Ayuhanafiq menjelaskan, kekuatan Komando Hayam Wuruk bertambah dengan datangnya Batalyon 39 Moenasir yang dipimpin Mayor Moenasir Ali.
Personel batalyon itu hanya tersisa setengahnya setelah gagal merebut wilayah Brangkal, Sooko, Mojokerto dari penguasaan Belanda. Kompi Macan Putih yang dipimpin Kapten Soemadi juga bergabung.
"Pertengahan Februari 1949, konsolidasi musuh sudah selesai. Kekuatan pasukan Belanda disiapkan secara matang berikut senjata beratnya. Pertempuran besar kembali terjadi di Dlanggu (Kabupaten Mojokerto) membuat para pejuang terjepit," jelasnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasukan Belanda, lanjut Ayuhanafiq, menggunakan strategi licik untuk melawan para pejuang. Tentara penjajah kala itu menggunakan penduduk pribumi sebagai perisai hidup.
Mereka lantas memborbardir tentara republik dengan senapan, tank tempur dan meriam. Perang dahsyat itu berlangsung dari pagi sampai malam.
Kegelapan malam menguntungkan pasukan Komando Hayam Wuruk. Namun, hanya sebagian pasukan yang lolos dari kepungan serdadu Belanda di Dlanggu. Karena sebagian besar pejuang gugur di medan laga kala itu.
Di antaranya Komandan Kompi Batalyon Mansyur Solikhi, Kapten Mat Yatim dan Kepala Staf Batalyon tersebut, Madjid Asmara. Batalyon ini kehilangan hampir separuh personelnya.
Bahkan, menurut Ayuhanafiq, Batalyon 39 Moenasir hampir musnah. Sehingga Kapten Achyat Chalimy atau Abah Yat memberikan julukan Batalyon Hilang kepada pasukan yang dipimpin Mayor Moenasir itu.
Simak Video "Video: Menonton Teatrikal 'Kereta Api Terakhir Surabaya' di Stasiun Gubeng"
[Gambas:Video 20detik]