Wacana pembatasan game online PUBG mencuat usai insiden ledakan di SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara, Jumat (7/10). Hal itu menuai respons berbagai pihak, termasuk dari kacamata pendidikan dan perkembangan anak.
Pakar Pendidikan dan Anak Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMS) Holy Ichda Wahyuni menilai pengaruh game semacam PUBG terhadap perilaku dan psikologis anak memang bisa sangat kuat, terutama bila intensitas bermain tinggi.
"Dalam teori Social Learning Albert Bandura, anak belajar melalui observasi dan peniruan. Ketika mereka melihat aksi kekerasan dalam game mendapat 'reward' seperti poin atau kemenangan, maka dikhawatirkan anak bisa meniru perilaku tersebut dan menginternalisasikannya sebagai perilaku yang dinormalisasi," ujar Holy saat dihubungi detikJatim, Selasa (11/11/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Holy mengungkapkan, dari sisi pendidikan, anak-anak berada pada fase perkembangan yang sangat peka terhadap model perilaku di sekitarnya. Paparan game kekerasan tanpa pendampingan bisa menurunkan empati dan meningkatkan toleransi terhadap kekerasan.
"Paparan jangka panjang tanpa bimbingan dapat menyebabkan desensitisasi emosional, yaitu berkurangnya empati dan meningkatnya toleransi terhadap kekerasan," ungkapnya.
Menurut Holy, peran lembaga pendidikan juga tidak bisa dilepaskan dari isu ini. Sekolah, sebagai ruang tumbuh anak, perlu menjadi tempat belajar literasi digital dan literasi emosional. Ia menilai, program semacam itu harus dilakukan secara substantif.
"Melalui literasi digital, sekolah dapat mengajarkan siswa berpikir kritis terhadap konten online, memahami etika bermedia, dan mengenali konsekuensi sosial dari perilaku digital," jelas Holy.
Ia juga menyoroti bahwa dunia pendidikan memiliki tanggung jawab membentuk karakter anak agar mampu membedakan realitas dengan fantasi. Dalam konteks ini, pengawasan dan dialog jauh lebih penting daripada pelarangan.
"Pembatasan bisa jadi langkah sementara, tapi bukan jangka panjang. Yang perlu dibangun adalah dialog kritis tentang nilai moral, empati, dan konsekuensi tindakan dalam dunia maya," tuturnya.
Selain sekolah, keluarga juga menjadi garda terdepan dalam pendidikan anak. Holy menyebut orang tua perlu hadir sebagai pendamping aktif, bukan sekadar pengawas waktu bermain.
"Orang tua tidak hanya perlu mengontrol durasi, tetapi juga memahami isi game, nilai yang disampaikan, serta memfasilitasi dialog setelah bermain. Saya menyebutnya parents collaborative dengan pengasuhan empatik," katanya.
Holy mengingatkan, game online yang dimainkan berlebihan juga dapat mengganggu fungsi atensi dan konsentrasi siswa. Akibatnya, prestasi akademik bisa menurun karena anak terbiasa dengan rangsangan cepat dan instan.
"Siswa yang terlalu lama bermain game akan kesulitan mempertahankan fokus dalam pembelajaran yang menuntut konsentrasi tinggi," kata Holy.
Namun, ia juga menegaskan bahwa game tak selalu berdampak negatif. Jika digunakan secara bijak dan didampingi, game bisa melatih kemampuan memecahkan masalah, kerja tim, serta koordinasi mata dan tangan anak.
Holy pun menilai, solusi terbaik untuk menciptakan budaya digital yang sehat bagi anak adalah sinergi antara sekolah, orang tua, dan pemerintah.
"Sekolah berperan sebagai pusat edukasi dan literasi digital, orang tua sebagai pengawas moral, dan pemerintah menyediakan regulasi untuk menciptakan ekosistem digital yang aman bagi anak," jelasnya.
Ia mengutip teori ekologi perkembangan Bronfenbrenner yang menyebut anak tumbuh dalam berbagai sistem sosial yang saling berinteraksi. Menurutnya, kebijakan pendidikan dan pengasuhan harus berjalan bersama agar anak dapat berkembang seimbang di era digital.
"Misalnya, kurikulum sekolah dapat mulai dipertimbangkan untuk mengintegrasikan pendidikan karakter digital, pelatihan parenting digital bagi orang tua sehingga melahirkan edukasi yang berbasis parents collaborative, serta tidak kalah penting adalah pengawasan konten dan rating usia oleh pemerintah," pungkasnya.
Sebelumnya, dilansir detikNews, pemerintah tengah mempertimbangkan pembatasan game online setelah terjadinya ledakan di SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara pada Jumat (7/10). Hal itu disebut berkaitan dengan penggunaan senjata dalam game online seperti PUBG.
"Beliau (Presiden Prabowo) tadi menyampaikan bahwa, kita juga masih harus berpikir untuk membatasi dan mencoba bagaimana mencari jalan keluar terhadap pengaruh pengaruh dari game online," jelas Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi setelah rapat terbatas dengan Presiden Prabowo di Kertanegara, Jakarta Selatan pada Minggu (9/11/2025).
(auh/abq)












































