Ada Pertempuran Dahsyat di Mojokerto pada 1949, 1.000 Prajurit Gugur

Urban Legend

Ada Pertempuran Dahsyat di Mojokerto pada 1949, 1.000 Prajurit Gugur

Enggran Eko Budianto - detikJatim
Kamis, 03 Nov 2022 20:26 WIB
Kiai Muhammad Moenasir Ali mempunyai andil besar dalam mengusir penjajah dari Ibu Pertiwi. Sejak lulus pesantren, ia mengangkat senjata hingga menjadi Komandan Batalyon (Danyon) Condromowo. Tentara berpangkat mayor ini dikenal sebagai ahli perang gerilya.
Batalyon Condromowo/Foto: Enggran Eko Budianto/detikJatim
Mojokerto -

Berbagai pertempuran dihadapi Kiai Muhammad Moenasir Ali dalam andilnya mempertahankan Kemerdekaan RI. Tak terkecuali perang dahsyat di Kabupaten Mojokerto yang membuat pasukannya di Batalyon Condromowo hampir musnah, karena bombardir serdadu kolonial Belanda.

Penulis Sejarah Mojokerto Ayuhanafiq menyebut, Bumi Majapahit sebagai garis depan perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI dari kolonial Belanda.

Sayangnya, sebuah pertempuran besar yang terjadi di wilayah ini tak banyak dikenang masyarakat. Padahal, pertempuran itu menelan kurang lebih 1.000 nyawa prajurit.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berawal dari pertempuran di Pacet, Kabupaten Mojokerto pada Januari-Februari 1949. Pertempuran itu membuat gugur sepertiga pasukan Komando Hayam Wuruk.

Komando itu ditugaskan menyerang pasukan Belanda di Surabaya dari arah selatan atau Sidoarjo. Pasukannya gabungan dari Batalyon Mansyur, Batalyon Bambang Yuwono dan Batalyon Tjipto.

ADVERTISEMENT

"Pada awal pertempuran, Komando Hayam Wuruk berhasil menguasai daerah Pacet, Mojosari, Ngoro dan Trawas. Mereka menjadikannya sebagai basis teritorial untuk masuk ke Surabaya," kata Ayuhanafiq kepada detikJatim, Kamis (3/11/2022).

Namun, pasukan Komando Hayam Wuruk kesulitan masuk ke Surabaya. Karena jembatan Tanjangrono di Ngoro, Mojokerto dan jembatan Porong di Sidoarjo dijaga ketat serdadu penjajah.

Sementara menyeberang Sungai Porong secara langsung tidak mungkin dilakukan. Sebab musim hujan, airnya sangat besar.

Ayuhanafiq menjelaskan, kekuatan Komando Hayam Wuruk bertambah dengan datangnya Batalyon 39 Moenasir yang dipimpin Mayor Moenasir Ali.

Personel batalyon itu hanya tersisa setengahnya setelah gagal merebut wilayah Brangkal, Sooko, Mojokerto dari penguasaan Belanda. Kompi Macan Putih yang dipimpin Kapten Soemadi juga bergabung.

"Pertengahan Februari 1949, konsolidasi musuh sudah selesai. Kekuatan pasukan Belanda disiapkan secara matang berikut senjata beratnya. Pertempuran besar kembali terjadi di Dlanggu (Kabupaten Mojokerto) membuat para pejuang terjepit," jelasnya.

Pasukan Belanda, lanjut Ayuhanafiq, menggunakan strategi licik untuk melawan para pejuang. Tentara penjajah kala itu menggunakan penduduk pribumi sebagai perisai hidup.

Mereka lantas memborbardir tentara republik dengan senapan, tank tempur dan meriam. Perang dahsyat itu berlangsung dari pagi sampai malam.

Kegelapan malam menguntungkan pasukan Komando Hayam Wuruk. Namun, hanya sebagian pasukan yang lolos dari kepungan serdadu Belanda di Dlanggu. Karena sebagian besar pejuang gugur di medan laga kala itu.

Di antaranya Komandan Kompi Batalyon Mansyur Solikhi, Kapten Mat Yatim dan Kepala Staf Batalyon tersebut, Madjid Asmara. Batalyon ini kehilangan hampir separuh personelnya.

Bahkan, menurut Ayuhanafiq, Batalyon 39 Moenasir hampir musnah. Sehingga Kapten Achyat Chalimy atau Abah Yat memberikan julukan Batalyon Hilang kepada pasukan yang dipimpin Mayor Moenasir itu.

Hanya sebagian kecil personelnya yang kembali ketika konsolidasi di Tebuireng, Desa Cukir, Diwek, Jombang. Abah Yat merupakan teman Moenasir ketika menimba ilmu di Ponpes Tebuireng, Jombang.

"Karena kehilangan anggota itulah, Kiai Achyat Chalimi menyebutnya Batalyon Ilang," ungkapnya.

Peristiwa Mayor Moenasir meloloskan diri dari kepungan pasukan penjajah di Dlanggu, kata Ayuhanafiq, terjadi pada 12 Februari 1949.

Ulama yang lahir di Desa Modopuro, Mojosari, Mojokerto pada 2 Maret 1919 itu merekrut para santri Ponpes Tebuireng dan pesantren di sekitarnya. Sehingga jumlah pasukannya kembali menjadi sebuah batalyon.

Konsolidasi kembali digelar Mayor Moenasir di Peterongan, Jombang pada 8 April 1949. Pada pertemuan itu, ia mengusulkan nama Batalyon 39 Moenasir diganti dengan Condromowo.

Usulannya kala itu disepakati para komandan kompi yang menjadi anak buahnya. Sehingga sejak itu, pasukan yang ia pimpin menjadi Batalyon 519 Condromowo.

"Batalyon Condromowo kemudian diberi nomor registrasi baru yaitu 519 dengan wilayah penugasan di Jombang dan sekitarnya," pungkasnya.



Simak Video "Video: Menonton Teatrikal 'Kereta Api Terakhir Surabaya' di Stasiun Gubeng"
[Gambas:Video 20detik]


Hide Ads