Kisah Mereka yang Tak Terlihat di Balik Gemerlapnya Eks Gang Dolly

Kisah Mereka yang Tak Terlihat di Balik Gemerlapnya Eks Gang Dolly

Jihan Navira - detikJatim
Senin, 01 Des 2025 14:00 WIB
Potret Gang Dolly Surabaya saat ini
Potret Gang Dolly Surabaya saat ini. Foto: Rifki Afifan Pridiasto
Surabaya -

Siapa yang tak pernah mendengar Gang Dolly. Nama yang pernah begitu melekat dengan Kota Surabaya. Tempat ini dicap sebagai lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, bahkan melampaui Patpong di Bangkok dan Geylang di Singapura.

Pada 18 Juni 2014, tempat yang selama puluhan tahun hidup dalam kontroversi itu akhirnya resmi ditutup. Di balik keputusan besar itu, ada peran pihak-pihak yang selama ini bekerja senyap, nyaris tak terdengar.

Yang jarang diketahui, sebelum penutupan itu terjadi, Gang Dolly justru dikenal sebagai salah satu lokalisasi yang paling terorganisir, bahkan dianggap sebagai yang "paling nyaman" di Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Musik tidak urakan, kesehatan pekerja diperhatikan, dan komunitasnya terorganisir. Dolly itu yang paling nyaman," kenang Adi, pengurus Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), yang sejak 1988, menjadikan lokalisasi itu sebagai wilayah kerjanya.

Adi telah menghabiskan separuh hidupnya di lapangan, bergumul dengan kelompok-kelompok yang sering dianggap "masalah" oleh masyarakat. Dari lokalisasi Dolly hingga gang-gang sempit tempat pekerja seks bersembunyi, PKBI bekerja di ruang-ruang senyap yang jarang tersorot.

ADVERTISEMENT

Salah satu kekuatan utama PKBI adalah memiliki klinik inklusif yang mereka kelola sendiri. PKBI menerima semua kelompok, dan menyediakan ruang aman untuk setiap orang bisa datang tanpa rasa takut atau dihakimi.

"Kami nggak membedakan. Mereka senang karena ada tempat nyaman yang nggak campur seperti puskesmas atau rumah sakit," katanya.

Di sini, pekerja seks, remaja, hingga orang-orang yang terjerat hukum bisa bertemu dokter, psikolog, hingga konsultan gizi. Bahkan, perawatan kulit dan kesehatan reproduksi tersedia di sini.

Semacam one-stop service bagi mereka yang selama ini hidup dalam bayang-bayang stigma. Di klinik ini pula nilai tanggung jawab ditanamkan, bahkan dua orang pernah dikeluarkan karena terbukti melakukan kekerasan seksual.

"Kami tegas. Mereka harus hidup sehat dan bertanggung jawab," tutur Adi.

Bakul Jamu Gendong, Garda Depan Pencegahan HIVdi Gang Dolly

Sejak dulu,PKBI punya metode pendekatan unik. Tahun 1940-an, mereka menggandeng bakul jamu gendong untuk membantu mengedukasiseputar kesehatan reproduksi dan pencegahan HIV/AIDS.

Para pedagang ini menjadi perantara yang mampu berbicara lebih leluasa dengan pelanggan, menjangkau kelompok-kelompok yang kerap luput dari sentuhan lembaga formal, termasuk pekerja seks yang tinggal di apartemen-apartemen sekitar.

Tak hanya menjajakan jamu, mereka juga mengedukasi pentingnya penggunaan kondom, mengenali tanda-tanda infeksi seperti keputihan atau kencing nanah, serta mengarahkan pelanggan untuk mendapatkan layanan kesehatan yang tepat.

"Kemudian, kalau misal ada keluhan keputihan atau kencing nanah itu perlu PKBI. Jadi, sudah banyak, termasuk anak TK, kami ajari yang boleh disentuh ini, yang nggak boleh disentuh itu," kata Adi.

Pendekatan yang diterapkan PKBIini bertujuan merangkul kelompok-kelompok yang kerap dipinggirkan dan dipertanyakan keberadaannya.PKBI juga mendampingi hingga merekabisa kembali berbaur dengan masyarakat. Termasuk menyasar masyarakat agar tidak memberikan stigma yangmengganggu mental para penyintas.

"Jadi, mereka sendiri sebenarnya yang bergerak, kami berikan penanaman aja," kata Adi.

Pendekatan inilah yang kemudian membuka jalan bagi PKBI untuk masuk ke wilayah-wilayah yang selama ini dianggap tertutup, termasuk kawasan lokalisasi Gang Dolly di Surabaya.

Keputusan Besar Penutupan Gang Dolly

Sebelum ditutup Tri Rismaharini selaku wali Kota Surabaya saat itu, Gang Dolly bukan tempat yang mudah ditembus. PKBI masuk melalui tokoh-tokoh kunci, pemandu wisata, koordinator wisma, hingga orang-orang yang dipercaya komunitas.

"Taktiknya berubah terus. Kami angkat satu dua orang jadi semacam event organizer. Dari situ mereka mengajak teman-temannya, diajak ngobrol, diajak datang," imbuh Adi.

Organisasi lokal yang lebih dulu mendampingi komunitas tetap diberi ruang. PKBI tidak mengambil alih, melainkan memperkuat jejaring yang sudah ada.

"Kami ini berjejaringan. Kalau mereka butuh periksa ke PKBI," kata Adi.

Adi menyebut, pada masa itu, penanganan HIV/AIDS di kawasan Dolly sebenarnya tidak mengalami kendala berarti. PKBI bahkan dipercaya untuk memberikan masukan, melakukan penyuluhan, serta mendampingi LSM yang sudah lebih dulu bekerja di lokalisasi Gang Dolly.

Akan tetapi, Bu Risma yang pada saat itu masih menjabat sebagai Wali Kota Surabaya, melihat dampak sosial yang lebih mengkhawatirkan, terutama bagi anak-anak di sekitar kawasan tersebut. Pada akhirnya Dolly ditutup, keputusan yang dianggap mustahil saat itu.

"Dulu kami nggak percaya bisa ditutup. Kalau seluruh Indonesia sudah bisa ditutup, Dolly pasti terakhir. Ternyata malah awal-awal. Bu Risma itu luar biasa," jelas Adi.

Setelah Gang Dolly Ditutup, Masalah Tak Ikut Hilang

Meskipun Gang Dolly dihentikan secara administratif, kehidupan para mantan pekerja tak serta-merta selesai. Sebagian kembali ke kampung, sebagian pindah ke lokasi lain, sebagian masih bertahan dalam jaringan sunyi.

PKBI tetap bekerja di daerah-daerah yang dulu berbatasan dengan Gang Dolly, menyusuri gang-gang kecil, mencari kelompok-kelompok yang tersembunyi, lalu merangkul mereka melalui pendidikan kesehatan, konseling, dan dukungan psikologis.

"Kami ini rumah mereka. Ada dokter kandungan, kesehatan remaja, kecantikan, psikolog, sampai dokter kelamin," kata Adi.

Sebagian relawan bahkan berasal dari generasi muda. Kak Qori, misalnya, sudah 10 tahun menemani kelompok remaja dan menjadi penghubung penting antara PKBI dan komunitas.

Secara fisik Dolly mungkin tak ada, namun jaringan, relasi, dan problem sosial di sekitarnya tidak hilang. Lokalisasi hanyalah wadah, orang-orangnya berpindah mengikuti kesempatan.

Yang tersisa adalah jejak panjang interaksi sosial, luka, harapan, dan upaya-upaya senyap untuk bertahan hidup. Di antara itu semua, PKBI hadir sebagai rumah kecil, tempat yang tidak menghakimi, tidak mengusir, dan selalu membuka pintu.

"Saya dari 1988 sampai sekarang. Saat remaja dulu, saya jadi relawan. Sempat juga menjadi direktur 20 tahun. Untuk saat ini, saya menjadi pengurus, mengawasi saja, sedangkan teman-teman relawan ini sebagai operasionalnya. Yang penting, pada akhirnya, mereka punya tempat untuk kembali," terang Adi.

Dolly memang telah ditutup, namun persoalan yang dulu hidup di dalamnya tak serta-merta lenyap. Di kota yang terus berubah, selalu ada kelompok-kelompok rentan yang membutuhkan ruang aman untuk didengar dan dimanusiakan. Di sanalah PKBI tetap berdiri-pelan, konsisten, dan nyaris tak pernah mencari sorotan.

Halaman 2 dari 2
(irb/hil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads