Dekorasi Natal memang terpajang rapi di Korea Utara. Namun bukan untuk dirayakan. Natal tidak dianggap sebagai hari raya, dan warganya bisa dipenjara bahkan dihukum mati jika ketahuan menjalankan praktik keagamaan Kristen.
Di balik larangan keras itu, ada alasan ideologis yang mengakar. Pemerintah Korea Utara membentuk sistem kepercayaan yang menempatkan negara dan pemimpin sebagai pusat kehidupan, sehingga agama dianggap sebagai ancaman.
Ideologi Korea Utara
Bukan komunisme murni, Korea Utara menganut ideologi Juche. Ideologi ini adalah perkembangan dari komunisme yang dipadukan dengan nilai tradisional Korea. Diperkenalkan Kim Il Sung, Juche menekankan kemandirian total serta ketergantungan penuh pada pemimpin negara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dihimpun dari beberapa sumber, Juche tidak hanya mengatur politik, tetapi juga membentuk cara hidup warga negaranya. Pemimpin diposisikan sebagai sosok yang hampir "setara dewa", sehingga warga wajib memuja dan menempatkannya sebagai pusat kehidupan.
Foto pemimpin wajib dipasang di setiap rumah dan bangunan, harus dirawat bersih, dan tidak boleh dibiarkan rusak. Bahkan, warga yang memiliki nama sama dengan pemimpin diwajibkan mengganti namanya.
Akibatnya, ideologi ini perlahan menciptakan masyarakat yang tidak mengenal agama. Keyakinan tradisional dan agama dianggap sebagai ancaman terhadap kesetiaan pada pemimpin.
Pemerintah menyingkirkan ajaran agama di ruang publik, menindak pemeluknya, dan menggantikan sistem kepercayaan dengan kultus pribadi keluarga Kim. Dengan cara ini Juche membentuk warga negara yang tidak beragama, karena satu-satunya "keyakinan" yang diizinkan adalah loyalitas mutlak kepada pemimpin dan negara.
Agama Kristen Pernah Berkembang di Korea Utara
Kekristenan sudah masuk ke Korea sejak abad ke-16 lewat pengaruh misionaris Katolik dan semakin berkembang pada abad ke-17 hingga 19. Pada masa Dinasti Joseon, ajaran Kristen mulai dikenal luas setelah diplomat Yi Gwang-jeong membawa buku-buku karya misionaris Matteo Ricci dari Tiongkok.
Perkembangan pesat terjadi pada akhir 1800-an saat para misionaris Katolik dan Protestan mulai menetap di wilayah Korea. Sebelum Perang Korea, Pyongyang bahkan dijuluki "Yerusalem Timur" karena jumlah umat Kristen yang besar.
Diperkirakan terdapat sekitar 3.000 gereja, dan seperenam penduduk Pyongyang beragama Kristen. Ironisnya, pendiri Korea Utara, Kim Il Sung, juga lahir dari keluarga Kristen yang taat dan pernah menjadi guru sekolah Minggu.
Namun, semuanya berubah ketika rezim komunis mulai berkuasa pada 1945. Gereja-gereja ditutup, umat Kristen dianggap sebagai ancaman, dan jutaan orang melarikan diri ke Korea Selatan.
Pemerintah membentuk "Liga Kristen" untuk mengendalikan semua gereja yang tersisa. Yang tidak tunduk, ditangkap atau menghilang. Laporan AS menyebut ribuan gereja dihancurkan pada masa-masa awal pemerintahan komunis.
Hukuman Bagi yang Beragama dan Merayakan Hari Raya
Dalam buku "Escaping North Korea: Defiance and Hope in the World's Most Repressive Country", Mike Kim menulis bahwa ada seseorang yang ditangkap bersama keluarga termasuk anak-anaknya hanya karena membawa Alkitab.
Memiliki Alkitab di Korea Utara bisa berujung pada hukuman penjara di kamp kerja paksa yang terkenal brutal. Cerita lain dalam buku tersebut adalah pernah ada seseorang yang ditempatkan di sebuah kamp bersama sekitar 160 orang Kristen lain yang ditangkap karena iman mereka.
Pendeta kelompok itu bahkan dieksekusi di depan para tahanan, dengan papan bertuliskan, "Orang ini percaya kepada Yesus. Inilah yang akan terjadi pada siapa pun yang melakukan hal yang sama".
Masih Tersisa Gereja di Korea Utara
Meski Korea Utara melarang warganya memeluk agama, masih terdapat sejumlah fasilitas keagamaan termasuk gereja yang terdaftar secara resmi di sana. Data Pusat Database Hak Asasi Manusia Korea Utara (NKDB) mencatat ada 121 tempat ibadah, terdiri atas 64 kuil Buddha, 52 kuil Cheondoist, dan lima gereja Kristen.
Namun, fasilitas tersebut tidak benar-benar berfungsi sebagai tempat ibadah. Semuanya berada di bawah kendali negara dan lebih sering digunakan untuk kepentingan wisata maupun propaganda.
Singkatnya, fasilitas ibadah itu untuk menunjukkan kepada pengunjung asing bahwa Korea Utara "bebas beragama", meski kenyataannya praktik keagamaan warga justru sangat dibatasi.
(hil/irb)











































