Malam Jumat, langit gerimis tipis menaungi sebuah fasilitas kesehatan di Pacitan di mana ruangan rawat inap sedang lumayan padat oleh pasien. Bukan cuma pasien yang menjalani perawatan, keluarga pasien yang menunggu di selasar pun cukup banyak.
Tiap setengah jam petugas medis datang untuk memantau dan mencatat perkembangan medis pasien. Terdengar perbincangan ringan antara dokter dan keluarga pasien. Obrolan berakhir seiring bunyi langkah kaki meninggalkan ruangan.
Jelang jam 9 malam semua mendadak berubah. Riuh rendah di kompleks fasilitas kesehatan itu berubah senyap. Semua orang memilih diam. Sementara dari salah satu sudut kawasan terdengar suara aneh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak satupun berani bersuara lantang. Kasak-kusuk antar pengunjung cuma diungkapkan dengan cara berbisik. Antara penasaran dan takut, yang pasti suara yang malam itu mereka dengar bukan lolong anjing atau burung hantu. Bunyi-bunyian yang akrab di telinga saban waktu larut.
Waktu terasa begitu lambat. Dua setengah jam berjalan dengan malaise dan aura horor. Sementara suara misterius itu terus menggila. Rentangnya makin dekat. Tiap 15 menit terdengar, berikutnya 10 menit, dan kini hampir setiap 5 menit ia bersuara. Makin panjang dan lantang.
Kepala Puskesmas dr Rini Endrawati sejak awal mendengar suara misterius itu sejak awal. Hanya saja ia sengaja mengabaikan dan memilih fokus mengurus pasien. Terlebih, bagi petugas yang kerap piket hingga dini hari, suara binatang malam seakan jadi teman.
"Ya kalau suara lolongan anjing atau burung hantu sih sudah biasa banget. Tapi ini beda gitu lho. Pikir saya, masak malam-malam ada burung gagak," gumamnya penasaran.
Dokter asli Karanganyar, Jawa Tengah yang sudah belasan tahun berdinas di 'Kota 1001 Gua' itu juga merasa merinding. Tapi rasa itu buru-buru ditepis. Dia memilih berpikir dengan nalar jernih. Apalagi suasana ruang rawat inap kian tak kondusif gara-gara suara aneh itu.
Dengan sedikit nyali, Rini diam-diam keluar ruangan tanpa bersepatu. Kedua kakinya hanya dilapisi sandal jepit. Sementara tangan kanannya memegang lampu senter dan langkahnya pelan. Dia tak ingin membuat gaduh hingga mengganggu para penghuni ruangan.
"Saya jalan sambil tahan nafas. Kalaupun ada makhluk gaib biar nggak kabur," ucapnya sembari mengenang saat-saat menegangkan itu.
Rini berjalan mengendap-endap. Dia ingin memastikan dari titik mana suara tersebut berasal. Arahnya pun tertuju pada sebatang pohon mangga yang berada di belakang ruang rawat inap. Sempat terbersit rasa penasaran, "Jangan-jangan itu suara gaib penunggu pohon." Bulu kuduknya berdiri. Keringat dingin membasahi dahi.
Cahaya senter dia arahkan ke sekujur bagian pohon mangga. Mulai daun, ranting, juga seluruh batang. Anehnya, tak ada penampakan makhluk apapun. Sedetik kemudian, "kooooooookkkkk," suara itu terdengar dari bawah pohon.
Dr Rini nyaris melompat karena kaget. Tapi begitu melihat dengan jelas objek di depannya dia justru tertawa lepas. Petugas piket dan keluarga pasien pun berlarian menghampiri. Semuanya kompak terpingkal-pingkal di tengah kesunyian malam.
"Lha ternyata suara itu berasal dari beberapa ekor ayam di masukkan ke dalam keranjang kecil dan sengaja ditaruh situ," ujar Rini mengenang momen lucu itu.
Loh, kok bisa ada ayam di situ? Usut punya usut, makhluk bercakar itu baru saja dibeli oleh kerabat pasien. Ayam-ayam berukuran sedang itu akan disembelih keesokan harinya untuk dibuat soto dan dijual.
"Nah, karena si pemilik mampir ke Puskesmas untuk membesuk saudaranya yang sedang dirawat, maka ayamnya sementara ditaruh di situ," ujar Rini yang mengaku kena prank si hantu bercakar.
(auh/dpe)











































