Sejarah syiar Islam di Mojokerto punya kaitan erat dengan Masjid Darussalam. Masjid yang berada di Jalan Nasional Desa Gemekan, Sooko, Mojokerto ini dibangun Raden Ersadan atau Kromodjojo Adinegoro III tahun 1893.
Raden Ersadan sendiri ditunjuk pemerintah kolonial Belanda untuk menjadi regent (bupati era penjajahan belanda) yang pertama. Dia memerintah tahun 1866-1894.
Dibandingkan tempat ibadah lainnya, Masjid Darussalam tergolong sederhana. Namun, masjid ini menjadi saksi bisu perkembangan Islam di Mojokerto pada zaman penjajahan Belanda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Takmir Masjid Darussalam, Achmad Mudzakir (59) mengatakan, masjid ini dibangun pada tahun 1893. Itu dibuktikan dengan prasasti pembangunan yang terpasang di dalam masjid. Peletakan batu pertama dilakukan sang bupati tanggal 15 Januari di tahun yang sama.
"Masjid ini dibangun oleh bupati menggunakan uang pribadi," kata Mudzakir.
Meski berumur 130 tahun lebih, bangunan Masjid Darussalam mayoritas dipertahankan seperti aslinya. Mulai dari empat pilar utama dari pohon utuh yang menopang bangunan utama masjid dan joglo tempat azan, mimbar khotbah, tangga ke tempat azan di lantai dua hingga tempat wudu di sisi selatan masjid. Tempat wudu berbentuk segi enam dengan bak air berbentuk segi delapan.
Menurut Mudzakir, perubahan hanya menyentuh pintu, lantai, teras masjid dan ruangan jemaah putri. Awal pembangunan, pintu menggunakan kayu model persegi panjang dengan dua daun. Lima pintu itu terletak di depan tiga unit, sementara dua lainnya terletak di samping kanan dan kiri sebagai akses jemaah menuju ke tempat wudlu. Sementara teras masjid dulunya hanya selebar 2 meter, kini diperluas.
"Perbaikan dilakukan tahun 1990. Termasuk pembongkaran lantai masjid diganti dengan keramik," terangnya.
Bagian unik yang masih bertahan sampai sekarang adalah tangga masjid. Pada umumnya masjid dibangun dengan menara untuk azan di luar bangunan utama, Masjid Darussalam mempunyai tangga tepat di tengah ruangan utama. Tangga dari kayu dengan kerangka besi ini menuju ke lantai dua yang disebut joglo.
Menurut Mudzakir, joglo berukuran 2x2 meter dengan lantai kayu itu berfungsi sebagai tempat mengumandangkan azan. Namun, sejak adanya pengeras suara, bagian ini tak lagi difungsikan.
"Zaman dulu belum memakai pengeras suara sehingga kalau azan harus di joglo. Karena belum ada kebisingan kendaraan dan bangunan di sekitarnya masih minim, suara azan bisa terdengar jelas oleh warga sekitar," ungkapnya.
Selama bulan suci Ramadan, Masjid Darussalam tak pernah sepi jemaah. Setiap sore menjelang waktu berbuka puasa, takmir menggelar ceramah agama. Selain itu, aneka takjil juga tersedia. Maklum saja, masjid di jalur nasional ini ramai disinggahi pengunjung dari berbagai daerah yang ingin melepas lelah atau menunaikan salat.
"Setiap hari selalu ada takjil gratis karena warga Gemekan secara bergiliran bersedekah memberi takjil ke masjid," tutur Mudzakir.
Sayangnya, Masjid Darussalam sudah tak lagi difungsikan untuk peribadatan umat Muslim. Karena tempat ibadah dipindahkan ke masjid baru yang lebih megah persis di belakangnya. Tempat ibadah umat Muslim ini ramai disinggahi pemudik dari berbagai daerah karena lokasinya di jalan nasional.
Bangunan lawas Masjid Darussalam tersebut sudah dibongkar, nyaris rata dengan tanah. Pembongkaran dilakukan awal tahun ini. Kini yang tersisa hanya tempat wudu para jemaah.
Kini bangunan baru yang lebih megah berdiri kokoh. Kendati bangunan lawas hilang, namun jejak sejarah Masjid Darussalam sebagai tempat pengembangan syiar Islam di Mojokerto tak akan pernah pudar.
(abq/iwd)