Anak-anak Karmin alias Pak Soleh (71) dan Simpen (56) ingin mereka meninggalkan kehidupan di dasar Jurang Gembolo, Mojokerto. Sejumlah upaya mereka lakukan, mulai dari merayu sampai membuatkan usaha untuk orang tua mereka.
Anak Sulung Karmin, M Soleh (48) menuturkan, sejak saudaranya berusaha mencegah orang tuanya hidup di pedalaman hutan yang terpencil. Namun, keputusan Karmin dan Simpen sudah bulat. Sejak 2003 silam, pasutri ini hijrah ke dasar Jurang Gembolo.
Tak sampai di situ, Soleh mengaku berulang kali merayu orang tuanya agar mau keluar dari hutan. Namun, sampai 22 tahun berlalu, upayanya belum membuahkan hasil. Padahal, dirinya maupun 3 saudaranya sangat khawatir dengan keselamatan orang tuanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti diketahui, empat anak Karmin dan Simpen sudah berumah tangga dan mempunyai rumah sendiri-sendiri. Mereka kini tinggal di Dusun Jaten, Desa Selotapak, Trawas, Mojokerto, di Dusun Jatirejo, Desa Centong, Gondang, Mojokerto, di Dusun Sambilawang, Desa Sawo, Kutorejo, Mojokerto, serta di Desa Nogosari, Pacet, Mojokerto.
"Harapan kami memang beliau harus pulang. Karena beliau sudah tua, dari segi tenaga sudah tak sekuat dulu," terangnya kepada detikJatim, Rabu (3/12/2025).
Tidak hanya merayu, lanjut Soleh, dirinya juga membuat bisnis warung bebek bumbu hitam dan rica-rica entok di rumah orang tuanya, Dusun/Desa Centong, RT 3 RW 1, Gondang, Mojokerto. Ia ingin Warung Teras Iring tersebut dikelola orang tuanya apabila mereka bersedia pulang kampung.
"Semoga janji bapak ditepati. Terakhir beliau bilang insyaallah setelah panen, beliau pulang. Perkiraan Februari atau Maret 2026. Apapun yang beliau minta selalu saya kasih biar janjinya ditepati. Kalau beliau pulang, kumpul di rumah kan tenteram. Kami tidak lagi khawatir," jelasnya.
Seandainya Karmin dan Simpen sungkan melanjutkan bisnis warung bebek, kata Soleh, ia akan mengarahkan bapaknya beternak bebek dan entok. Ketika panen, bebek dan entok bisa ia beli sebagai bahan baku bisnis kulinernya.
"Di samping itu, banyak tetangga pesan mebel rumah tangga, saya tampung sementara, saya garap di Centong. Supaya kalau bapak pulang ada garapan dan pemasukan. Saya rintis dulu, setelahnya bapak yang melanjutkan. Sementara yang saya mampu itu," ujarnya.
Karmin memilih hidup terpencil di dasar Jurang Gembolo karena merasa tak mampu lagi bekerja sebagai tukang kayu dan bangunan. Di sisi lain, ia merasa sungkan apabila menumpang hidup pada anak-anaknya.
Karmin sendiri belum merencanakan bakal sampai kapan hidup di dasar Jurang Gembolo. Sedangkan Simpen menyebut bakal pulang kampung apabila fisik suaminya sudah tak mampu.
"Niki jange nek mboten kiat mlampah nggih mantok. Terus usaha teng meriko (ini nanti kalau suami tidak kuat berjalan ya pulang. Kemudian usaha di kampung)," tandasnya.
Sebelumnya, Karmin dan Simpen hidup selama 22 tahun di dasar Jurang Gembolo dengan menggarap lahan di kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK). Mulai dari menanam palawija, pisang, jahe, hingga budi daya ikan mujair dan kambing brahman.
Jahe kebo menjadi komoditas andalan Karmin dan Simpen untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Luas tanaman jahenya sekitar 2.800 meter persegi. Ia rutin panen setiap minggu sepanjang tahun. Luas lahan yang selama ini mereka garap sekitar 1,5 hektare.
Secara administrasi, rumah pasutri ini masuk Desa Sukosari, Trawas, Mojokerto. Meski di dasar jurang, area yang mereka tempati cukup datar. Sekitar 50 meter di sebelah kiri rumah terdapat aliran sungai sebagai pemisah Pacet dengan Trawas.
Tempat tinggal Karmin dan Simpen sangat sederhana. Lantainya berupa tanah, tiang dan dindingnya terbuat dari bambu. Rumah seluas 3x5 meter persegi ini sebagian memakai atap genting, sebagian lagi atap bambu. Hanya ada 3 ruangan di dalamnya, yaitu ruang utama, kamar tidur dan dapur.
Rumah dan ladang manusia jurang ini dikelilingi kebun dan hutan yang masih sangat lebat. Dari sisi Kecamatan Pacet, akses paling dekat melalui Dusun Bulak Kunci, Desa Nogosari dengan waktu tempuh sekitar 45 menit. Medannya cukup menantang karena harus melalui jalan setapak yang satu sisinya berupa jurang sangat dalam.
Di awal perjalanan sekitar 15 menit, jalan setapak bisa ditempuh dengan sepeda motor. Berikutnya harus berjalan kaki menyusuri saluran irigasi, lalu menuruni jurang yang sangat curam. Setelah menyeberangi sungai dan melewati hutan bambu, baru kita sampai di rumah pasangan Karmin dan Simpen.











































