Fenomena mikroplastik dalam air hujan di Kota Surabaya tengah menjadi perhatian publik. Menurut pakar, selain membahayakan tubuh manusia, mikroplastik juga sangat berdampak buruk untuk ekosistem.
Mikroplastik sendiri merupakan partikel plastik berukuran 1 mikrometer hingga 5 milimeter. Sedangkan, partikel yang lebih kecil dari 1 mikrometer dikategorikan sebagai nanoplastik.
Berdasarkan sumbernya, mikroplastik dibedakan menjadi dua jenis, yakni primer dan sekunder. Primer misalnya berasal dari butiran scrub pada produk sabun wajah. Sementara sekunder umumnya berasal dari degradasi plastik berukuran besar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dosen Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Airlangga Dwi Ratri Mitha Isnadina menjelaskan paparan mikroplastik tak menimbulkan efek langsung terhadap tubuh manusia dalam jangka pendek.
Akan tetapi, dampaknya terhadap ekosistem jauh lebih signifikan. Sehingga hal ini perlu diwaspadai.
"Air hujan yang mengandung mikroplastik akan mengalir sebagai air limpasan menuju ekosistem air. Di sana, mikroplastik dapat termakan oleh biota seperti ikan, dan pada akhirnya, masuk kembali ke tubuh manusia melalui rantai makanan," jelas Ratri, Jumat (28/11/2025).
Lebih lanjut, pakar teknik lingkungan itu menerangkan berdasarkan hasil penelitian, mikroplastik juga dapat mengadsorpsi logam berat maupun polutan berbahaya lainnya.
"Beberapa kajian ilmiah mengaitkan mikroplastik dengan inflamasi hingga gangguan kardiovaskular, meskipun penelitian mengenai dampaknya terhadap kesehatan manusia masih belum konklusif," terangnya.
Air hujan yang mengandung mikroplastik sendiri menurutnya bukan hal baru. Temuan ini juga bahkan terjadi di beberapa negara lainnya.
"Mikroplastik banyak teridentifikasi pada media air seperti sungai maupun laut. Ketika air mengalami penguapan, partikel-partikel ini dapat terbawa ke atmosfer, dan akhirnya kembali turun bersama hujan. Jadi, mikroplastik pada air hujan di Surabaya, bukanlah hal baru yang sulit diprediksi," bebernya.
Mengingat bahaya dari mikroplastik, menurutnya, upaya untuk mengurangi tidak bisa semata-mata bergantung pada perubahan perilaku konsumen. Namun, kebijakan yang mengatur produsen juga berperan penting.
"Jika kelak mikroplastik menjadi fokus regulasi, maka parameter pengukurannya akan semakin jelas dan intensif," tuturnya.
Kendati demikian, ia pun mengimbau masyarakat untuk tetap tenang, serta tidak mudah terpancing isu viral tanpa pemahaman yang memadai terkait mikroplastik dan bahayanya.
"Masyarakat harus mencari informasi lebih dalam dan tidak langsung panik. Dengan literasi yang baik, kita bisa merespons informasi dengan lebih bijak," pungkas Ratri.
(auh/irb)











































