Nama Chairil Anwar melekat dengan peringatan Hari Puisi Nasional. Mari mengenang puisi-puisi Chairil Anwar di Hari Puisi Nasional.
Chairil Anwar merupakan sosok di balik peringatan ini. Dedikasinya pada Sastra Indonesia membuatnya dikenang dalam peringatan Hari Puisi Nasional.
Ia adalah salah satu penyair legendaris di Indonesia. Chairil Anwar lahir pada 26 Juli 1922 di Medan, Sumatera Utara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
ChairilAnwar wafat pada 28 April 1949. Sampai saat ini, hari wafatnya Chairil Anwar diperingati sebagai Hari Puisi Nasional.
Ia merupakan penyair Angkatan 45. Semasa hidupnya, Chairil Anwar telah melahirkan 96 karya sastra, di antaranya terdapat 70 puisi.
10 Puisi Karya Chairil Anwar
Lantas, apa saja karya-karya puisi milik Chairil Anwar? Yuk, simak di bawah ini puisi-puisi karya Chairil Anwar untuk dijadikan referensi merayakan Hari Puisi Nasional 2024.
1. Aku
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
2. Selamat Tinggal
Perempuan
Aku berkaca
Bukan buat ke pesta
Ini muka penuh luka
Siapa punya?
Kudengar seru-menderu
dalam hatiku?
Apa hanya angin lalu?
Lalu lain pula
Menggelepar tengah malam buta
Ah...!!!
Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal....
Selamat tinggal...!!!
3. Pelarian
I
Tak tertahan lagi
Remang miang sengketa di sini
Dalam lari
Dihempaskannya pintu keras tak berhingga.
Hancur-luluh sepi seketika
Dan paduan dua jiwa.
II
Dari kelam ke malam
Tertawa-meringis malam menerimanya
Ini batu baru tercampung dalam gelita
"Mau apa? Rayu dan pelupa,
Aku ada! Pilih saja!
Bujuk dibeli?
Atau sungai sunyi?
Mari! Mari!
Turut saja!"
Tak kuasa ...terengkam
Ia dicengkam malam.
4. Sia-sia
Penghabisan kali itu kau datang
Membawaku karangan kembang
Mawar merah dan melati putih:
Darah dan suci
Kau tebarkan depanku
Serta pandang yang memastikan: Untukmu.
Sudah itu kita sama termangu
Saling bertanya: Apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti.
Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
5. Tak Sepadan
Aku kira,
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasvéros.
Dikutuk sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka.
Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak 'kan apa apa
Aku terpanggang tinggal rangka.
6. Nisan
Untuk nenekanda,
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta.
7. Pelarian
I
Tak tertahan lagi
Remang miang sengketa di sini
Dalam lari
Diempaskannya pintu keras tak berhingga.
Hancur-luluh sepi seketika
Dan paduan dua jiwa.
II
Dari kelam ke malam
Tertawa-meringis malam menerimanya
Ini batu baru tercampung dalam gelita
"Mau apa? Rayu dan pelupa,
Aku ada! Pilih saja!
Bujuk dibeli?
Atau sungai sunyi?
Mari! Mari!
Turut saja!"
Tak kuasa ...terengkam
Ia dicengkam malam.
8. Hukum
Saban sore ia lalu depan rumahku
Dalam baju tebal abu-abu
Seorang jerih memikul.
Banyak menangkis pukul.
Bungkuk jalannya - Lesu
Pucat mukanya - Lesu
Orang menyebut satu nama jaya
Mengingat kerjanya dan jasa
Melecut supaya terus ini padanya
Tapi mereka memaling. Ia begitu kurang tenaga
Pekik di angkasa: Perwira muda
Pagi ini menyinar lain masa
Nanti, kau dinanti-dimengerti!
9. Rumahku
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu.
10. Taman
Taman punya kita berdua
Tak lebar luas, kecil saja
Satu tak kehilangan lain dalamnya.
Bagi kau dan aku cukuplah
Taman kembangnya tak berpuluh warna
Padang rumputnya tak berbanding permadani
Halus lembut dipijak kaki.
Bagi kita bukan halangan.
Karena
Dalam taman punya berdua
Kau kembang, aku kumbang
Aku kumbang, kau kembang.
Kecil, penuh surya taman kita
Tempat merenggut dari dunia dan 'nusia.
Artikel ini ditulis oleh Allysa Salsabillah Dwi Gayatri, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom
(irb/fat)