Sebelumnya, Kejaksaan Agung memberikan status tersangka kepada enam mantan General Manager Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia (UB-PPLM) PT Antam (Persero) Tbk atas dugaan korupsi. Mereka diduga terlibat dalam pemalsuan emas Antam sebanyak 109 ton selama periode 2010 sampai 2021.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi penjual emas. Mereka khawatir, merebaknya isu emas Antam palsu membuat pasar menjadi lesu.
"Hal ini mungkin bisa berdampak pada penjualan ya nantinya mas, karena kan sebenarnya emas merupakan investasi yang bagus untuk saat ini," ucap seorang kepala salah satu toko perhiasan di DTC Wonokromo Surabaya, Intan Safira saat diwawancara detikJatim, Jumat (31/5/2024).
Perempuan yang telah bekerja bertahun-tahun di toko emas ini menyoroti urgensi perlunya tindakan pencegahan lebih lanjut.
"Mungkin selanjutnya itu bagi penjual emas atau pabrik emas itu lebih diperhatikan lagi untuk kualitas emasnya itu," lanjutnya.
Sejauh ini, kasus pemalsuan emas Antam tersebut juga belum berdampak signifkan terhadap toko perhiasan. Perempuan berusia 24 tahun itu mengungkapkan peminat logam mulai hingga saat ini juga masih meningkat.
Menurutnya, sebelum produk diserahkan kepada konsumen, telah ada langkah-langkah pencegahan yang dilakukan di tokonya.
"Kalau di Antam itu kan ada barcode untuk mengetahui asli atau nggak, nah di situ juga kita bisa lihat," jelas penjual emas tersebut.
Jika ada masyarakat yang ingin menjual emas, toko juga akan melakukan pengecekan menggunakan larutan kimia. Selain itu, kandungan emas juga dapat dilacak melalui timbangan air yang sudah tersedia.
Sementara saat ditemukan emas palsu, pihak toko juga akan segera melaporkannya agar segera ditangani.
"Misalnya terbukti dia bukan emas asli, kita tahan itu surat sama barangnya, kita foto, kita laporkan kepada pusat dan ditindaklanjuti," tuturnya.
"Ya semoga tidak berdampak bagi harga emas aja sih, tidak ada dampak negatif lah intinya," tutupnya.
Artikel ini ditulis oleh Albert Benjamin Febrian Purba, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(hil/iwd)