin kangen.

"Di lagu itu, kalau menurut Tante Lien, maksudnya mempertanyakan 'Anda (Indische) rindu kan ada nasi goreng, keripik petis, dan makanan lainnya?'," ujarnya.

Selain nasi goreng, kata Kuncar, ada sejumlah lagu kerinduan Tante Lien akan Surabaya. Mulai dari Ramboet Itam Matanja Galak, Op de Pasar Malam, hingga Terug naar Soerabaia.

"Ada lagi lagu berjudul Terug naar Soerabaia yang artinya kembali ke Surabaya," katanya.

Kepada Kuncar, Tante Lien mengaku bahwa lagu Terug naar Soerabaia sebenarnya ungkapan kekecewaan. Tahun 1960-an saat dia datang ke Surabaya lagi, Tante Lien melihat kondisi Kota Pahlawan berubah.

"Saat itu beliau melihat situasi di Surabaya itu tidak seperti saat dia lahir di sini. Mulai panas, pohon ditebangi, lalin macet, dan banyak kemiskinan," katanya.

Selain itu, Tante Lien juga menciptakan beberapa karya lain yang bernada mengejek pemerintah Belanda yang telah melepas Indonesia yang kaya akan segalanya begitu saja.

"Beberapa lagunya itu menurut Tante Lien dijadikan ejekan pada keputusan politik belanda yang melepas Hindia Belanda, sehingga ya dijadikan olok-olok kepada pemerintah," ujarnya.

"Ada beberapa lagu olok-olok kepada pemerintah, dia sempat bilang 'Keputusan politikmu itu salah melepas Hindia Belanda', ini di luar konteks politik ya. Karena menurut dia harus tetap menjadi bagian dari Hindia Belanda karena Hindia Belanda itu kaya," tuturnya.

Namun, apapun bentuk kekecewaannya Tante Lien itu tidak melunturkan kecintaan dan kerinduannya terhadap Kota Surabaya. Kenangan selama 14 tahun bermasyarakat dengan arek-arek Suroboyo itu begitu membekas.

"Bagaimanapun juga, dia tetap rindu Surabaya. Karena dia itu Indische, dia seniman dan juga penulis buku. Dulu, tinggalnya di Jalan Embong Macan yang sekarang jadi Taman Ade Irma Suryani Nasution. Rumahnya sekarang sudah jadi gereja," katanya.




(hil/fat)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads