Di tengah pesatnya digitalisasi politik, Anggota DPD RI asal Jawa Timur, Lia Istifhama, menyoroti pentingnya merancang demokrasi digital yang tidak sekadar mengikuti tren teknologi. Namun tetap tegak pada nilai-nilai demokrasi substantif.
Hal itu ia sampaikan sebagai respons atas meningkatnya partisipasi publik melalui berbagai platform digital seperti e-consultation, e-referendum, hingga e-hearing.
"Keterbukaan akses informasi penting, tetapi integritas proses jauh lebih penting," ujar Ning Lia, sapaan akrabnya, Sabtu (6/12/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Senator yang belum lama ini menerima DetikJatim Award 2025 itu menilai bahwa tantangan terbesar bukan soal kesiapan teknologi, melainkan soal high trust atau kepercayaan publik.
Ia mengutip pandangan Prof. Suko mengenai bagaimana Nepal menilai integritas seseorang bahkan melalui sosok seorang nenek 72 tahun, sebuah metafora bahwa teknologi tidak pernah bisa menggantikan fondasi integritas.
"Di era digital, preferensi publik bergerak cepat. Aspirasi berubah dalam hitungan jam. Tetapi kualitas keputusan politik tidak boleh ikut terburu-buru, maka demokrasi digital harus dirancang dengan kehati-hatian," ungkap Lia.
Menurutnya, partisipasi digital membuka banyak peluang. Mulai dari memperluas ruang konsultasi publik, memfasilitasi generasi muda yang tumbuh dalam budaya digital, hingga memperkuat representasi lembaga negara secara transparan.
Di sisi lain, ruang digital yang terlalu terbuka juga menyimpan risiko, mulai dari disrupsi demokrasi, manipulasi opini, misinformasi, tekanan populisme digital, hingga pergeseran demokrasi dari ruang deliberatif menjadi sekadar ajang viralitas.
"Digital participation harus menjadi alat memperkuat deliberasi, bukan sekadar kuantitas suara atau tren sesaat. Indonesia harus memastikan ruang digital tidak menggerus kualitas keputusan publik," bebernya.
Lia menjelaskan bahwa demokrasi digital idealnya bertumpu pada tiga pendekatan antara lain integritas sistem, literasi digital politik, dan high trust governance.
Ia menambahkan pentingnya keamanan data, identitas digital yang terverifikasi, pemahaman politik bagi generasi digital, serta konsistensi tindakan pemerintah dalam membangun kepercayaan publik.
"Kepercayaan tidak lahir dari teknologi, tetapi dari konsistensi tindakan," tambahnya.
Dirinya pun menegaskan bahwa Indonesia tidak boleh hanya mengejar demokrasi yang riuh, tetapi harus membangun demokrasi yang berintegritas dan berpihak pada kepentingan jangka panjang masyarakat.
"Demokrasi digital adalah masa depan selama ia dikawal oleh kebijaksanaan, bukan sekadar kecepatan," pungkasnya.
(ihc/ihc)











































