Dalam proses membangun rumah adat dan lingkungannya Suku Using memiliki aturan-aturan serta kepercayaan tertentu. Masyarakat Suku Using percaya selain berfungsi sebagai tempat tinggal rumah mereka juga punya ikatan kuat pada makna budaya dan fungsi sosial tradisi Using.
"Misalnya kepercayaan menentukan arah rumah dari hari kelahiran atau hitungan berdasarkan weton. Ada yang masih menggunakan pertimbangan seperti itu," kata Haidi Bing Selamet tokoh muda Desa Kemiren, Senin (4/4/2022).
Tata letak rumah adat Suku Using itu pun memiliki orientasi kosmologis. Mayoritas rumah mereka cenderung ke arah utara atau selatan. Kebanyakan rumah menghindari pembangunan menghadap ke arah barat.
Alasannya, silau matahari yang masuk ke dalam rumah lebih banyak ketika rumah menghadap ke barat. Itu dianggap kurang nyaman ketika bersantai bersama keluarga di teras rumah pada sore hari.
"Ada beberapa (warga) yang masih percaya jika rumah tidak boleh menghadap langsung ke gunung," kata Ketua Adat Suku Using Suhaimi.
Sebuah jurnal penelitian menyebutkan bahwa susunan pemukiman Suku Using dipengaruhi faktor kekeluargaan. Dalam satu lokasi kebanyakan ada beberapa rumah yang memiliki hubungan saudara yang tinggal berdekatan.
Dengan demikian lahan hunian suku Using mampu berkesinambungan tiap generasi keturunannya. Pola tata ruang Umah Using secara umum dibagi menjadi tiga ruangan dalam sejajar.
Mulai dari pintu masuk depan dan membagi sisi rumah secara simetris. Tiga ruangan itu yakni bale, jrumah dan pawon.
Pada bagian bale atau ruang tamu, masih bisa dijamah tamu luar dan untuk pencahayaan cukup terang. Pada bagian jrumah atau inti rumah hanya bisa diakses oleh penghuni dan keluarga saja karena sifatnya pribadi. Pencahayaan di ruangan ini tidak seterang bale.
Sedangkan di bagian pawon atau dapur, cahaya dibiarkan masuk dari pintu belakang sehingga cukup terang. Selain untuk memasak, dapur juga berfungsi untuk mempersiapkan acara selamatan penduduk. Biasanya, Suku Using masih menyimpan padi di lumbung kayu yang merupakan bagian dari tradisi zaman dahulu.
"Mungkin zaman dahulu orang-orang menyimpan padi di lumbung depan rumah. Namun sekarang sudah tidak, semua kebutuhan pokok disimpan di dapur," ujar Suhaimi.
Sementara di bagian luar rumah terdiri atas, halaman depan, amper, ampok dan halaman samping. Amper atau ampiran berfungsi untuk menerima tamu atau biasa disebut teras rumah.
Ampok adalah ruang tambahan yang ada di samping serambi rumah yang mempunyai fungsi sebagai ruang transisi dari luar dan dalam rumah.
Untuk atap rumah, ada tiga jenis atap yang membedakan pada rumah adat suku Using Banyuwangi ini. Di zaman dahulu, tiga jenis atap ini melambangkan suatu kasta yang membedakan tingkat ekonomi suku Using.
Dalam arsitektur tradisional, tercermin kepribadian suku asli yang berarti arsitektur tradisonal tersebut tergabung dalam wujud ideal, sosial, material, dan kebudayaan. Contohnya rumah adat suku Using di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi.
Meskipun mayoritas rumah-rumah di Banyuwangi sudah mengadopsi model dan arsitek modern, namun di Desa Kemiren ini masih mempertahankan bentuk aslinya. Bahkan, rumah adat ini diakui oleh Pemerintah sebagai warisan Cagar Budaya.
"Rumah adat suku Using ini adalah salah satu karya arsitektur warisan leluhur cerminan kebudayaan dan sejarah penduduk asli Bumi Blambangan," kata Haidi.
Untuk melestarikan rumah adat ini, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi telah menerbitkan Peraturan Bupati Nomor 11 Tahun 2019 Bagian 2 Pasal 6 (1) yang mengatur tentang Struktur bangunan pada bangunan berarsitektur Using.
Sebagian besar konsep dasar bangunan rumah adat suku Using ini bersumber dari alam yang mengadopsi nilai-nilai luhur sejarah masyarakat asli Kerajaan Blambangan di zaman dahulu.
"Memang sebagian rumah sudah beradaptasi dengan arsitek moderen, seperti lantai yang sudah keramik. Namun, untuk struktur bangunan utama harus sesuai dengan adat dan budaya Using," jelasnya.
Haidi menyebut, rumah adat suku Using ini tidak boleh lepas dari beberapa struktur bangunannya. Pertama, adalah Soko. Yakni 4 tiang besar yang menjadi pilar penyangga utama rumah.
Kedua adalah Songgo Tepas. Ini adalah tiang berukuran lebih kecil dari Soko yang berfungsi sebagai penyangga dua atap yang berada di samping.
"Kemudian ada namanya Ander. Ini adalah kayu besar yang dipasang di tengah dan tegak lurus dengan Lambang (bagian kayu yang terletak di ujung)," katanya.
Selanjutnya ada Penglari yang merupakan bagian terpanjang dari disekitar atap yang terletak di atas Jait Dhowo (kayu yang berada di bawah Penglari). Letaknya yang menjorok keluar bidang atap sehingga dapat dilihat dari luar rumah. Lebar permukaan, Jait dhowo tidak lebih besar dari Penglari.
"Ada Jait Cendhek. Ini bagian kayu yang berada di bawah Lambang. Kemudian Ubeg Ubeg, ini adalah bagian kayu yang berada di bawah di bawah Soko. Berfungsi sebagai pondasi setempat," jelasnya.
Untuk menghubungkan semua struktur utama tersebut, Haidi Bing Selamet menyebut bahwa tidak boleh menggunakan paku. Namun menggunakan sistem tanding dengan menggunakan sebuah pasak pipih yang tancapkan di beberapa sendi pertemuan.
"Tidak memakai paku. Semuanya kayu dengan teknik arsitek khusus. Pemasangan usuk pada Penglari juga menggunakan sistem kait tanpa paku. Soko yang ditempatkan diatas Ubeg dan dialasi dengan batu Sopak bertujuan agar kayu tidak langsung bersentuhan dengan tanah," ungkap Haidi.
Selanjutnya untuk struktur atap, masih menggunakan genting yang ditata seperti pada umumnya. Genting yang digunakan adalah jenis genting Plembang. Genting ini berukuran lebih lebar dari genteng pada umumnya.
"Di atap itu ada Suwungan. Yaitu kayu yang dipasang secara diagonal untuk menopang genteng. Ada lagi namanya Ampik - ampik, dia adalah bidang segitiga yang berada di bawah dur tujah," cetusnya.
Haidi Bing Selamet pun juga menjabarkan tentang material yang digunakan untuk membangun rumah adat suku Using Banyuwangi ini. Menurutnya, material yang digunakan adalah sumber yang bisa diperoleh dari alam Banyuwangi sendiri.
Rata-rata, kayu yang digunakan adalah kayu dari pohon Bendo, Cempaka, Tanjang, Potat dan kayu Mangir. Jenis-jenis kayu tersebut diketahui memiliki tekstur ringan dan kuat untuk digunakan dalam kurun waktu puluhan tahun. Sedangkan untuk atap, biasanya menggunakan Usuk dan Dur dari jenis Kayu Kembang, Pecari atau Manting.
Haidi Bing Selamet menyebut, rumah ini tidak menggunakan bata atau batako sebagai tembok rumah. Tetapi menggunakan anyaman bambu yang biasa disebut Gedheg. Untuk mendapatkan hasil yang bagus dan tahan lama, 'gedheg' dianyam dengan hanya mengambil kulit luar bambu.
Ada pula rumah yang sepenuhnya menggunakan dinding dari Gebyok atau papan kayu.
"Gedheg kan ada dua, pakai bagian dalam atau diambil kulitnya. Yang bagus dan elegan pakai yang kulit luar. Dipoles lagi menjadikan itu lebih tahan lama. Sedangkan lantai, kalau aslinya ya dari tanah atau bata merah yang disusun tidur tanpa semen," pungkasnya.
Simak Video "Menikmati Kuliner Shabu-shabu dan Barbeque di Taman Suruh, Banyuwangi"
(dpe/dte)