Rowo Bayu Banyuwangi ramai dikaitkan dengan lokasi KKN di Desa Penari. Hal ini usai Menteri BUMN Erick Tohir mengaku penasaran dan secara khusus ingin mengunjungi Rowo Bayu. Ternyata, Rowo Bayu yang berada di Desa Bayu, Kecamatan Songgon, Banyuwangi ini merupakan lokasi Perang Puputan Bayu.
Perang Puputan Bayu merupakan aksi perjuangan rakyat Blambangan melawan penjajahan Belanda pada 1771. Perang ini menjadi cikal bakal berdirinya Kabupaten Banyuwangi.
Sebanyak 60 ribu rakyat Blambangan gugur dalam perang ini. Bahkan, akibat perang ini, dari 65 ribu total penduduk Blambangan kala itu, tinggal menyisakan 5 ribu jiwa saja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Meski telah menghimpun kekuatan, namun pasukan Blambangan di bawah pimpinan Wong Agung Wilis tetap belum mampu mengungguli Belanda yang dipersenjatai alat-alat mutakhir.
"Wong Agung Wilis dan pengikutnya akhirnya tertangkap dan diasingkan ke Banda, Kepulauan Maluku, pada 1768. Sementara Pangeran Jagapati berhasil menyelamatkan diri dan menempati daerah bernama Bayu di lereng Gunung Raung," ungkap Budayawan Banyuwangi Abdullah Fauzi kepada detikJatim, Sabtu (21/5/2022).
Penyebab terjadinya Puputan Bayu ini lantaran warga Blambangan geram dan tak tahan dengan aturan penjajah Belanda yang mencekik kehidupan mereka. Belanda mempekerjakan paksa warga dan tidak menyediakan makanan bagi mereka. Kesengsaraan, kelaparan, serta serba hidup kekurangan yang kemudian memicu penyakit dan berakhir pada kematian yang sangat tinggi.
"Akibat dari itu warga Blambangan melawan. Di bawah kepemimpinan anak dari Raja Blambangan Danureja, yakni Wong Agung Wilis. Mereka menyerang VOC, namun tertangkap dan kemudian diasingkan ke Banda, Kepulauan Maluku, pada 1768," ujarnya.
Sepeninggal Wilis, kesewenang-wenangan VOC terhadap rakyat Blambangan semakin menjadi-jadi. Kondisi ini membuat banyak warga pergi dari kampungnya untuk menyelamatkan diri. Yang menjadi tempat tujuan adalah suatu daerah bernama Bayu (sekarang termasuk wilayah Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi) yang terletak di lereng Gunung Raung. Pangeran Jagapati juga datang ke tempat ini bersama para pengikutnya yang masih tersisa.
Mendengar Pangeran Jagapati berada di Bayu, semakin banyak rakyat Blambangan yang berdatangan ke tempat itu. Mereka yakin, Pangeran Jagapati mampu melanjutkan perjuangan Wong Agung Wilis untuk menghentikan kekejian Belanda.
"Yang paling menyeramkan bagi Belanda adalah sebelum perang Puputan Bayu. Masyarakat Blambangan itu keji. Mereka tak segan memenggal kepala tentara Belanda yang tertangkap kemudian diarak keliling kampung. Kepala itu kemudian diletakkan di pinggir jalan menuju Desa Bayu. Hal ini lah yang membuat mereka kemudian menyerang warga yang bersembunyi di Bayu," tambahnya.
![]() |
Di bawah komando Pangeran Jagapati, rakyat Blambangan sepakat untuk melakukan perang puputan atau pertempuran habis-habisan. Mereka memilih gugur di medan laga ketimbang harus menyerah kepada VOC.
Pada 18 Desember 1771, seperti dituliskan Lekkerkerker dalam catatannya yang menjadi rujukan utama dalam penulisan sejarah tentang Puputan Bayu, ribuan prajurit Blambangan bergerak menuju arena pertempuran. Ini merupakan puncak dari peperangan yang sudah berlangsung sejak awal Agustus 1771.
Dan terjadilah Puputan Bayu, perang besar-besaran di tanah Banyuwangi. Serangan pejuang Bayu yang mendadak, membuat pasukan VOC terdesak. Saat itulah pasukan VOC banyak yang terjebak dalam jebakan yang dinamakan sungga (parit yang di dalamnya dipenuhi sunggrak) yang telah dibuat oleh pejuang Bayu. Pasukan VOC yang terjebak dan dihujam dari atas.
"Belanda menyatakan serangan ini sebagai de dramatische vernietiging van Compagniesleger (kehancuran dramatis pasukan kompeni). Sersan Mayor van Schaar, komandan pasukan VOC, Letnan Kornet Tinne dan ratusan serdadu Eropa lainnya tewas dalam perang itu. Hanya beberapa serdadu yang tersisa. Sementara, warga Blambangan harus kehilangan pemimpinnya. Pangeran Jagapati gugur satu hari kemudian, 19 Desember 1771, karena terluka akibat perang," ujarnya.
"Akibat perang ini sekitar 60.000 rakyat Blambangan (Banyuwangi) gugur, hilang, ataupun menyingkir ke hutan untuk menyelamatkan diri dari VOC. Angka tersebut dianggap sangat besar karena jumlah penduduk Blambangan waktu itu 65.000 orang," katanya.
Sementara itu, Rowo Bayu kini dikenal sebagai lokasi yang cukup mistis.
"Sumber air dan telaga Rowo Bayu itu diibaratkan air mata orang Banyuwangi yang ditumpas oleh Belanda. Makanya lokasi ini sangat mistis," tambahnya.
Tanggal terjadinya peperangan ini, 18 Desember, pada akhirnya ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Banyuwangi karena menjadi cikal bakal terbentuknya wilayah tersebut.
"Kabupaten Banyuwangi menetapkan tanggal 18 Desember sebagai kebangkitan rakyat Blambangan menyerang VOC. Ini ditetapkan dan di sahkan DPRD Banyuwangi pula," pungkasnya.
(hil/dte)