Kesenian Bantengan merupakan sebuah tarian Jawa yang meniru hewan banteng. Kesenian ini berkembang di tiga wilayah Jawa Timur, yakni Mojokerto, Malang, dan Batu.
Seperti apa kesenian bantengan asal Jawa Timur? Berikut sejarah, perkembangan, hingga ornamen pada kesenian bantengan, seperti dilansir detikJatim melalui situs resmi Universitas STEKOM.
Baca juga: 5 Sanggar Kesenian Terkenal di Jawa Timur |
Kesenian Bantengan
1. Sejarah Bantengan
Bantengan adalah seni pertunjukan tari tradisional rakyat. Kesenian ini mulai berkembang pesat pada 1960-an. Tarian bantengan dikembangkan dari kesenian kebo-keboan asal Ponorogo. Kala itu pesilat asal Madiun datang ke Ponorogo untuk melihat pertunjukan kesenian kebo-keboan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seni kebo-keboan sendiri merupakan kesenian yang dipercaya sebagai tolak bala dan penyelamat Raja Surakarta Paku Buwono II dari berbagai serangan pemberontakan keraton.
Pesilat asal pegunungan Mojokerto, Malang, dan Batu kemudian terinspirasi membuat kesenian serupa dengan menggunakan bentuk hewan banteng. Hewan banteng dipilih karena mulai punah. Mulanya, kesenian bantengan ditujukan sebagai pengingat dan pendorong untuk masyarakat akan bela diri pencak silat.
Oleh karenanya, tanduk pada bantengan sebelum tahun 2000 masih menyerupai tanduk kerbau pada kesenian kebo-keboan. Seiring berjalannya waktu, kesenian bantengan menggunakan tanduk banteng.
Kain pada bantengan biasanya didominasi warna hitam yang bertepi merah, seperti pakaian adat Ponorogo, Penadon. Bantengan berkembang ke tiga wilayah, di antaranya Mojokerto, Malang, dan Batu. Kesenian ini juga mulai dilestarikan di Jombang.
2. Perkembangan Kesenian Bantengan
Kesenian bantengan dilakukan oleh sebagian besar penduduk di pinggiran kota di daerah lereng pegunungan. Tepatnya penduduk di sekitar wilayah Bromo-Tengger-Semeru, Arjuno-Welirang, Anjasmoro, Kawi, dan Raung-Argopuro.
Kesenian ini biasanya dimainkan dua orang. Peran dua orang tersebut terbagi menjadi kaki depan dan kaki belakang. Peran kaki depan sebagai pemegang kepala bantengan dan pengontrol tari bantengan. Sementara kaki belakang bertugas sebagai ekor bantengan. Dua orang tersebut biasanya dimainkan dua laki-laki.
Kostum yang biasanya digunakan untuk tari bantengan terbuat dari kain hitam dan topeng berbentuk kepala banteng yang terbuat dari kayu. Selain itu, kepala banteng juga dilengkapi tanduk asli kerbau atau banteng. Adapun replika tanduk terbuat dari kayu.
Tarian bantengan diiringi alunan musik khas bantengan, di antaranya gong, kendang, dan lain-lain. Bagian depan sebagai kepala akan mengalami kesurupan, sehingga orang di belakangnya juga akan mengalami hal serupa. Pasalnya, orang bagian belakang akan mengikuti setiap gerakan orang bagian depan.
Bantengan mengalami kesurupan karena dipicu irengan atau abangan. Seperti diketahui, irengan merupakan laki-laki yang mengenakan pakaian serba hitam. Sedangkan, abangan merujuk pada laki-laki yang mengenakan pakaian serba merah.
Selain itu, bantengan juga kerap kali diiringi macanan. Peran macanan untuk membantu bantengan kesurupan serta menahannya apabila kesurupan dinilai terlalu brutal. Kostum macanan terbuat dari kain berwarna kuning belang oranye. Macanan juga diperankan oleh seorang laki-laki.
3. Ornamen pada Bantengan
Terdapat tujuh ornamen yang ada pada bantengan di antaranya sebagai berikut.
- Tanduk (banteng, kerbau, sapi, dan lain-lain)
- Kepala banteng terbuat dari kayu (waru, dadap, kembang, loh, miri, nangka, dan masih banyak lagi)
- Mahkota bantengan berupa sulur wayang terbuat dari bahan kulit atau kertas
- Kelontong (alat bunyi di leher)
- Keranjang penjalin sebagai badan dengan menggunakan kain hitam untuk menutupi bagian antara kepala dan kaki belakang
- Gongseng kaki
- Keluhan (tali kendali)
4. Konflik Sosial Budaya
Pada 2015, seniman jaranan Kediri menggunakan properti bantengan secara menyimpang sehingga menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Selain mengklaim bantengan merupakan tokoh jaranan Mahesa Suro, seniman Jaranan Kediri juga menampilkan kesenian Bantengan secara tidak lazim.
Kesenian bantengan yang dibawakan tidak memakai kain penutup bantengan sehingga memunculkan perkelahian. Perkelahian disebabkan bantengan yang kerap kali dibenturkan kepada penonton.
Artikel ini ditulis oleh Nabila Meidy Sugita, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(irb/sun)