Akademisi IT Soroti Kesepakatan Transfer Data WNI ke AS

Akademisi IT Soroti Kesepakatan Transfer Data WNI ke AS

Esti Widiyana - detikJatim
Rabu, 30 Jul 2025 08:30 WIB
Ketua PKKMB 2025 Untag Surabaya, Supangat
Dosen Sistem dan Teknologi Informasi FT Untag Surabaya Supangat PhD ITIL COBIT CLA CISA. (Foto: Istimewa)
Surabaya -

Kerja sama dagang Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) yang disebut memuat kesepakatan transfer data pribadi WNI ke AS. Meski Mensesneg Prasetyo Hadi sudah membantah tidak ada penyerahan data pribadi WNI ke AS, hal ini tetap menjadi sorotan akademisi.

Dosen Sistem dan Teknologi Informasi FT Untag Surabaya Supangat PhD ITIL COBIT CLA CISA mengatakan kesepakatan itu menyita perhatian para pemerhati keamanan digital. Apalagi komitmen Indonesia memberikan kepastian hukum atas transfer data pribadi WNI ke AS.

"Kesepakatan ini menjadi bagian dari negosiasi dagang bilateral yang disebut-sebut menguntungkan kedua pihak. Namun, rincian mekanisme dan jaminan perlindungan data hingga kini belum sepenuhnya dibuka ke publik. Yang mengemuka justru kekhawatiran mengenai arah tata kelola data nasional dan posisi Indonesia dalam menjaga kedaulatan privasi warganya di tengah tekanan global," kata Supangat kepada detikJatim, Rabu (30/7/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, data pribadi adalah bagian dari wilayah kedaulatan yang tidak dapat dipindahtangankan atas nama efisiensi atau keuntungan ekonomi. Di era digital, data merepresentasikan identitas, perilaku, bahkan hak dasar warga negara. Maka pengelolaan harus berpijak pada prinsip kedaulatan mutlak.

Lalu soal sistem informasi dan teknis pengamanan, baginya hal ini juga menyangkut kepentingan strategis negara dalam menghadapi dominasi korporasi digital global yang semakin luas pada ruang gerak di wilayah siber.

ADVERTISEMENT

"Sayangnya, komitmen yang diberikan Indonesia dalam perjanjian ini justru memperlihatkan lemahnya posisi kita dalam negosiasi digital. Sikap yang seharusnya dibangun di atas prinsip kehati-hatian kini rentan tergelincir menjadi kompromi kebijakan," ujarnya.

Perlindungan Hak Privasi

Supangat mengatakan, inti dari perlindungan data pribadi bukan sekadar soal kepatuhan terhadap regulasi, tetapi menyangkut hak individu atas ruang privatnya. Informasi seperti nama, lokasi, preferensi digital, hingga kebiasaan daring tidak boleh dimanfaatkan tanpa kendali dan persetujuan yang sah.

"Indonesia memang telah memiliki UU Perlindungan Data Pribadi beserta aturan pelaksananya. Namun perlindungan itu menjadi rapuh jika negara tujuan transfer data, seperti Amerika Serikat, tidak memiliki standar yang setara. Ketiadaan kerangka perlindungan yang utuh di negara penerima data membuka celah eksploitasi atas informasi warga oleh entitas asing, apalagi jika kontrol negara asal tidak memadai dan belum memiliki otoritas yang bekerja secara fungsional," jelasnya.

Ia menilai, transfer data pribadi ke luar negeri berpotensi pada nilai tambah ekonomi, dan data menjadi bahan mentah utama dalam ekonomi digital. Ketika data warga Indonesia dikelola oleh perusahaan asing, maka nilai strategis dan komersial dari pemrosesan data tak lagi kembali ke Indonesia.

"Jika proses pengolahan data dikendalikan oleh pihak luar, maka tidak hanya arus data yang berpindah, tetapi juga potensi ekonomi digital yang seharusnya bisa dikelola dan dikembangkan di dalam negeri. Jika tidak ada pengendalian menyeluruh terhadap proses dan pemanfaatannya, Indonesia hanya akan menjadi pemasok bahan mentah digital, bukan pemilik manfaatnya," urainya.

Selain itu, negara memiliki tanggung jawab utama untuk memastikan setiap perjanjian internasional tidak melunturkan prinsip kedaulatan digital. Pemerintah perlu membuka secara transparan konsekuensi kesepakatan ini, terutama yang berkaitan dengan aliran data pribadi ke luar negeri.

Ia menegaskan, pada otoritas perlindungan data sebagaimana dijanjikan dalam UU PDP perlu segera dibentuk sebagai lembaga independen. Tanpa lembaga ini, maka tidak akan ada pengawasan yang memadai atas arus data lintas negara, apalagi dalam skema dagang yang penuh kepentingan.

Supangat menekankan, kedaulatan data ialah bagian dari kemerdekaan digital. Negara tidak boleh menyerahkan kontrol atas data warganya hanya demi akses dagang atau insentif sesaat.

"Posisi Indonesia harus ditegakkan melalui sistem regulasi yang kuat, tata kelola transparan, serta keberanian untuk berdiri sejajar dalam kerja sama internasional. Arsitektur regulasi bukan sekadar dokumen hukum, melainkan fondasi strategis yang akan menentukan apakah kita akan menjadi bangsa yang berdaulat secara digital, atau hanya pasar dari kekuatan asing yang menguasai informasi rakyat kita," pungkasnya.




(dpe/abq)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads