Penurunan bendera di Alun-Alun Jember memperingati HUT Kemerdekaan RI, ditutup dengan pagelaran drama kolosal. Pertunjukan itu menampilkan cerita tentang perang di kerajaan Sadeng dengan Majapahit judul Sadeng Pralaya Yudha 1331.
Drama kolosal ini menceritakan tentang eksistensi daerah yang disisipkan semangat patriotisme dan membela tanah air. Sekaligus juga pesan tersirat tentang cikal bakal dari tercetusnya Sumpah Palapa.
"Merujuk dari sejarah, untuk ide dan gagasan cerita ini, kami mengambil dari Buku Babat Bumi Sadeng dari (Penulis) Pak Zainullah, ada mas Windi dan Imam Jazuli, juga teman-teman yang membantu penelitian serta riset dari proses naskah sampai jadi bentuk pertunjukan ini," kata sutradara pertunjukan Yoga Ardanu Kifson, Jumat (18/8/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kerajaan Sadeng, kata Yoga, merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit. Drama kolosal ini menceritakan latar belakang munculnya konflik antara Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Sadeng.
"Dalam sejarah atau historisnya itu, Kerajaan Sadeng itu sudah sejahtera serta kaya dengan segala potensinya. Namun karena terbunuhnya seseorang yang dianggap memiliki kontribusi terhadap kerajaan Sadeng yakni Patih Nambi, yang dibunuh oleh Kerajaan Majapahit saat di Lumajang. Di sinilah awal adanya masalah dan Kerajaan Sadeng tidak ingin menjadi bagian dari Majapahit saat itu. Ini latar belakangnya adanya perang itu," jelasnya.
"Sebenarnya Kerajaan Majapahit itu, yang dipimpin Tri Buana Tungga Dewi ingin menjalin satu bentuk damai, tapi karena kegelisahan dengan dalih membela eksistensi itu maka terjadi peperangan ini," sambungnya.
Tetapi Yoga menegaskan bukan soal konflik yang hendak ditekankan, atau pun adanya kesalahpahaman antara dua kerajaan. Pesan yang ingin disampaikan adalah kerajaan Sadeng yang berada di kawasan Jember, memiliki sejumlah potensi.
"Drama kolosal ini menyampaikan pesan, bahwa kerajaan Sadeng yang notabene berasal dari Jember, punya potensi yang luar biasa. Mengajak penonton untuk memiliki spirit tentang semangat patriotisme dan semangat menunjukkan eksistensi kedaerahan," terang Yoga.
![]() |
Kemudian, lanjut alumni ISI Solo ini, ada alasan lain yang menjadi informasi. Yakni cikal bakal tercetusnya Sumpah Palapa.
"Yang kemudian disampaikan oleh Maha Patih Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit. Untuk menyatukan Nusantara. Setelah terjadinya peristiwa (perang) antara Kerajaan Sadeng dan Majapahit. Perang ini adalah terakhir yang terjadi di wilayah Majapahit," ulasnya.
Menurut Yoga, ada 330 pelajar yang dilibatkan. Di antaranya dari SMAN 3 Jember, SMPN 8 Jember, dan SDN Kebonsari 5 Jember.
"Kemudian melibatkan dari OPD diantaranya Dinas Pendidikan, komunitas seperti Gus dan Ning. Juga adanya Drama Kolosal ini di bawah naungan Dinas Pariwisata Jember. Persiapan total dua bulan, dengan diawali proses membuat gagasan dan menuangkan ide kreatif. Hingga akhirnya naskah jadi. Kemudian dilanjutkan 12 kali latihan," tandasnya.
Bupati Jember Hendy Siswanto mengapresiasi pertunjukan drama kolosal tersebut. Bahkan orang nomor satu di Jember ini juga mengenakan pakaian ala raja saat memimpin upacara penurunan bendera.
"Kostum ini yang saya kenakan untuk upacara penurunan bendera adalah kostum kerajaan di Jawa. Ini bajunya adat Jawa sesuai dengan tema (Kerajaan) Sadeng. Ini adalah kekuatan Jember dan kekuatan Indonesia untuk kita," kata Hendy
"Kita memberikan edukasi kepada masyarakat Jember, bahwa dulu ada Kerajaan Sadeng. Itu adalah satu kejayaan. Satu daerah yang mempunyai kerajaan. Tentunya daerah itu sendiri mempunyai suatu kekayaan, baik dari segi sumber daya manusia, maupun sumber daya alamnya," sambungnya.
Dengan ada sejarah kerajaan di Jember, lebih lanjut kata Hendy, sebagai bentuk pengingat, juga motivasi di masa mendatang.
"Ke depan bahwa anak Jember. Bahkan orang-orang Jember adalah orang-orang yang hebat. Yang bisa menjadi pemimpin dan menjadi pelopor di negeri ini," ujarnya.
(hil/fat)