Masjid Bungkuk disebut menjadi salah satu masjid tertua di Singosari, Kabupaten Malang. Masjid ini dibangun sejak abad ke-18. Ternyata di balik nama 'bungkuk' ada sejarah yang menyertainya.
Konon, masjid yang kini bernama At Thohiriyah itu didirikan oleh pengikut Pangeran Diponegoro. Penasihat Takmir Masjid At Thohiriyah KH. Moensif Nachrawi menceritakan, keberadaan masjid ini sudah ada sejak awal abad ke-18.
Kala itu, seorang bekas laskar Pangeran Diponegoro bernama Hamimmuddin datang ke wilayah Singosari yang masih berupa hutan belantara dan mendirikan masjid. Di sini, ia mulai menyebarkan Islam. Kebanyakan pengikutnya yakni masyarakat Hindu yang pindah ke Islam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hamimmuddin merupakan anggota Laskar Pangeran Diponegoro, ini menjadi bagian dari laskar yang semburat tercerai berai usai Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda pada tahun 1930. Beliau kemudian datang ke Singosari dan mendirikan masjid Bungkuk ini," ujar KH. Moensif Nachrawi, ditemui di kediamannya, Senin (11/4/2022).
Selama mendakwahkan agama Islam ini, KH. Hamimmuddin mengajarkan cara-cara beribadah salat, ngaji hingga bersujud. Dari cara ibadah melalui salat pada rukuk dan sujud ini lah muncul kata 'bungkuk', yang berasal dari kata kerja serapan bahasa Jawa, yang berarti posisi tubuh agak ditekukkan ke depan.
Maka ketika orang-orang yang masih beragama Hindu melihat cara peribadahan Islam yang mudah dan tidak membeda-bedakan kasta, muncul lah ketertarikan.
"Kiai Hamimmuddin mengajar, di sana ngajar ngaji, ngajar salat, di sana wong bungkuk-bungkuk. Iya nggak tahu aktivitas apa, tahunya gini wong bungkuk-bungkuk (rukuk -rukuk, rukun salat), yang rupanya sampai sekarang dilestarikan wilayah ini namanya wilayah Bungkuk," terangnya.
Istilah bungkuk pun kian populer digunakan masyarakat dan terdengar dari mulut ke mulut. Agama Islam di Singosari menyebar dengan cepat karena ketiadaan kasta layaknya di agama Hindu.
![]() |
Masyarakat Singosari saat itu menyebutnya bungkuk, agar mudah mengistilahkan ajaran agama baru yang dibawa oleh KH. Hamim.
"Merasa santri makin lama makin banyak mulailah dibangun gedung masjid yang lebih luas, Kalau awalnya berupa gubuk saja, dari bambu, dari daun-daun, kemudian sudah nggak bisa nampung lagi," cerita KH Moensif.
Pelan tapi pasti, agama Islam menyebar luas ke beberapa daerah di sekitar Singosari. KH. Moensif menyebut, faktor mudah tersebar dan diterimanya masyarakat, karena Islam tidak mengenal kasta-kasta sebagaimana di agama Hindu.
Hal ini yang memicu masyarakat utamanya golongan sudra atau rakyat bawah, tertarik belajar agama baru saat menerima informasi tersebut.
"Di luar dugaan Kiai Hamimmuddin, karena rupanya setelah itu orang berbondong-bondong, sebab musababnya agama Hindu mengenal empat kasta dari brahmana yang tertinggi sampai sudra yang terendah," ungkap tokoh ulama berusia 87 tahun ini.
Sementara itu, empat tiang penyangga masjid saat didirikan awal, masih dipertahankan hingga kini. Empat tiang itu membentuk persegi dan dilapisi kayu jati dengan ukiran ayat-ayat kursi di atasnya.
Tingginya sekitar lima meter menjulang dengan empat sisinya yang berkaitan. Masjid Bungkuk sudah melalui beberapa kali pemugaran, hingga kesan tradisional tak lagi nampak. Belum lagi bangunan masjid yang juga dipenuhi ukiran kaligrafi dan keramik indah, kian mengesampingkan kesan masjid tua.
(hil/sun)