Pakar drone dan Penasihat Federasi Drone Indonesia (FDI) Arya Dega menilai hadirnya Undang-undang Pengelolaan Ruang Udara sebagai momentum penting untuk memperkuat tata kelola drone di Indonesia. Undang-undang itu disebut menjadi payung besar yang selama ini ditunggu para pelaku industri dan komunitas.
"Selama bertahun-tahun, pengaturan drone lebih banyak di level peraturan menteri. UU baru ini akhirnya menempatkan drone secara jelas dalam kerangka pengelolaan ruang udara nasional," kata Arya kepada detikJatim, Senin (8/12/2025).
Menurut Arya, keberadaan UU tersebut memberikan landasan hukum lebih kuat bagi negara untuk mengatur penggunaan drone, menindak pelanggaran ruang udara, serta menyelaraskan aturan nasional dengan standar internasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski menyambut baik hadirnya undang-undang tersebut, Arya menekankan tiga hal yang perlu diperhatikan dalam penerapannya.
Pertama, harus ada kepastian hukum yang tegas, termasuk penindakan yang dipublikasikan agar masyarakat memahami konsekuensinya.
Kedua, jangan sampai pelaku usaha besar mudah mendapat izin sementara UMKM dan hobi justru dipersulit.
"Ketiga, komunitas perlu dilibatkan dalam penyusunan aturan turunan karena merekalah yang memahami kondisi operasional di lapangan," ujarnya.
Ia mengakui perkembangan teknologi drone saat ini bergerak jauh lebih cepat dibanding regulasinya.
Aturan yang membatasi penerbangan hingga 400 feet atau 120 meter dinilai sudah tidak relevan bagi teknologi yang kini mendukung operasi jarak jauh seperti BVLOS, drone logistik, dan air taxi.
"Kalau regulasinya hanya berbasis ketinggian, kita bisa tertinggal. Negara lain sudah mulai memakai pendekatan risk-based dan operation-based," jelasnya.
Arya juga mengingatkan bahwa risiko penerbangan drone terhadap keselamatan udara bersifat nyata. Ia menyebut tiga area kerawanan utama, yakni jalur pendekatan dan lepas landas bandara, zona terlarang atau objek vital, serta operator tidak tersertifikasi.
Menurut Arya, UU Pengelolaan Ruang Udara dapat memperkuat dasar hukum bagi penegakan aturan terhadap pelanggaran ruang udara, termasuk operasi drone yang membahayakan penerbangan komersial.
Agar regulasi tetap mendukung inovasi, Arya mengusulkan beberapa langkah implementasi, di antaranya, perizinan berjenjang dan digital.
Mulai dari registrasi sederhana untuk hobi, sertifikasi pilot dan SOP untuk kegiatan komersial, hingga mekanisme perizinan ketat untuk operasi risiko tinggi seperti BVLOS.
Kedua, peta zona terbang transparan, pihaknya menilai perlu ada aplikasi resmi yang menampilkan no-fly zone dan koridor drone, seperti B4UFly di AS.
Arya juga mendorong pemerintah menyediakan area uji coba resmi untuk pengembangan teknologi, agar industri, kampus, dan komunitas bisa berinovasi di bawah pengawasan regulator.
Arya berharap, implementasi UU ini berjalan konsisten dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
"Kalau semua berjalan baik, kita bisa punya ekosistem drone yang sehat. Langit tertib, operasi aman, industri tumbuh, dan masyarakat mendapatkan manfaat dari berbagai layanan publik," pungkasnya.
(auh/hil)











































